Ara termenung cukup lama di sofa depan tevenya. Pandanganya menerawang tanpa titik yang jelas. Tidak menyimak apa yang teve itu tayangkan, hanya sekadar mengisi keheningan saja. Pikiran Ara sibuk berkeliaran ke pembicaraannya dengan Tris terakhir kali.
Benang kusut yang selama ini berseliweran di sekitar Ara seolah sudah menemukan satu titik terang. Masih samar, memang. Tapi Ara setidaknya sudah tahu keberadaan titik itu lima puluh persen nyata. Hanya saja, untuk mencapai ke titik itu, Ara tidak tahu bagaimana caranya. Seolah ia hanya berdiri di satu sisi, dan titik terang itu ada di sisi lain. Namun di antara mereka, hanya ada jurang tanpa dasar yang melingkupi.
Ara mendekamkan wajahnya ke permukaan meja. Kemudian ia menoleh ke samping, menghadap ke dapurnya. Dua kursi yang berjejer di sana, salah satunya pernah Wiki tempati untuk menikmati bubur yang Ara pesan.
Ara bohong kalau sejak pertemuannya kembali dengan Wiki ia tidak pernah membayangkan bagaimana jika ia dan Wiki benar-benar ditakdirkan bersama dan akhirnya bisa tinggal dalam satu atap. Meski sangat keras kepala, Ara selalu bisa mengalah pada Wiki. Namun, di sisi lain, Wiki yang pengertian pasti akan membiarkan Ara menang jika memang perlu.
Setelah membayangkan dirinya jauh di depan sana, ingatan tentang the real self yang tercetak di nadinya itu selalu berhasil membuat Ara tertarik dengan kencang ke belakang. Pada akhirnya, kehidupan yang bahagia bersama Wiki hanya akan menjadi metafora yang tampak indah namun tidak nyata bagi Ara.
[]
Kaila duduk di seberang meja dengan mata yang memicing, menatap Ara penuh selidik. Ara daritadi hanya minum, makan, minum lagi, makan lagi. Sesekali ia berhenti dan mengambil napas panjang seolah ingin memulai percakapan, tapi kemudian dia melirik Kaila sejenak dan kemudian malah mengambil sepotong piza lagi di nampan.
“Gue udah ada firasat, pasti lo ada masalah deh habis gue tinggal nonton konser.”
Kunyahan Ara memelan, ia bingung harus mulai dari mana. Ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dan menggaruk pelipisnya. Aroma kopi yang menyeruak dari konter kasir hari ini bukannya membuat Ara tenang, malah membuat ubun-ubunnya makin nyut-nyutan.
“Aku harus gimana sama Wiki, Kai?” tanya Ara lirih, ia mengembuskan napas berat entah untuk yang keberapa kali sejak ia duduk di sana dan berhadapan dengan Kaila. Pandangan Kaila yang tadi bingung, kini akhirnya mulai mengerti. Salah satu tema yang paling awet dan identik dengan Ara adalah topik tentang Wiki. Kaila tidak tahu kenapa temannya itu tak kunjung bosan juga. Tiap mendengar Ara berkeluh kesah tentang Wiki, atau memujinya, atau mengata-ngatainya, Ara terlihat seperti membicarakan hal yang sangat dekat dengannya, entah itu mimpinya atau dirinya sendiri. Dan pertanyaan Ara yang barusan itu, Kaila paham apa maksudnya.
“Jadi lo udah susah-susah berusaha lupain dia selama ini, eh taunya sekarang lo ngerasa dia jodoh lo, gitu,” ucap Kaila dengan gamblang tanpa beban. Ara bahkan tidak terkejut lagi.
“Belum tentu jodoh juga. Tapi sekarang aku jadi makin ngerasa bersalah sama dia. Aku yang jahat, Kai, aku tokoh antagonisnya, bukan Wiki. Dan selama ini aku udah playing victim. Aku sok-sokan jadi korban, padahal malah aku yang udah lukain dia. Aku yang udah jahatin dia, Kai.”
“Jangan salahin diri lo gitu dong. Gue yakin itu keputusan terbaik menurut lo saat itu. Lo jangan menyesali masa lalu terus, lah.”
“Tapi aku emang nyesel. Mungkin yang bikin aku bertahan selama enam tahun kemarin itu karena aku yakin dia pasti ada di antara ribuan manusia di bumi ini. Meski aku nggak tahu dia ada di mana, tapi setidaknya aku yakin dia pasti selalu berusaha untuk ngelakuin yang terbaik untuk dirinya. Karena dia emang selalu kayak gitu diingatan aku,” Ara berhenti hanya untuk mengelap ingusnya yang meler dengan tisu, kemudian melanjutkan, “Kemaren pas lihat dia diangkut ke ambulans pakai tandu, matanya terpejam rapat, dan dia nggak nyahut meski aku panggil berkali-kali..” Ara tidak melanjutkan kalimatnya, malah semakin terisak. Setelah di ambulans dan rumah sakit malam itu, ini kedua kalinya ia meluapkan semua kesedihan yang ia rasakan saat menyaksikan kecelakaan Wiki.
Kaila meraih tangan Ara dan menggenggamnya erat.
Kamu takut banget pasti kehilangan dia, Ra, batin Kaila. Ia tidak pernah menyangka perasaan Ara untuk Wiki sampai sedalam ini. Selama ini ia selalu mengira Ara pasti bisa melupakan Wiki dan bertemu dengan laki-laki baik lainnya. Toh, laki-laki baik bukan cuma Wiki doang. Kaila lupa kalau Ara sangat berbeda dengannya, dan mungkin sebagian besar populasi perempuan di muka bumi ini. Ara selalu tahu apa yang ia mau, dan karena itu pula, ia menjadi budak paling setia untuk hal yang ia mau, sukai, atau kagumi. Selama logika itu masih masuk di kepalanya, maka Ara akan berpegang teguh. Ara sering menyembunyikan sisi keras kepalanya itu karena banyak mengiyakan orang-orang, tapi Kaila tahu Ara hanya berusaha beradaptasi dengan tidak menonjolkan idealismenya di tengah masyarakat yang memandang idealisme sebagai bentuk pemberontakan.
“Lo udah ngomong ke Wiki?” tanya Kaila akhirnya.
Ara menggeleng.
“Why? Lo harus bilang ke dia, Ra. Gue yakin delapan puluh persen dia juga ngerasain hal yang sama kayak lo.”
“Nggak, Kai. Ini bukan cuma soal gimana perasaan Wiki. Tapi aku emang nggak bisa sama dia, untuk apa aku ngomong?”
“Kenapa lo nggak bisa sama dia?”
Ara tidak langsung menjawab. Ia menatap Kaila dengan matanya yang sudah basah dan kini makin berkaca-kaca, siap mengeluarkan bulir hangatnya lagi.
“Aku ketemu sama orangtua Wiki di rumah sakit. Mereka.. mereka orangtua yang sangat ideal, Kai. Mereka jenis orangtua yang cuma bisa aku rangkai di cerita yang aku tulis. Mereka selalu bareng, pas bunda Wiki nangis, ayahnya langsung menenangkannya, meluk dia dan bahkan ngelus kepalanya,” cerita Ara pelan-pelan dengan suara bindang. Wajah Ara kini sudah dipenuhi air mata, “Kai.. aku bener-bener payah. Pas ngeliat itu aku masih aja iri. Karena aku sadar kalau saat itu—bahkan sampai sekarang tiap aku keinget orangtua Wiki, aku bahkan ngerasain rindu ke hal yang nggak pernah aku punya.”