Obliviate tayang perdana dan dalam waktu singkat viewers dan likes Obliviate meningkat pesat. Ara harus berterima kasih pada kemampuan promosi Greytoon. Juga gambar Wiki. Tapi, weekend ini dia malah bertengger di Bangtan Café, menunggu Kaila menyelesaikan shift sorenya hingga mereka bisa makan malam bersama.
“Bukannya lo harusnya party sama Wiki ya? Sama editor lo itu juga?”
“Bisa nggak jangan nyebut nama dia di depan aku? Dan kak Tris lagi sibuk, mana sempet ngerayain acara receh kayak gini,”
“Buat editor lo itu udah biasa kali ya, soalnya yang dari Greytoon emang sering masuk top 10 sih,” Kaila manggut-manggut, lalu dia menarik napas untuk melanjutkan dengan tatapan protes, “Tapi kalau aku dilarang nyebut nama Wiki di depan lo, bukannya itu keterlaluan ya? Terus aku harus nyebut dia di depan siapa dong? Gue aja kenalnya dari lo,”
Ara sontak memutar bola matanya. Kelogisan Kaila lagi-lagi memuatnya skakmat.
“Ya udah nggak usah ngomongin dia, gampang kan,” Ara mengibas-kibaskan tangannya di udara seolah mengusir pembahasan soal Wiki di sana, “bahas RM atau Jimin, atau siapalah.”
“Ya gue sih seneng aja bahas BTS—apalagi lo udah mulai dengerin lagu mereka juga kan. Tapi mau gimana pun kan komik ini setengahnya emang karya si wikipedia itu, ra. Lo jangan kejam-kejam amatlah sama anak orang.”
Ara berhenti mengunyah dan mengembuskan napasnya dengan kasar. Jauh di dalam lubuk hati Ara, ia sebenarnya juga merasa demikian. Ia merasa senang bukan main karena komiknya akhirnya tayang, ada namanya yang tertulis sebagai penulis di komik itu, dan segera setelah tayang, ia memperoleh banyak viewers berkat program platform dan kerjasamanya dengan Greytoon yang memberikan banyak promo berkaitan dengan komik-komik baru dan Obliviate menjadi salah satu dari lima komik yang menjadi rekomendasi new release minggu ini. Ara sangat bahagia sampai ingin membagi kebahagiaan itu. tapi mengajak Wiki sudah Ara tempatkan di list terbawah. Mengajak Kaila adalah jalan teraman dan ternyaman.
“Lo jangan jadiin gue pelarian dong,” ucap Kaila lagi-lagi seolah tahu apa yang sedang berjalan di benak Ara. Ara sampai tidak menunjukkan reaksi lagi saking terbiasanya.
“Nggak usah berlebihan deh. Kalau pembacanya nembus berapa juta, baru tuh patut dirayain. Ini sekadar ceremony internal aku aja.”
“Lo takut dikira norak karena excited sendiri gitu? Emang Wiki nggak nge-WA atau apa kek?”
Ara mengembuskan napas dengan kasar, “udah dibilangin jangan sebut nama dia,” melihat ke arah Kaila dengan tatapan malas.
“Oke, oke, gue ngerti. Lupain aja, oke? Ayo kita makan sepuasnya!”
[]
Ara sadar Obliviate telah menyita nyaris sembilan puluh persen dari perhatiannya selama berminggu-minggu belakangan. Meski ia tetap mengerjakan tugas tepat waktu, tapi Ara sekadar mengerjakannya saja—nyaris bagai robot. Hingga akhirnya nominasi yang terpajang di area lobi kantornya membuat Ara tercubit kembali. “Wah wah wah, emang pantes jadi karyawan teladan ya,” ucap Adnan dengan suara yang sengaja dibesar-besarkan. Padahal biasanya dia hanya lewat di samping kubikel Ara beberapa menit sebelum jam pulang kerja. Manusia yang satu itu entah punya urusan apa setiap sore, sampai 30 menit sebelum jam pulang pun ia selalu saja sudah stand by dengan meja yang rapi, laci terkunci, dan komputer yang sudah dimatikan.
Ara mengembuskan napas sepelan mungkin, demi meredam amarahnya sekaligus menyembunyikannya. Jangan sampai embusan napasnya yang terdengar malah jadi bahan nyinyiran baru rekan kerjanya. Ara berhenti mengetik dan menoleh ke Adnan sambil tersenyum canggung.
Padahal biasanya mah lewat ya lewat aja. Orang ini sok nyapa tapi pasti aslinya mau nyindir, deh.
Adnan balas tersenyum.
“Tahun depan aku deh yang bakal jadi karyawan teladan, udah lama duduk di samping Keara, harusnya rajinnya nular ke aku dong ya,” Tasya ikut menyeletuk.
“Lo mah online shop mulu!” David menimpali dari kubikel depan Tasya. Tas kerjanya juga sudah tersampir di bahu.
“Eh masih mending gue ya, seenggaknya gue pulangnya di atas jam 4. Lah lo pada jam setelah empat aja udah pada prepare.”
Mereka masih saja saling timpal menimpali. Ara yang berada di tengah-tengahnya jadi terganggu. Ingin rasanya ia berteriak untuk membuat semua orang diam. Tapi di dunia perkantoran ini Ara mau tidak mau harus selalu memperhatikan sentimen orang-orang di sekitarnya. Tingkahnya itu bukan akan mengundang pemakluman, tapi malah hanya menjadi bumerang yang balik menyerangnya, entah akan dibilang sok rajin atau ‘mentang-mentang jadi karyawan teladan’.
