Melihat Ara yang sudah rapi keluar dari kamarnya, Wiki yang sedang duduk di sofa sambil membaca buku langsung mendongak.
“Udah mau berangkat kerja, Ra? Aku anter, ya!” Wiki meraih jumper dan jaket Awan di lengan sofa yang sempat ia lepaskan, menyisakan kaos polos hitam di badannya.
“Nggak—”
“Jangan nolak dong. Kamu kan nggak ada kendaraan.”
“Maksud aku tuh nggak sekarang berangkatnya, kita sarapan dulu.”
“Kamu mau masak?” sekelebat tatapan khawatir terpancar dari wajah Wiki.
“Tenang aja. Ini Gofoodnya bentar lagi nyampe.”
Tak lama kemudian terdengar bunyi bel di pintu.
“Aku yang ambil!” Wiki dengan gesit berlari menuju pintu. Padahal ruangan ini sempit, hanya butuh dua langkah lebar untuk sampai di depan pintu.
Bau renyah bawang goreng dan soto bubur ayam langsung menguar begitu Wiki menerima kantong plastik dari abang Gojek. Setelah saling mengucapkan terima kasih, abang Gojek pun pergi dan Wiki menutup pintu.
“Bubur ayam di mana nih Ra, wangi banget.”
“Taruh situ, Wik,” Ara tak mengindahkan pertanyaan Wiki dan malah menunjuk meja makan minimalis yang ada di antara sofa dan dapur. Ara duduk di sisi dalam dapur sedangkan Wiki di sisi luar, memunggungi teve dan sofa.
Ara mengatur mangkuk dan sendok dengan telaten, setelah itu ia membuka plastik. Ara menengok isi kotak pertama dan memberikannya pada Wiki.
“Punya kamu, nggak pakai kacang.”
Wiki menaikkan alis, “Wah, masih ingat aja.”
“Nama ilmiahnya ubur-ubur aja aku masih inget, apalagi cuma hal sepele kayak gitu. Kecil,” Ara menunjukkan jarinya dan memberikan gestur ‘seuprit’ ke depan wajah Wiki.
“Kalau warna favorit aku?”
“Biru,” Ara menjawab acuh tak acuh sambil terus menyendok dan mengunyah.
“Menu favorit aku di kantin Bu Vennya?”
Ara memicingkan mata sebagai bentuk protes ke Wiki. Tapi Wiki membalasnya dengan menaikkan alis, menantang.
“Ayam geprek bakar pakai mozza, kan?” Ara menjawab juga dengan enggan.
“Levelnya?”
“Ya nol, lah. Kamu mah cemen kalau soal makan pedes.”
Wiki tersenyum puas.
“Nggak usah girang gitu deh, semua orang juga bisa kali ngafalin gituan doang mah,” kata Ara sambil lalu. Tapi Wiki hanya mengedikkan bahu dan terus tersenyum seperti orang bodoh.
Bubur Ara habis duluan. Ara bangkit dari kursinya dan menaruh mangkuk serta sendoknya di wastafel.
“Biar aku yang cuci, Ra. Kamu siap-siap ke kantor aja.”
“Serius?”
Wiki mengangguk mantap.
“okay, thanks, then,” kata Ara sambil berjalan menuju kamarnya. Ia memang masih harus menyiapkan tas dan memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal. Ia juga perlu memoleskan lipstik yang tadi sengaja tidak ia lakukan karena ingin makan dulu.
Ara berdiri setelah memakai sepatu ketsnya sementara Wiki masih sibuk mengikat tali sepatu.
“Jaket kamu aku kembaliin nanti ya, Wik.”
“Itu jaket kesayangan aku, loh. Dirawat baik-baik ya.”
“Kamu mah semuanya dibilang kesayangan.”
“Iya dong. Kan emang penyayang anaknya.”
“Ewh.”
[]
Mereka memasuki gerbang Wake Logistic tepat pukul 08:00. Ara turun dari motor dan melepaskan helmnya. Rambut Ara jadi sedikit berantakan. Wiki merapikannya.
“Emang berantakan, ya?” tanya Ara sambil ikut merapikan juga. Ara menurunkan kaca helm Wiki dan ngaca di sana. Tanpa ia sadari, tangan Wiki membeku. Melihat Ara yang seolah mengaca di depan wajahnya membuat jantung Wiki jadi deg-degan. Ara sendiri fokus memperbaiki rambutnya. Setelah rapi, barulah Ara menyadari tatapan di balik kaca helm itu. Seketika wajahnya memerah karena malu.
“Ehm!” dehem Ara dengan tergesa, “Udah sana kamu ke kantor juga.”
Wiki menaikkan kaca helmnya dan kembali menatap mata Ara. Kali ini disertai eye smile.