Ara menyeka pelipisnya yang berkeringat dengan tisu begitu ia memasuki mobil. Pintu sisi pengemudi terbuka dan Baim masuk dari sana. Mengikuti gerakan Ara, Baim juga meraih tisu dan mulai menyeka keringat di wajahnya.
“Hari ini kenapa panas banget ya.”
“Iya nih Kak, udah sore, padahal,” Ara memicingkan mata untuk melihat senja di ufuk barat yang berada tepat di depan mobilnya.
“Jadi kita langsung pulang aja? Kamu nggak ada barang yang mau diambil lagi di kantor?”
Ara mengiyakan. Baim menyalakan mesin dan menjalankan mobil keluar dari halaman gudang dengan tembok tinggi milik Wake Logistic Corporation.
“Gimana pertama kali kerja di lapangan, Ra? Seru nggak? Daripada di kantor terus duduk depan PC,”
Ara mengangguk pelan, mengiyakan. “Kalau mendung dikit kayaknya bakal lebih bisa dinikmati, Kak.”
“Tapi mending ini kan, daripada menghirup udara AC mulu.”
Well, Ara tidak bisa menyangkalnya. Jujur, ia banyak belajar hari ini. Selain itu, secara menakjubkan ia jadi tidak mengantuk sama sekali. Berbeda ketika ia mengerjakan sesuatu dengan duduk saja di depan PC nya, kadang rasa kantuk menyerangnya dan dengan begitu Ara akan membutuhkan asupan kafein yang lebih untuk bisa tetap terjaga.
Mobil mini cooper milik Ara melaju dengan tenang menelusuri jalanan pinggiran Kota Bandung. Namun, ketika sudah memasuki kota, kemacetan demi kemacetan menyambut mereka. Meski Ara sudah nyaris mati gaya mengganti posisi duduknya tapi dia harus berterima kasih karena terjebak di situasi ini bersama Baim. Jadi Ara tidak merasa tertekan. Apalagi Baim selalu punya bahan obrolan.
Obrolan yang mengalir begitu saja hingga kini sudah sampai lagi di tema keluarga Baim. Suara samar Taylor Swift di pemutar musik mobil Ara, mengiringi Baim melanjutkan ceritanya.
“Tapi menurut aku, kamu lebih hebat Ra,” Baim menatap lurus ke depan. Ara memandangnya dari samping dengan kening berkerut. Bertanya tanpa suara.
“Kamu ngalamin itu semua sejak kecil, kan? Dan putusan pengadilannya pas kamu SMA. Which is kamu belum dewasa dan udah harus ngalamin itu semua. Aku yang udah 25 tahun aja masih menderita. Gimana kamu dulu, ya?”
Ara teringat dirinya yang memakai seragam SMA, pergi ke pengadilan agama. Tempat itu menjadi satu-satunya tempat yang membuat Ara bisa bertemu langsung dengan papa dan menangis di pelukannya. Meski sampai sekarang jika diingat-ingat lagi, Ara tidak begitu yakin waktu itu ia menangis karena apa. Ingin rasanya ia memukul papanya tapi di saat bersamaan ia juga merasa tak berdaya karena begitu merindukan kehangatan pelukan laki-laki itu.
Ara berhasil tersenyum miring, “Nggak ada yang lebih kuat, atau lebih mendingan, Kak. Sekecil apapun luka dari mereka, pasti efeknya tetep sama.”
“Aku khawatir sih sama adik aku. Dia juga soalnya.”
“Kasih dukungan ke impian dia, Kak. Setidaknya itu yang bikin aku bertahan, dulu. Dengan mengejar mimpi, aku bisa untuk sementara lupain rasa kecewa aku ke orangtua.”
PJM Apartment sudah terlihat dari kejauhan. Tak lama, mereka memasuki pelataran parkiran dan Baim menghentikan mobil di depan pintu masuk lobi.
Saat turun dari mobil, seseorang langsung menghampiri Ara. Ara nyaris tidak mempercayai penglihatannya. Sebab orang yang berdiri di depannya, setahu dia, harusnya tidak berada di Indonesia.
[]
Dua minggu kemudian, Wiki kembali ke Indonesia. Setelah mengunjungi ayah dan ibunya di Jakarta, Wiki bertolak ke Bandung, langsung menuju apartemen PJM dan menunggu di lobi dengan tenang. Sekarang masih Hari Rabu, jadi Ara pasti baru akan pulang dari kantor setelah pukul 4 sore. Sambil sesekali melirik tas kertas yang dibawanya, Wiki tersenyum sambil menggoyang-goyangkan kakinya tidak tenang.
Pukul 16.15, dan benar saja, mobil Ara sudah terlihat di pelataran apartemen. Tapi Wiki tidak tampak senang. Dahinya berkerut karena melihat bukan Ara yang menyetir—rasanya seperti Déjà vu. Matanya dipicingkan untuk melihat siapa gerangan yang mengantar Ara pulang.
Ara turun dari mobil diikuti oleh si pengemudi. Keluarlah sosok yang seingat Wiki pernah ia lihat saat ia berkunjung ke kantor Ara beberapa waktu yang lalu. Rekan kerja yang mengajak Ara untuk makan siang bersama di kantin. Badan besar nan tinggi serta garis wajahnya yang tegas membuat potretnya cukup berbekas di benak Wiki. Apalagi baru-baru ini Wiki juga melihat cowok yang sama juga mengendarai mobil Ara saat di Lotte Mart tempo hari. Status siaga dalam benak Wiki langsung menyala.
Wiki berjalan mendekat. Sesampainya di samping Ara, Ara menoleh dan tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Loh? Kamu bukannya lagi di Belgia?” mata Ara mengamati Wiki dari atas sampai bawah, seolah ingin memastikan cowok di depannya ini memang Wiki Wintara yang kakinya napak di lantai.
Wiki mengalihkan penglihatannya dari si cowok yang menyerahkan kunci mobil ke Ara, senyumnya terbit diikuti dengan matanya yang menjelma garis lurus. “Udah balik, dong. Emang kamu mau, aku tinggal di sana terus?”
Kening Ara berkerut, bibirnya dicebikkan, pura-pura berpikir sejenak, “Bukan ide yang buruk,”
Tawa Wiki tersembur keluar namun terdengar dibuat-buat. “Nggak usah jujur gitu dong. Pura-pura kangen kek,” Wiki sengaja mengatakan itu untuk melihat reaksi si cowok. Dan betul saja, cowok itu langsung mengerutkan dahi dan menatap Wiki tajam. Ara menoleh ke arah si cowok sambil tersenyum sungkan.
“Eh iya, Kak Baim parkir di basemen ya?” tanya Ara—yang di telinga Wiki justru ditafsirkan sebagai kalimat pengusiran paling halus, yang kontan membuat Wiki jadi senang sendiri.
“Hm? Iya, ini siapa, Ra? Temen kamu?” tanya cowok itu menunjuk Wiki hanya dengan delikan dagu.
“Ah, iya Kak. Kenalin ini Wiki, yang ngegambar Obliviate. Wik, ini Kak Baim temen kantorku.”
Wiki menjulurkan tangan lebih dulu yang langsung disambut oleh Baim. “Selain itu, aku temen SMA Ara juga,” imbuh Wiki diakhir dengan senyum terkulum. Ara sedikit berjengit, takut kalau-kalau Wiki melanjutkan perkenalannya ke hal-hal yang tidak perlu. Tapi sepertinya Wiki memang hanya berhenti sampai di situ.
“Oh ya?” kali ini Baim mengalihkan pandangannya ke Ara, meminta konfirmasi.