Setelah mengucapkan terima kasih lagi lewat chat hari itu, Ara tidak pernah lagi menghiraukan chat dan telepon dari Wiki. Bukan bermaksud kejam, hanya saja Ara tidak tahu apa yang bisa dirinya lakukan begitu berkomunikasi lagi dengan laki-laki itu. Bagaimana kalau aku mendengar suaranya lagi dan kembali melemah?
Selain dengan tekad itu, Ara juga terselamatkan karena pekerjaan di kantor membuatnya sibuk sampai malam. Pulang ke apartemen, ia hanya sempat mencuci muka, maskeran kalau lagi mood, dan kemudian tidur. Karena Ara sudah makan malam di luar, jadi dapurnya semakin jarang ia gunakan.
Ara kembali dari tempat fotocopy ke mejanya sambil melirik jam di dinding. Ternyata sudah hampir jam makan siang. Sesampainya di kubikel, Ara mulai menata beberapa dokumen agar setelah istirahat makan siang nanti ia sudah tahu pekerjaan apa saja yang harus ia lanjutkan.
“Ra, kamu tahu kan ada makan siang tim Pak Derma hari ini?” wajah Tasya muncul di celah pintu sebelum perempuan itu melangkah masuk setelah mengecek kursi Baim kosong. Jujur, Ara belum merasa terbiasa dengan sikap Tasya yang belakangan ini seolah makin sering mengajak Ara mengobrol. Padahal saat sebelahan kubikel dulu, Tasya jarang sekali mengajaknya bicara.
“Pak Derma?” tanya Ara, lebih ke ingatannya sendiri. Dia selalu mengalami ini, kesulitan mengingat nama dan wajah orang-orang di kantornya. Sebab mereka banyak yang namanya sama, bentuk wajahnya sama, dan juga banyak yang bersaudara dan sama-sama bekerja di sini. Lagipula Ara bukan orang administrasi yang selalu bertemu orang-orang kantor. Kalau tidak pernah se-tim, maka kecil kemungkinan Ara akan mengenalnya.
“Masa kamu lupa? Katanya dia ketua tim di proyek pertama kamu di sini.”
“Hah?” Ara jadi makin bingung. Selain karena dulu Ara ogah-ogahan di proyek awalnya dan masih kaget dengan pengenalan perusahaan, Ara juga ikut mempertanyakan dari mana Tasya tahu tentang anggota tim proyek pertama Ara. Ara ingat betul Tasya berasal dari kantor di Jakarta dan baru dipindahkan tahun lalu, tapi sekarang ia membicarakan proyek pertama Ara seolah-olah ia menyaksikannya sendiri.
“Hm?” Tasya terlihat ikut kebingungan tapi sedetik kemudian dia buru-buru berkata lagi, “Emang bukan? Seingat aku, iya deh.” lanjutnya sambil menghindari tatapan mata Ara.
“Benar sih Kak,” Ara tidak mau ambil pusing, “Kak Tasya ikut?”
“Ikut dong, kamu juga ya? Aku mau nebeng kalau kamu ikut.”
“Boleh deh sekalian ganti suasana makan siang,” ucap Ara akhirnya.
“Berangkat sekarang, yuk. Nyampe sana udah pas jam makan siang.”
“Boleh, tapi ke toilet dulu ya Kak.”
“Ayo aku juga mau ke toilet dulu.”
Ara dan Tasya gantian. Saat Ara keluar, Tasya gantian menitipkan tas dan ponselnya pada Ara. Ara menunggu Tasya sambil merapikan make upnya. Tiba-tiba ponsel di samping Ara berdecit pelan. Refleks, Ara meliriknya. Sadar itu milik Tasya, Ara segera mengalihkan pandangan. Tapi, isi pesan yang mencantumkan nama Ara sudah terlanjur tertangkap di matanya.
Dalam chat itu, si pengirim menuliskan nama Ara; Keara. Di kantor ini, hanya dia yang bernama Keara. Chat yang lain masuk lagi. Tasya masih diam di dalam toilet. Ara mengangkat ponsel itu agar getarannya tidak terdengar oleh Tasya.