Ya, gara-gara satu penghargaan yang terlalu cepat Ara terima itu—menurut rumor yang beredar biasanya yang menjadi karyawan teladan seharusnya sudah bekerja paling sedikit empat tahun. Nah, Ara baru dua tahun bekerja tapi sudah mendapatkan itu dari atasan dan direkturnya. Ara sendiri merasa risih dengan penghargaan itu karena sejak pagi orang-orang di kantor sudah heboh dan membuat Ara menjadi pusat perhatian. Ia juga jadi banyak dikenali oleh orang-orang dari divisi dan tim lain. Membuat hari ini sebagai hari bersejarah, Ara mencetak rekor paling banyak tersenyum pada orang asing sekaligus mengembuskan napas kesal paling banyak.
Ara tahu dia mengerjakan semua tugasnya dengan baik. Tapi dia tidak pernah mau dijadikan teladan. Ara jadi ingin rebel dan berpikir untuk sekali-sekali mengacaukan tugasnya.
[]
Syukurlah, minggu itu cepat berlalu. Meski kadang masih dibercandain dengan rekan kerjanya, tapi setidaknya Ara sudah sedikit kebal. Ia tidak lagi menganggap itu serius dan menganggapnya angin lalu saja. Saat makan sendirian di kantin dan kadang merasa diperhatikan oleh orang-orang pun Ara tidak ambil pusing.
Ara baru saja duduk di kubikelnya setelah dari makan siang. Ponsel yang ia letakkan di dudukan ponsel itu tiba-tiba bergetar. Nama si pengirim muncul di pesan pop up dan seketika debar jantung Ara jadi tidak karuan.
Masih saja seperti ini. Mau sampai kapan sih? Kapan aku bisa terbiasa?
Ara mengatur napasnya sebelum membuka kunci ponselnya dan mengecek notifikasi pesan itu.
Wiki: ra, ada yang bilang aku ganteng
Wiki: [photo]
Ara mengerutkan dahi. Tanpa ekspektasi apa-apa ia membuka chat itu. Foto wajah Wiki yang lumayan close up langsung menyapanya. Foto itu dibingkai oleh frame dan ada tulisan “tingkat kegantengan: 90%”. Ara menyemburkan tawa. Segera jempol Ara mengetikkan balasan.
Ara: 😂😂😂 gabut ya pak
Di seberang sana, Wiki tertohok oleh balasan Ara. Wiki melihat sekelilingnya, meja yang dipenuhi tumpukan kertas, berkas-berkas yang harus ia periksa dan ditandatangani, belum lagi layar PC nya yang menampilkan tab-tab desain yang semuanya baru setengah selesai. Gabut apanya.
Wiki: yeee aku ngechat bukan karena gabut kali. Tapi seneng deh bisa bikin kamu ketawa
Ara: nggak usah modus. Trus ngapain ngechat? Awas aja kalau bilang kangen lagi
Wiki: yaudah rindu
Ara: ewhh
Ara: you must be very very gabut, right
Keteguhan Ara untuk menghalau perasaan Wiki membuat Wiki gemes sendiri. Wiki membalas chat Ara sambil senyum-senyum sendiri.
Chit-chat itu terus berlanjut, meski yang mereka bahas hanya hal-hal remeh. Ketika Ara cukup lama membalas pesannya, Wiki berusaha melanjutkan pekerjaannya, entah itu menarik satu bundel berkas atau memainkan mouse-nya atau lanjut menggambar. Senyum tak bisa lepas di wajah Wiki tiap kali balasan Ara muncul. Sudah lama sekali rasanya saat terakhir kali Wiki merasa excited untuk chatting. Selama ini ia sudah terkenal sebagai manusia paling lambat dalam merespon pesan. Bahkan banyak pesan yang kadang sudah lewat beberapa minggu baru ia buka. Ada juga yang ia tinggalkan sudah terbaca namun tak kunjung ia balas. Namun, sensasi ngobrol dengan Ara meski hanya lewat chat justru membuatnya sedikit-sedikit mengecek ponselnya terus.
Sebuah ide pun tercetus di benak Wiki.
[]
Chat terakhir Ara tak kunjung mendapat balasan. Wiki juga belum membacanya. Udah nggak gabut kali ya. Entah kenapa Ara jadi sedikit kehilangan. Tapi dia berusaha mengalihkan perhatiannya ke daftar pekerjaan yang harus ia kerjakan hari itu. Sesekali Ara mengecek ponselnya, bahkan ketika ponsel itu jelas-jelas tidak memunculkan notifikasi apa-apa. Ara juga mengecek jaringan internetnya dengan ngechat random ke Kaila, tapi toh terkirim dan balasan Kaila langsung dia terima juga.
Bodo amat lah. Ara meletakkan ponselnya dalam laci dan lanjut mengerjakan tugas.
Waktu berlalu dan Ara tau-tau sudah sampai di parkiran apartemennya. Ara mengecek sekali lagi, masih belum dibaca juga. Bodo amat, wik! Ara memasukkan ponselnya ke tas dan turun dari mobil.
Saat berdiri menunggu lift terbuka, tiba-tiba ada seseorang yang berdiri terlalu dekat dengannya. Ara jadi menoleh dengan dahi berkerut karena merasa terganggu. Tapi dia jadi kaget karena ternyata orang itu adalah Wiki.
“Lah, ngapain di sini?”
Senyum Wiki terkulum, berusaha tampak manis.
“Senyum kamu tuh nggak menjawab apa-apa loh, Wik,” sindir Ara tapi dengan nada yang lebih ramah, lebih ke menahan dirinya untuk tidak ikut tersenyum juga.
“Pengen ketemu aja. Boleh, kan?
“Nggak. Lagian kamu tau alamat aku dari mana? Minta di Kak Tris?”
Wiki mengangguk tanpa beban.