Sebelum Titik

Kartini NRG
Chapter #20

She remembers

Hal terakhir yang Ara ingat adalah suara Wiki memanggil namanya yang seolah berasal dari kejauhan.

Rasa perih pelan-pelan terasa di pergelangan tangannya. Ara menggerakkan jari untuk merasakan tubuhnya sudah bisa diajak bekerjasama. Aroma pengat obat-obatan turut menghambur masuk ke indera penciumannya. Dingin AC yang berembus bisa Ara rasakan berada tak jauh dari kakinya. Ara membuka mata perlahan, silau lampu di plafon langsung menyerbu penglihatannya. AC yang menjadi objek dalam rabaannya tadi pun ikut tertangkap mata Ara, berbentuk kotak dan menempel di plafon tengah ruangan yang dikelilingi lampu menyala terang itu.

“Ra, kamu udah sadar?” terdengar suara yang familiar, meski untuk sejenak Ara tidak ingat itu suara milik siapa. Ara melirik orang yang duduk di samping ranjangnya. Sentuhan telapak tangan yang dingin ikut terasa di jari-jarinya.

“Ra?” sentuhan itu berubah menjadi genggaman membuat tangan Ara yang tadinya panas berubah lebih hangat. Perlu beberapa kedipan sampai Ara bisa melihat dengan jelas siapa di sana.

“Wiki,” ujar Ara pelan. Mendengar suaranya sendiri kini bahkan jadi terasa aneh. Punggungnya terasa kebas membuat Ara jadi ingin segera bangun. Ara berusaha duduk dengan dibantu Wiki.

“Aku khawatir banget kamu tiba-tiba pingsan tadi.”

Ara mengerutkan kening berusaha mencerna apa yang dikatakan Wiki. Entah apa yang sudah ia lakukan, atau sudah ia makan, sampai rasanya badannya sangat lemas dan tak berdaya. Lambat laun, ingatan itu merayap pelan-pelan menuju gerbang ingatan Ara.

Gedung W, pameran lukisan, orangtua Tris, gelas pecah, dan teriakan. Dengung yang tiba-tiba berdesing di telinga Ara membuatnya seketika menutup mata dan menyumbat telinganya dengan kedua tangan. Dalam gelap benak yang ia ciptakan sendiri, terbayang kembali pintu bercat cokelat yang tertutup rapat. Dari balik pintu itu, Ara bisa mendengar pekikan dan makian orangtuanya. Dari pendengarannya itu, terbayang wajah menyeramkan mama dan papa di benak Ara. Setiap kali bertengkar, mereka akan saling melotot satu sama lain, tangan mama mengepal sementara papa akan berkali-kali mengacak-acak rambutnya hingga tampak sangat berantakan.

Dada Ara mencelus, bulu kuduknya merinding. Hidungnya kesulitan untuk bernapas, hanya bisa bernapas pendek-pendek yang kian ia tarik dan embuskan malah kian menyiksa. Kenangan lama yang sudah ia berusaha kubur dalam-dalam itu ternyata menyeruak dengan sangat mudah, kembali ke permukaan.

Di tengah gejolak itu, tiba-tiba Ara mencium aroma mint bercampur keringat. Sepasang tangan melingkar di atas kepalanya, dahi Ara melekat pada sebuah dada bidang.

Suara-suara itu berhenti. Bayangan itu mengabur kemudian hilang. Kini Ara hanya mendengar deru napas di atas kepalanya serta elusan pelan di belakang kepalanya. Dan untuk pertama kalinya hari itu ia merasa sangat kelelahan dan ingin tidur saja.

[]

Ara melepaskan pelukan Wiki dan menarik tubuhnya agak menjauh. Matanya tidak berani menatap balik mata Wiki.

“Udah ngerasa baikan?”

Ara mengangguk pelan. “Thank you,” ucap Ara lebih ke bisikan tanpa suara.

Wiki tidak merespon, tapi Ara bisa merasakan laki-laki itu tengah mengamatinya dalam diam. Aroma bubur ayam tiba-tiba menyerbak ke hidung Ara, membuatnya menoleh ke drawer yang ada di samping ranjang rumah sakit.

“Tadi kata susternya kamu harus makan yang mudah dicerna dulu. Itu tadi aku beliin bubur tapi kayaknya udah dingin deh.”

Ara meraih kotak sterofom itu dan membukanya. Aroma yang menyeruak semakin merangsang rasa lapar Ara.

“Mau aku beliin yang baru aja, Ra?”

“Nggak usah. Ini masih hangat kok,” Ara mulai menyendok sesuap bubur ke mulutnya. Sambil mengunyah, ia mendongak melihat ke Wiki sekilas.

“Kamu udah makan?”

“Udah, kok. Sok kamu makan aja.”

[]

Lihat selengkapnya