Sebelum Toga di Bawah Awan

Leni Juliany
Chapter #1

Chapter 1: Kuliah?

"Siap Pak," jawab Nia malu-malu. Pipi kuning langsatnya memerah dan matanya berbinar-binar melihat HRD tampan tersenyum, tepat di depan wajahnya.

"Kalau kamu jadi istri saya, apakah siap juga?"

Senyum Nia semakin melebar. Tidak menyangka dengan semua yang dia dengar.

Nang Ning Nong ....

Nia membuka mata, ternyata dia sudah berbaring di atas lantai.

"Kok aku bisa di sini?"

Tak lama, Nia langsung mematikan Alarm ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Dan tidak sengaja dia melihat jam dinding, sudah menunjukkan pukul 06.00.

"Aduh ... belum salat subuh!"

Nia langsung mengambil sajadah yang sudah dilipat di atas kasur.

"Eh belum wudu," ujar Nia seraya menyimpan kembali sajadah yang hampir dia bentangkan.

Dengan cepat Nia membuka mukena, kemudian langsung keluar kamar.

Terlihat Mirna berdaster panjang dan berjilbab instan, sedang mengiris wortel di depan kompor.

"Mah, kok Nia gak dibangunin?"

"Lah? Udah beberapa kali Mamah bangunin dari sebelum subuh, eh kamunya gak bangun-bangun," jawab Mirna, masih mengiris wortel

"Apa iya Mah? Kok gak kedengeran?"

"Ya gak tahu, kamunya pules kali."

"Hm ... iya si."

Tadi malam Nia ketiduran tanpa doa. Apa iya abang tampan di mimpinya itu, sebenarnya jin yang menyamar?

Tanpa basa-basi Nia langsung masuk kamar mandi. Beberapa menit kemudian dia keluar, dan seketika terkejut ketika melihat Mirna menangis.

"Mah kenapa nangis?" tanya Nia sembari mendekati Mirna.

"Ini bawang, udah sana nyapu dulu!"

"Oh iya lupa, itu ada bawang ya?" canda Nia sambil cengengesan.

"Eh iya Nia mau salat dulu!"

Nia sedikit berlari menuju kamar.

"Hah? Salat apa?" tanya Mirna bingung, sampai berhenti mengiris bawang. Namun saat menengok, anaknya sudah masuk kamar, sehingga dia hanya menggelengkan-gelengkan kepala.

Ketika Mirna sedang cuci piring, Nia keluar kamar masih mengenakan piyama dan bergo hitam. Belum juga Nia duduk, Mirna sudah bertanya.

"Tadi kamu salat apa?"

Nia duduk bersandar di kursi makan, kemudian menjawab dengan santai.

"Subuh."

"Mana ada salat subuh jam enam?!"

"Kalau gak sengaja mah nggak apa-apa atuh Mah."

"Ya udah sana nyapu dulu, nanti jangan dibiasain!"

"Siap Mah," jawab Nia

Nia minum air mineral terlebih dahulu, kemudian langsung menuruti perintah Mirna. Seperti hari-hari sebelumnya, Nia siap menyapu semua lantai berkeramik putih di rumahnya yang berdinding pink.

Nia Nurlaila adalah anak pertama dari Mirna Nurlaila dan bapak Marno Supana. Bapaknya bekerja di Bekasi sebagai supir pribadi. Sementara adik perempuannya yang bernama Laila Siti Nur Zahra menempuh pendidikan pesantren jenjang SMP di Garut. Nia berumur 19 tahun, sementara adiknya masih 12 tahun. Jadi Nia hanya tinggal bersama ibunya. Untung saja Mirna bekerja sebagai penjahit, jadi gak terlalu kesepian saat Nia sedang keluar. Oh iya, kok Nia gak pesantren? soalnya waktu itu orang tuanya belum sadar. Sekarang orang tuanya baru sadar, kalau anak zaman sekarang itu, ada baiknya dipesantrenkan supaya mendapat lingkungan yang lebih baik dan terhindar dari kecanduan game. Alhamdulillah-nya Zahra nurut saja, karena diiming-iming akan dikasih handphone baru.

Pagi itu tidak terlalu panas. Saat menyapu teras, ada ibu-ibu berkerudung coklat berhenti di depan rumah Nia.

"Eh Neng Nia rajin, gak sekolah Neng?"

Nia menghentikan aktivitasnya.

"Eh Bu Salmah, Alhamdulillah saya sudah lulus Bu."

"Oh ... kapan Neng? Gak kerasa ya, gak kerja aja Neng kaya anak Ibu? Atau mau lanjut kuliah?"

"Hehe, iya ini juga mau cari kerja Bu, cuman ijazah saya belum keluar."

"Oalah ... ya sudah kalau begitu, mari."

Ada sedikit kesal dalam hati Nia, namun tidak berani dia keluarkan.

"Mangga Bu," jawab Nia, tetap ramah.

Ketika ibu-ibu itu sudah menjauh, Mirna keluar.

"Tadi ngobrol sama siapa Na?"

"Biasa Ibu-Ibu kepo," jawab Nia masih menyapu lantai, wajahnya sedikit cemberut.

"Pasti nanya pekerjaan ya?"

Nia terdiam, kemudian langsung menengok ke belakang.

"Kok Mamah tahu?"

"Tahu dong, udah gak aneh."

"Hm ... iya Mah."

"Belum ada juga ijazahnya?"

"Belum Mah, kemarin Nia ke sekolah cuman dikasih sertifikat agama doang."

"Ya udah, sabar ya."

Mirna memakai sandal swallow.

"Mau kemana Mah?"

"Ke warung sebentar, mau beli kerupuk."

"Hati-hati Mah kalau ada yang nanyain Nia, Nia mau kerja gitu, cuman ijazahnya belum keluar. Takut disangka orang males!"

"Iya nggak atuh, masa mereka nyangka kaya gitu, jangan berprasangka buruk ah."

Mirna meninggalkan Nia, Nia menghela nafas kemudian melanjutkan aktivitasnya.

"Padahal malam tadi aku mimpi ketemu HRD tampan, eh sekarang malah ketemu Ibu-Ibu kepo, hadeuh ...."

***

Selesai beres-beres rumah, Nia makan pagi sembari duduk di depan televisi.

Nang Ning Nong ....

Notif chat masuk, Nia meraih ponsel yang ada di sampingnya.

"Hah ... kok aku bisa masuk Sekolah Tinggi Pemuda Sukses? Kapan seleksinya?" tanya Nia seraya mengerutkan kening, setelah membaca chat di grup kelas 12 A.

Nia terdiam sembari berpikir.

"Oh ... iya, dulu kan aku pernah ikut seminar di kampus itu, terus disuruh ngisi formulir, mungkin karena itu ya?"

Tak lama, Nia merasa bingung dengan apa yang barusan dia dapatkan

"Ambil jangan ya? Tapi aku mau kerja."

"Tapi ini lumayan, mana bisa daftar beasiswa KIP lagi."

Nia kembali terdiam.

"Gak tahu ah, nanti nanyain dulu ke Mamah."

Nia menyimpan kembali benda digital-nya itu, kemudian meneruskan makan nasi pakai sop ayam. Sehabis menguyah, dia kembali bertanya.

"Apa aku ambil aja ya? Tapi di sana gak ada prodi yang aku mau. Terus gak sesuai juga sama jurusanku pas SMK."

Lihat selengkapnya