Malu bukan main.
Sudah empat kali Ara mengacak-acak rambutnya sendiri sambil berteriak tertahan di mejanya. Andai tidak memiliki tetangga, ia ingin sekali berteriak kencang sambil memaki dirinya sendiri.
Aku kebanyakan baca novel romance atau gimana sih? Kenapa reaksiku berlebihan begitu?
Kengerian tampak di mata Ara begitu kilatan dirinya yang menangis di depan Wiki muncul lagi di benaknya. Ara memejamkan mata sambil merengek pada dirinya sendiri.
Semenjak hari itu, Wiki tidak pernah menghubunginya lagi.
Tentu saja. Aku yang menarik garis itu sendiri. Dengan spidol permanen pula!
Ara membuka file naskah Obliviate setelah sudah merasa cukup stabil. Dengan segelas kopi yang menjanjikan keaktifan sel-sel kreativitasnya, Ara menarik napas dalam-dalam dan merapalkan doa dalam hati untuk bisa fokus hari ini. Meski malu pada Wiki, setidaknya ia punya pekerjaan yang harus ia selesaikan. Lagipula, dengan begitu dirinya dan Wiki akan kembali pada titik semula dan tidak perlu bersinggungan lagi.
[]
Ternyata tidak mudah.
Seringkali Ara mendapati dirinya tengah mengetuk-ketukkan pulpen di permukaan meja, dengan dagu ditopangkan pada tangan, tatapan yang tidak fokus dan pikiran yang melayang entah ke mana. Alih-alih mengerjakan tugas kantor atau melanjutkan draft Obliviate, Ara malah melakukan hal-hal tidak berguna itu.
Wiki memang sudah mulai menghubungi Ara lagi, bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa minggu lalu. Tapi belakangan ini chat-chat Wiki yang masuk ke ponsel Ara jadi semakin jarang—yang tidak bisa Ara protes karena ia yang lebih dulu membalas pendek-pendek dan tidak memberi ruang untuk Wiki memperpanjang obrolannya. Ara menolak untuk mengingat-ingat sudah berapa lama ia mengabaikan Wiki dan benar-benar hanya berkomunikasi secara tidak langsung dengan cowok itu lewat forum Greytoon saja. Mungkin belum cukup lama, hanya saja rasanya sudah lama sekali.
Bahkan, chat Wiki pagi ini berhasil membuat Ara sedikit sesak.
Wiki: Maaf ganggu pagi-pagi, boleh minta waktu kamu bentar, Ra?
Sungguh berjarak. Seolah mereka adalah rekan bisnis yang baru kenal dan saling sungkan satu sama lain. Saking kesalnya, Ara tidak tahu harus membalas apa.
Lalu apa yang kamu harapkan? Bukannya kamu mengabaikan Wiki untuk sampai di tahap ini? Ara meremas rambutnya gemas. Diketukkannya pulpen itu dengan sedikit lebih kencang ke meja sebelum ia lepaskan dan biarkan berguling hingga jatuh di lantai. Ara hanya menatap pulpen itu dengan tatapan kesal. Napasnya memburu, dadanya naik turun. Kenapa hidup jadi hampa begini tanpa kontak dari dia? Padahal selama enam tahun ini aku bisa tanpa dia. Tapi kenapa sekarang aku malah melemah?
Ara menunduk, mengambil pulpennya dengan ogah, saat hendak kembali duduk tegak, kepalanya kejedot meja. Cukup kuat sampai kubikelnya bergemuruh.
“Astaga, lo nggak apa-apa, Ra? Kirain ada gempa,” kepala Tasya dengan sigap muncul di samping kubikel Ara. Ara hanya bisa meringis sambil mengelus pelipisnya.
“Lagian lo kenapa sih, heri banget dari tadi,” lanjut Tasya.
“Harry?” tanya Ara balik dengan logat british menyebutkan satu-satunya Harry yang ia tahu.
“HE-RI. Heboh sendiri!” semprot Tasya sebelum ia kembali asyik dengan ponselnya. Ara hanya bisa merutuki kecerobohannya sambil mencatat diam-diam koleksi jokes receh dalam daftarnya; heri = heboh sendiri.
Jam masih menunjukkan pukul 11:45, sebentar lagi jeda makan siang. Mata Ara kemudian tertumbuk pada to do list yang ia tempelkan di sebelah monitor. Sudah banyak yang ia kerjakan. Tersisa pekerjaan yang tidak menarik. Selain karena harus menunggu pekerjaan dan revisi dari tim lain, juga ada pekerjaan yang baru membayangkannya saja sudah membuat Ara mules duluan. Terlalu kompleks untuk ia kerjakan sekarang. Sambil menimbang-nimbang kerjaan mana yang akan ia pilih, ponsel Ara bergetar. Jantung Ara berdetak kencang begitu nama yang sejak tadi ia pikirkan muncul di layar ponselnya.
Wiki: Ara, are you okay?
NOOO I’M NOT, hati Ara menjerit. Ara mematung untuk sesaat, kilatan chat itu sudah lenyap, menyisakan layar ponselnya yang memantulkan wajahnya sendiri. Dulu, saat masih SMA, teman-teman mereka selalu bilang kalau Ara dan Wiki terlihat mirip. Setiap ngaca, Ara akan meneliti, bagian mana dari wajahnya yang mirip Wiki. Alis? Mata? Hidung? Senyum? Atau apa?
Baru setelah Ara melihat kembali fotonya bersama Wiki yang mereka ambil saat pensi, Ara yang dibalut baju kaos hitam kebesaran penuh cat warna warni berdiri di samping Wiki yang memakai kaos senada. Keduanya tersenyum lebar di sana. Saat itulah Ara mengetahui, tidak ada bagian spesifik yang mirip. Saat mereka berdekatan dan tersenyum seperti di foto itu, mereka memang terlihat sama.
Dulu Ara mengira kalau cewek dan cowok itu mirip, artinya mereka barangkali berjodoh. Tapi belakangan barulah Ara mengetahui, bukan karena jodoh maka mereka mirip. Tapi mereka mirip karena saling menyayangi dengan tulus. Kabarnya, kita akan pelan-pelan jadi mirip dengan orang yang kita cintai, baik secara sikap maupun fisik. Dan orang-orang akan bisa melihat itu.
Kini, Ara meneliti wajahnya dipantulan ponselnya yang gelap itu. Sama sekali tidak ada jejak kemiripan lagi antara ia dan Wiki di sana.
Ara menyambar ponselnya dan membuka chat Wiki secepat kilat.
Ara: kok nanya gitu?
Ara segera mengirimkan sebelum ia berubah pikiran.
Wiki: cuz I’m not okay
Ara: dih, nggak ada yang nanya juga
Wiki: justru karena itu aku ngasih tau duluan. Kali aja kamu penasaran tapi malu bertanya
Ara: gabut lagi nih pasti
Wiki: sering dichat sama orang gabut ya? Neting amat
Ara: klo gabut tidur aja sono
Wiki: aku mau berangkat ke belgia
Ara: what? Apaan sih tiba-tiba
Wiki: that’s why I wanna see you, ra. Aku bakal lama kayaknya