Sebelum Titik

Kartini NRG
Chapter #14

She thank he was there

“Kamu nginjek dua paku, Ra. Ini sama ini,” sambil berjongkok di samping ban, Wiki menunjuk permukaan ban mobil, Ara bisa melihat dengan jelas memang ada paku yang seolah tertanam di sana. Ara mengembuskan napas kesal. Tak menyangka hal seperti ini malah menimpanya di saat ia sudah kehabisan tenaga bahkan untuk mengeluh.

“Aku ada ban seret kok di bagasi, Wik,” Ara berjalan menuju bagian belakang mobilnya, Wiki mengikuti.

“Ada dongkraknya juga?”

“Dongkrak? Yang kayak gimana tuh?”

Wiki menatap mata Ara yang sudah sedikit memerah, tanda perempuan itu sudah kelelahan dan mengantuk. Seketika hatinya mencelus. Ia ingin langsung menyuruh Ara ikut bersamanya saja, Wiki bisa mengantarnya menggunakan motor sampai ke apartemen PJM. Tapi karena Wiki sudah mengenal tabiat Ara, ia tidak langsung mengajukan itu. Selama masih ada jalan lain, Ara akan menjadikan alternatif pulang-di-antar-Wiki sebagai alternatif paling akhir.

Wiki memeriksa bagasi Ara, bannya memang ada tapi ia tidak menemukan tanda-tanda keberadaan alat dongkrak.

“Ada di bawah kursi depan kali ya?” Ara mengambil lengkah lebar menuju pintu depan mobil dan membukanya, lalu merogoh bagian bawah jok. Dari embusan napas pendek Ara, Wiki bisa menebak ia tidak menemukannya juga di sana.

“Kalau pakai dongkrak mobil kamu bisa nggak, Wik?” kini suara Ara terdengar serak membuat ia harus berdehem untuk menetralkan kembali suaranya.

“Bisa sih. Masalahnya aku nggak bawa mobil,” Wiki menunjukkan kunci motornya dan menekan tombol di sana. Sontak, satu-satunya motor yang tersisa di basemen dekat mereka bersinar sekilas tanpa suara.

Bahu Ara melorot. Ia mengusap wajahnya lagi, nyut-nyutan di ubun-ubunya seolah menular turun ke wajahnya. Matanya sudah perih bukan main, ingin rasanya ia tidur di mobil saja, tapi ia tahu itu ide yang buruk.

“Udah hampir jam 12, Ra,” Wiki berjalan menghampiri Ara. Setelah sampai di sampingnya, ia melanjutkan, “Mau dianter sama aku aja?” Ara melihat mata Wiki juga sama lelahnya. Ara berpikir untuk memesan ojek online, tapi terlalu beresiko tengah malam begini. Apalagi jalanan ke apartemennya harus melewati deret perumahan yang sudah sangat sepi di jam segini.

“Aku nggak bisa mikir lagi, ya udah yuk,” jawab Ara lemah, ia ingin sekali memikirkan cara lain, tapi otaknya sudah terlalu ngebul.

Wiki melepaskan ranselnya, “Pegangin dulu,” katanya pada Ara sambil menyerahkan ranselnya. Ara yang kebingungan langsung menerimanya. Wiki melepaskan jaketnya dan kembali memakai ranselnya lagi.

“Kamu pakai ini,” Wiki menjulurkan jaketnya ke Ara. Mau tidak mau Ara setuju, baju kemejanya tidak akan membantu menghalau dinginnya udara di luar, ditambah angin kencang yang akan mengenainya kalau naik motor nanti.

“Kamu gimana?” tanya Ara sembari memakai jaket itu. Wiki memakai jumper tanpa hoodie, tapi Ara tau itu tidak akan cukup.

“Ada kok. Kita juga butuh helm, kan ya. Awan selalu nyimpen jaket sama helm cadangan di lokernya,” Wiki merapikan kembali bagasi mobil Ara, dan menguncinya. Kuncinya ia serahkan pada Ara. “Kita ke lantai satu dulu. Atau, kamu mau nunggu di sini?”

Ekspresi Ara kontan panik. Ia menggeleng cepat. Wiki menjulurkan tangannya, “Yuk,” ajak Wiki, yang langsung ditepis oleh Ara.

“Aku nggak sepenakut itu kali,” Ara berjalan melewati Wiki dengan dagu terangkat. Wiki mendengus sambil mengikuti langkah Ara.

Belum sampai Ara di pintu basemen, tiba-tiba terdengar bunyi gedebuk dari lantai atas. Ara terlonjak sebelum membeku di tempatnya. Ia menoleh ke Wiki, ekspresi ngeri terpampang jelas di wajahnya.

“Satpam, itu mah,” Wiki berjalan dengan santai melewati Ara.

Setelah itu, Ara memang tidak memegang tangan Wiki, tapi ia menempel terus di samping cowok itu sambil sesekali menoleh ke belakang, ke kanan, dan ke kiri. Bahkan ia menubruk sepatu Wiki dua kali yang kontan membuat Wiki nyaris terjerembap ke lantai. Melihat Ara yang berwajah panik, Wiki mendengus menahan tawa. Wiki langsung mendapat pelototan Ara, tapi itu hanya bisa membungkam suara tawanya saja. Wajah Wiki masih memerah dan bahunya bergetar naik-turun, tertawa dalam diam.

Sesampainya di depan loker, dengan lincah Wiki membuka loker seolah itu miliknya sendiri, mengeluarkan helm dan jaket dari sana. Tampak sepatu, pouch alat mandi, handuk, dan selimut tipis masih ada di dalam sana. Loker yang tidak terlalu besar itu ternyata menyimpan banyak barang.

Wiki lagi-lagi melepaskan ranselnya dan menaruhnya di lantai.

“Kamu mau pakai di sini? Kenapa nggak di bawah aja sih?” protes Ara sontak membuat Wiki menatapnya. Mata bulat Ara menatapnya balik dengan raut ketakutan. Ara tidak ingin berlama-lama di sana.

“Iya, iya, ini bentar doang kok,” Wiki jadi buru-buru merekatkan resleting jaketnya dan memanggul ranselnya lagi.

Bunyi gedebuk itu terdengar lagi. Kali ini dari lantai dua. Mata Ara makin liar menoleh ke kanan kiri, tapi ia tidak menemukan siapapun, tidak juga sinar senter jika itu memang kelakuan satpam yang berjaga di malam hari.

“Aaaa Wiki ayo buruaaannn!” Ara menggenggam lengan jaket Wiki sambil menarik cowok itu dengan langkah cepat menuju tangga darurat di samping lift.

Mereka sampai di samping motor Wiki secepat kilat. Ara menyambar helm di tangan Wiki dan memakainya. Wiki naik ke motornya dan menyalakan mesin.

“Ra,” panggil Wiki setelah Ara naik ke boncengannya.

“Hm?”

“Tadi pas aku turun ke basemen sebenernya satpam udah selesai nyisir lantai bawah sih.”

“Hah? Maksudnya?”

“Mereka harusnya udah di lantai atas sekarang, di lantai 20-an.”

“Terus yang tadi itu apa?” aura dingin tiba-tiba merasuki jaket yang dipakai Ara, masuk melalui tengkuknya seiring dengan pemikiran yang kini menggelayut di benaknya. Basemen yang remang-remang bahkan memunculkan ilusi aneh di mata Ara.

Ara mengeratkan pelukannya ke punggung Wiki.

Lihat selengkapnya