Sebelum Titik

Kartini NRG
Chapter #16

She made a mistake

Setelah berkas terakhir berhasil ia kirimkan ke beberapa kantor cabang terkait, Ara baru bisa mengembuskan napas lega. Ara bangkit dari meja kerjanya dan berjalan ke dispenser untuk mengisi ulang botol minumnya. Barulah saat itu ia sadar penerangan di sekitarnya sudah remang-remang karena lampu tiap kubikel di luar sudah dimatikan. Hanya tersisa ruangannya ini saja yang masih memancarkan cahaya lampu. Ara melirik jam di dinding sambil memijat leher, ternyata memang sudah pukul 8 malam. Kemungkinan sudah sejam ia sendirian di sini karena meski harus lembur, rata-rata orang di kantornya hanya akan bertahan sampai pukul 7 malam.

Setelah minum, Ara mulai membereskan berkas-berkas di mejanya, memasukkan buds dan tempat pensilnya ke tas.

Saat berjalan di tangga untuk menuju lantai 1, Ara mengecek ponselnya yang sudah ia asingkan sejak telepon mamanya tadi sore. Tidak begitu banyak pesan untuk dirinya, kebanyakan hanya kiriman di grup yang malas Ara baca. Baru saja Ara hendak memasukkan ponsel ke saku celananya, pemberitahuan itu masuk. Chat dari Tris. Tumben sekali. Pikir Ara pada awalnya. Namun, sebelum ia membuka isi chat itu pun, mata Ara sudah membelalak duluan. Rasa cemas langsung menjalar di sekujur tubuhnya dan setelah membuka chat itu, firasat buruknya kontan terkonfirmasi.

Tris: Ra, update-an Obliviate kok belum masuk?

Ara mencengkeram kepalanya, “Ahhh kok bisa lupaaa!” teriaknya, tidak memedulikan satpam yang berkeliling di halaman jadi memperhatikannya. Ara berlari menuju mobilnya dengan terbirit-birit.

[]

“Sebagai partnernya, kamu harusnya ngingetin dia dong, Wik,” Tris menatap Wiki kesal. Dia paling anti sama deadliner karena hanya akan membuat darah tingginya kambuh, Tris paling benci diburu-buruin.

“Ara tinggal revisi dikit, kan? Bentar lagi juga beres. Kamu tenang aja.”

“Tenang? Gimana caranya aku tenang? Setelah Brian sama Damar kemaren, kenapa Ara juga jadi gini sih?”

Wiki hanya diam. Terus-terusan menimpali Tris—atau semua orang yang sedang marah seperti Tris—hanya akan memperburuk suasana.

“Kamu belain dia karena dia temanmu, kan?” Ucap tris tiba-tiba. Sontak wiki menoleh sambil mengerutkan kening.

“Masuk akal kok. She is your ex, tho.

“Bisa-bisanya kamu mikir kayak gitu?”

“Kenapa? Emang aku salah? Kamu tuh nggak biasanya lembek kayak gini, Wik. Anak scriptwriter yang kemaren aja kamu suruh upload sehari sebelum I. Nah ini, hari H aja revisinya masih belum fix, kamu kok santai aja?”

“Ara nggak sefatal anak magang kemarin. Gue yakin ini bisa selesai kok.”

“Dua episode dalam satu jam? Emang kamu dewa?”

“Nggak perlu jadi dewa. Aku udah ada sketsanya—” emosi Wiki yang tadi ikut terpancing langsung meluruh lagi. Wiki menarik napas dalam-dalam, “Pokoknya kamu ke Jakarta dulu aja sekarang.”

Perkataan Wiki itu mengundang tatapan mematikan dari Tris.

“Awan butuh kamu di sana buat deal sama Tapas,” Wiki mempertegas argumennya, mengingatkan Tris soal masalah yang lebih besar daripada sekadar melabrak penulis yang terlambat upload naskah. Lagian Wiki sudah selesai membuat sketsanya, kalau pun ada yang Ara ubah total, maka pasti masih terkejar untuk dikirim ke LINE Webtoon sebelum jam sepuluh malam ini.

Tris tidak bisa membantah. Wiki benar. Ia harus percaya Wiki bisa mengatasi ini.

“Oke. Adli masih stay, kan?” Tris mengintip di balik bahu Wiki, sosok Adli yang masih di depan komputernya menyahut seadanya.

Lihat selengkapnya