Wiki terlihat sama kagetnya. Mulutnya bahkan membuka sedikit dan alisnya terangkat. Selama beberapa saat, mereka hanya saling tatap. Wiki menarik diri lebih dulu.
“Rapi banget, mau ke mana?” tanyanya dengan suara rendah.
Dibilang rapi, barulah mata Ara melepaskan tatapan Wiki dan ia beralih mengamati balik pakaian Wiki yang menurutnya terlihat lebih ganjil dipakai di hari libur begini. Bukan kaos oblong atau celana sobek-sobek. Hari ini Wiki tampak seperti CEO beneran. Dengan dasi dan bahkan jas abu-abu yang entah kenapa membuat Ara jadi gugup dan terintimidasi. Tangan kanannya yang ia taruh di belakang punggung membuat setelan yang dipakainya makin mencolok dan kekerenannya meningkat beberapa persen.
“Mau keluar bentar, jalan-jalan,” Ara berhasil bersuara.
“Jalan-jalan? Ke mana? Sama siapa?”
Ara menutup pintu unitnya dan sedikit mendongak, menatap Wiki tepat di manik matanya, “Sama kamu.”
Wiki berkedip beberapa kali dan masih mematung di tempat, sementara Ara dengan baik hati menunggunya untuk memproses. Tawa Wiki akhirnya tersembur keluar. Ara tidak kuasa menahan senyumnya juga.
Ara melangkah menuju lift, tapi Wiki mencegatnya. Bukan dengan tangan, melainkan dengan buket bunga kuning yang indah. Pandangan Ara langsung tertuju pada bunga itu. Ia menatap bunga itu dan Wiki bergantian. Matanya yang kembali membulat menyuarakan tanda tanya.
“Pas banget ya, serasi sama baju kamu.”
“Kamu ngasih aku bunga?” tanya Ara, masih tidak percaya. Menerima buku, coklat, komik, atau kalung mungkin bisa ia perkirakan akan dilakukan oleh Wiki. Tapi bunga? Ara tidak tahu Wiki punya sisi itu juga.
“Aku udah lama pengen ngasih, tapi takut kamu nggak suka.”
Dengan senyum dikulum Ara meraih buket itu dan menggenggamnya dengan kedua tangan. Ia mengamati tiap bunga di sana, semakin lama mengamati, bunga-bunga itu semakin cantik dan seolah balik tersenyum ceria padanya.
“Aku juga nggak tahu, ternyata aku suka bunga,” Ara tersenyum ke Wiki, membuat wajah Wiki yang sempat was-was, kini jadi melunak dan bisa balik tersenyum ke Ara.
Binar mata Wiki yang tersenyum menatapnya itu selama ini terlewat oleh Ara. Hari ini, barulah ia melihat binar itu dengan jelas. Jika tidak malu kepergok oleh tetangganya, ia mungkin akan memeluk Wiki saat itu juga.
Lewat tatapan mata, Wiki dan Ara seolah bisa mengetahui apa yang tak terucap di antara mereka. Keduanya menahan senyum dan dengan kompak menuduk untuk menyembunyikan semburat merah muda yang terbit di pipi mereka.
Wiki mendeham untuk melunakkan tenggorokannya yang sempat tercekat karena grogi.
“Duh, Ra, harusnya momen kayak gini tuh ada cincinnya.”
“Gampang itu mah. Aku bisa temenin kamu ke toko cincin sekarang,” Ara berjalan duluan menuju lift.
Wiki menatap sosok Ara yang berjalan mendahuluinya dengan mata membulat. Senyumnya tertahan sebentar sebelum akhirnya tersembur keluar menjadi tawa.
Ara menjawabnya dengan senyum terkulum, lalu ia buru-buru meraih lengan Wiki guna menyembunyikan semu merah yang pasti sudah membuat wajahnya mirip kepiting rebus. Ara bahkan tidak tahu ia bisa mengatakan itu. Rasanya, kalau di depan Wiki, ia bisa saja menjadi wanita ter-jayus di dunia.
[]
“Jadi, mau beli cincin di mana, nih?” tanya Wiki sambil memakai sabuk pengamannya.
“Dih! Aku bercanda doang, tadi! Kenapa dianggap serius, sih,” Ara cekikikan sendiri sambil mendorong pelan bahu Wiki.
“Serius juga nggak apa-apa, kali.”
“Udah ah, makan aja. Sarapan yang enak di mana ya?”
“Aku bawa sandwich.”
Ara tampak terkejut, “Kamu bikin sendiri?”
Wiki menjawabnya dengan kedikan alis dan senyum pongah. Ara sontak menoleh ke kursi belakang dan melihat tas makan berbentuk kotak yang duduk manis di kursi belakang. Ara mendorong bahu Wiki, kali ini lebih kencang sambil ber-oh menyoraki. Tidak menyangka Wiki sampai mempersiapkan menu sarapan segala.
“Tapi kita nggak makan di mobil, kan?”
“Nggak, dong. Bentar ya kita cari taman aja. Di Bandung kan banyak taman.”