Ara mengecek sekali lagi pantulan dirinya di cermin. Baju, rok, dan sepatu, semuanya sudah pas. Ditambah tas selempangnya yang kecil dan berwarna senada dengan sepatunya membuat Ara tersenyum puas. Ara mendekatkan wajah ke cermin untuk memastikan riasan wajahnya sudah sama sempurnanya. Ia bersyukur jerawatnya tidak berkunjung belakangan ini, membuat wajah Ara tidak perlu dipoles dengan riasan tebal hanya untuk menyembunyikan bekas jerawat.
Sampai di lantai dasar, begitu pintu lift terbuka dan matanya menatap ke lobi, pandangannya langsung bertubrukan dengan mata Wiki. Wiki duduk sambil bersandar di salah satu kursi yang menghadap langsung ke lift. Begitu melihat Ara, senyum lebar Wiki langsung memperlihatkan deretan giginya yang putih.
Sebelum ia sampai di dekat Wiki, Ara harus menarik napas dengan pelan kemudian mengeluarkannya dengan sama pelannya untuk menetralisir semu merah yang pasti sudah menghiasi pipinya.
“Wah, Ara, you look great.”
Kalimat pertama Wiki malah membuat Ara merasa geli sendiri. “Kamu kesambet apa sih? Perasaan aku tiap hari gini-gini aja.”
Wiki menggeleng sambil menggoyang-goyangkan telunjuknya di depan Ara.
“Hari ini kamu senyum sambil ngeliatin aku, that’s the point.”
“Emang biasanya nggak?”
“Biasanya gini nih,” Wiki meniru ekspresi Ara yang datar, “Mata mangkuk.”
Ara tergelak.
“Nah, kan, biasanya nggak ketawa lepas kayak gini juga.”
“Nggak usah ngarang deh, yang kerjaannya penulis itu, aku, bukan kamu,” masih terlihat sisa-sisa tawa di wajah Ara membuat Wiki ikut tersenyum lebar.
[]
“Ra, bisa ambilin hand sanitizer nggak, ada di laci dasbor,” Wiki menunjuk tempat yang ia maksud. Tanpa pikir panjang, Ara membuka laci itu. Sebotol hand sanitizer memang ada di sana. Bersama dengan kotak yang diikat pita. Ara hanya mengambil botol hand sanitizer dan menutupnya kembali.
“Sekalian kotaknya juga, Ra.”
“Bilang dong dari tadi,” Ara membuka laci lagi dan mengeluarkan kotak itu.
“Nah, yang ini buat aku, yang ini buat kamu,” Wiki menyerahkan kotak itu ke Ara. Ara tidak langsung menerimanya.
“Maksudnya?”
“Buka aja biar tahu maksudnya apa.”
Ara menerima kotak itu dengan ragu. Perasaannya mulai tidak enak. Ia membukanya, dan terlihatlah kalung tipis yang terlihat rapuh namun indah, terpajang di sana.
Tanpa sadar mulut Ara mengeluarkan pujian, yang baru beberapa detik kemudian ia sadari dan ia sontak melirik Wiki yang ternyata tengah menatapnya juga.
“Kamu suka nggak? Aku biasanya beli buat bunda sih, nggak terlalu jadul, kan?”
“Waduh, selera aku kayak ibu-ibu, dong, ya?”
[]
Dari Jembatan Pasupati yang mereka lewati saat perjalanan pulang, tampak keramaian di kejauhan. Salah satu gedung satu lantai terluas di Bandung, Gedung W—disebut demikian karena bentuknya yang katanya mirip dengan huruf W jika dilihat dari atas, meski menurut Ara pribadi gedung itu pasti lebih mirip kaki bebek karena memang di bagian tengahnya terdapat area yang menyambungkan sisi kanan dan kiri sayap bangunannya.
Ara bisa melihat lampu sorot yang secara intens menyinari sampai ke langit malam bersumber dari gedung itu. Wiki yang menyadari hal itu jadi ikut menoleh juga. Ia teringat Tris yang pernah menyebutkan soal festival itu sekaligus mengajak Wiki ke sana, tapi tidak bisa Wiki iya-kan karena jadwalnya yang padat. Meski dilaksanakan selama seminggu, tapi kalau Wiki ingat-ingat lagi sepertinya memang hari inilah hari H nya.
“Itu Festival Budaya Bandung, bukan sih?” tanya Ara, pandangannya tetap terpaku pada Gedung W yang dari kejauhan memang mencuri perhatian.
“Iya, hari ini closing kayaknya makanya meriah kayak gitu.”
“Oh ya? Ini hari terakhir? Aku udah lama banget pengen ke festival budaya tapi selalu kelewat, tahu infonya pasti kalau udah selesai.”