Ini gawat.
Meski Wiki yakin Ara sekarang tidak punya hubungan apa-apa dengan cowok asing itu, tapi tetap saja kalau mereka terlalu sering bersama—bahkan barusan ia melihatnya semobil bareng, suatu saat nanti mereka bisa saja jadi saling suka. Wiki tidak tahu dia cowok yang seperti apa, toh dia tidak mengenal cowok itu. Yang Wiki tahu hanya dia tidak bisa diam saja melihat peluangnya untuk kembali pada Ara pelan-pelan menjadi nol persen. Sebab, sebagai sesama laki-laki Wiki bisa melihat ada sorot yang khas di mata cowok itu ketika melihat Ara. Dan sungguh itu mengusiknya lebih dari apapun.
Wiki mengacak-acak rambutnya sendiri—yang berkat rambutnya yang mudah diatur dan licin, jadinya tidak berantakan deh tuh rambut—frustasi memikirkan bagaimana caranya untuk mendapatkan momennya dengan Ara. Sekarang ia tidak punya alasan untuk bertemu sebab gadis itu dengan giat mensubmit naskahnya secara rutin ke forum, naskah lengkap yang tak perlu banyak revisi lagi. Hatinya bahkan miris memikirkan kini Ara lebih sering berhubungan dengan Tris daripada dengan dirinya. Wiki meletakkan pensil yang sejak tadi diputar-putarnya di jari ke atas kertas. Pemetaan rencananya pada selembar kertas itu terlihat menyedihkan. Wiki menyandarkan tubuhnya di kursi, benar-benar mumet.
Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Wiki refleks menegakkan badan dan kembali duduk tegap.
“Wiki!” ternyata Awan—salah satu dari tiga founder Greytoon. Seketika bahu Wiki melemas lagi, dia tidak perlu menjaga wibawa di depan temannya itu.
Belakangan ini awan memang jarang terlihat batang hidungnya di kantor karena sibuk mempromosikan Greytoon ke luar kota sampai ke luar negeri. Mengajak lebih banyak mitra untuk membuka peluang Greytoon menjadi lebih besar lagi. Kalau soal masa depan Greytoon, sebenarnya awan memang lebih konsen daripada Wiki.
Wiki tersenyum melihat berkas yang dibawa awan, sudah pasti itu kabar baik. Apalagi ditambah dengan senyum lebar di wajahnya—itu menjelaskan semuanya. Awan duduk di sofa tengah ruangan sebelum memulai pembicaraan.
“Novello sama Kytoon udah MoU, Wik. Sisa Tapas doang nih, masih gue lobi,” Awan menyerahkan dua map karet hitam, Wiki mengecek isinya sepintas sebelum meletakkannya di atas meja.
“Tapas kendalanya masih yang editor itu?”
“Iya. Ini gue udah kontakan sama Vie, kok. Kalau dia deal, Tapas juga bakal deal,”
Wiki mengangguk, “Good job, Bro. Kalau soal komunitas itu gimana?”
“Nah itu dia, gue nggak nyangka, peminatnya makin lama makin banyak. Nih liat grafik pesertanya,” kini Awan mengotak-atik ponselnya dan kemudian menunjukkannya pada Wiki.
Wiki membaca apa yang tertulis di ponsel itu dengan kening berkerut, lalu seketika senyum lebarnya mengembang.
“Nggak salah kita ngajak komunitas buat kerjasama. Ternyata banyak ya yang mau belajar desain, gambar, sama nulis. Mereka juga koneksi ke komikus dan penulisnya canggih euy,” Wiki mengembalikan ponsel Awan.
“Kelas menulis yang paling rame, Wik. Hari ini udah kelas kesembilan kan, dan pesertanya nambah terus.”
“Waduh, lama-lama kita saingan sama Ruang Guru, gimana nih? Takut tenar gue.”
Awan menyemburkan tawa, “Kenapa juga harus Ruang Guru. Lo nggak usah takut, kita masih jauh dari bikin event tiap minggu sampai nyewa semua stasiun TV, tenang aja.”
“Apalagi sampai jadiin artis sebagai BA, ya berangan-angan pun kayaknya nggak pantes,” Wiki ikutan tertawa.
“Lagian, Wik, kita niat awalnya juga cuma buat sampingan doang. Jangan sampai kita beralih jadi agen pengasah bakat lah ya.”
“Loh itu kan salah satu misi kita, ngajarin pemula gimana caranya bikin komik yang baik.”
Awan melambaikan tangannya cuek. Ia berdiri menuju kulkas kecil dan mengambil sebotol minuman vitamin c dari sana.
“Jadi kapan lo mau ngisi kelas? Kalau nggak sibuk-sibuk amat, sesekali lo yang ngisi lah,” kata awan begitu ia duduk kembali di sofa.
Wiki hanya diam, fokusnya belakangan ini lebih banyak tersedot oleh Ara. Kalau sampai ia disibukkan persiapan kelas kreatif, ia tidak yakin bisa tampil maksimal.
“Wik? Malah ngelamun. Lo cuma megang satu komik doang, kan? Yang Obliviate itu?”
“Lo tahu Obliviate?” Wiki heran sebab awan kelihatannya sangat sibuk, mana ada waktu untuk membaca komik. Tapi dasar emang pecinta komik, selalu aja bisa make time buat hal yang ia suka.
“Gue udah masukin list favorite! Gue suka ceritanya, man. Seger banget, gambar lo juga bagus. Ya nggak heran sih, penulisnya tuh sering ikut kelas menulis kita, pantes pinter.”
“Ara ikut kelas menulis juga?”
“Oh, dipanggilnya Ara? Gue tahunya Kirara.” Kirara adalah nama pena Ara di webtoonnya itu.
Otak Wiki mulai jalan, seolah baru saja menemukan potongan lego yang bentuknya sudah ia cari sejak kegelisahannya tadi. Sementara itu, mata Awan jadi memicing. Ia melirik Wiki dengan curiga.
“Bentar, bentar. Lo bilang ‘Ara’? Kirara yang nulis Obliviate, yang lu gambarin itu, dipanggilnya ‘Ara’?”
Wiki mengerutkan kening tidak mengerti. Sejak kapan otak Awan jadi selemot itu, sampai harus memperjelas sesuatu berulang kali?
“Lo kenapa sih? Emang apanya yang aneh? Nama aslinya Keara, nama penanya Kirara. Kalau dia malah dipanggil Munawaroh, baru lu kaget,” semprot Wiki.
Tapi bukannya marah atau tertawa, Awan malah menatap Wiki penuh makna. Bahkan ilusi bintang berkerlap-kerlip di sekitar mata Awan bisa Wiki bayangkan. Senyum Awan semakin lebar, semakin menyeramkan. Sampai akhirnya ia berkata, “Jangan bilang Kirara ini temen SMA lo yang ‘itu’,” Awan menaikkan alisnya dengan gerakan cepat, tatapannya mengunci Wiki tepat di pupil matanya.