Pokoknya nyampe sana ajak Keara keluar ya, Sya. Entar sisanya aku yang ngatur.
Ara mengerutkan kening. Dia seolah membaca rencana jahat orang yang akan menyekapnya. Ada apa nih?
Lo udah di mana? Gue udah nyampe nih.
Belakangan, baru Ara menyadari belum memperhatikan nama si pengirim. Karena sejak tadi terlalu fokus pada isi chatnya. Tidak berani menyalakan layar ponselnya karena bisa jadi Tasya menggunakan pendeteksi wajah, Ara harap-harap cemas akan ada chat lagi dari orang yang sama masuk.
Getar di tangan Ara datang nyaris bersamaan dengan pop up chat di layar itu.
Baim: Sya, cokelat yang kemaren dia makan, kan?
Baim: Lo temenin makan aja biar dia nggak curiga
Ponsel itu nyaris merosot di tangan Ara. Chat pop up itu segera hilang menyisakan layar gelap yang memantulkan bayangan wajahnya sendiri. Ara segera meletakkan ponsel itu kembali ke permukaan wastafel yang tidak basah. Napas Ara tiba-tiba memburu. Ara mengepalkan tangan untuk menahan emosinya.
Tasya keluar dari bilik toilet dengan penampilan yang lebih rapi. Bajunya sudah dimasukkan ke celana, menampilkan pinggangnya yang ramping dan perutnya yang rata.
“Bentar ya Ra, aku mau touch up dulu,” dia segera mengeluarkan alat make up dari tasnya.
“Kak, aku nggak jadi pergi,” kata Ara dengan aura suram.
Tasya berhenti menepuk wajahnya dengan bedak dan menoleh ke Ara tanpa memedulikan aura suram orang di depannya itu. “Loh, kenapa?” tanyanya polos.
Ara membalas tatapan Tasya, berusaha meluncurkan semua kekesalan dan kekecewaan yang ia rasakan melalui tatapannya. Tapi Tasya tidak menangkapnya. Ara merasa dikhianati, selama bekerja di sini Ara paling dekat dengan Baim karena mereka sudah lama saling kenal sejak SMP, sedangkan Tasya adalah rekan setimnya yang setidaknya paling dekat karena kubikel mereka bersebelahan.
Tapi mereka berdua malah merencakan sesuatu di belakang Ara, dengan menggunakan Ara sebagai objeknya. Seolah Ara begitu mudah dimanipulasi, seolah Ara akan menerima apapun yang disodorkan orang-orang kepadanya. Pikiran itu sukses membuat emosi Ara memuncak.
Tanpa menjawab pertanyaan Tasya, Ara berjalan dengan tegas menuju pintu keluar toilet. Ia berjalan lurus ke parkiran dan naik ke mobilnya. Mumpung waktu istirahat dan atasannya juga sedang berada di tempat acara Pak Derma, Ara memanfaatkan itu untuk makan di luar sendirian sampai Baim pulang. Ara merasa harus mengatakan langsung kepada Baim bagaimana pikiran dan perasaannya menanggapi sikap Baim ini.
[]
Begitu sampai di kantor, Ara langsung mengirimkan pesan ke Baim karena tidak menemukan laki-laki itu di Ruang Koordinator.
Ara: Kak, nanti pulang kantor minta waktunya bentar ya. Aku mau ngomong berdua.
Baim bertanya ada apa, tapi tidak Ara hiraukan lagi. Ara mengecek jejak terakhir pekerjaan dan mulai melanjutkannya. Ara sempat melirik ke kubikel Tasya, tapi kubikelnya kosong. Ara memang agak lambat kembali ke kantor karena terjebak macet di jalan. Dia berpikir, mungkin Tasya sedang rapat untuk proyek lain, sedang ke toilet, atau bahkan sudah pulang, Ara tidak peduli. Ada kemungkinan Tasya sudah memberitahu Baim soal Ara yang sudah tahu siapa kedok si secret admirer itu. Tapi, Ara tidak ingin memikirkan dan mempertimbangkan hal itu untuk menentukan langkah yang akan ia ambil hari ini.