Terlihat ruangan kelas A yang bernuansa krem putih diramaikan oleh mahasiswa- mahasiswi berpakaian non formal, tapi tetap sopan. Seperti mahasiswa pada umumnya, mereka duduk sendiri-sendiri di kursi yang sudah ada mejanya.
"Guys, minta perhatian ... gimana kalau kita memperkenalkan diri terlebih dahulu, masing-masing di depan? Sebelum membentuk struktur organisasi kelas," saran Aldi di depan teman-temannya yang sedang asyik ngobrol.
"Kan itu mah udah pas di grup Aldi ... langsung aja membentuk struktur deuh, takut Pak Ali keburu masuk," timbal Lulu.
"Iya ... tapi kan kalau di grup cuman memperkenalkan nama Lulu ..., belum tahu lebih jelasnya."
"Terus biar bisa tahu karisma, widih karisma ceunah, biar tahu karisma seseorang yang cocok jadi ketua kelas," tambah Aldi.
"Kalau Pak Ali keburu masuk gimana?"
"Ya Allah masih ada waktu 1 jam Lu ... santai ... gak lama kok."
Mereka memang datang lebih awal karena tadinya mau membentuk struktur oraganisasi kelas.
"Ya udah sok, mau dari mana dulu?" tanya Lulu sembari memainkan pulpen.
"Dari tengah dulu, Lu, maju."
"Aldi ... di mana-mana juga dari depan dulu atuh.”
"Heheh itu tahu, tapi ada kok yang dari belakang dulu."
"Ih. Teman-teman mau dari mana dulu nih?" tanya Lulu sambil menengok ke kanan dan ke kiri.
"Lu, kalau menurut absen gimana?" saran Amel yang duduk di belakang Lulu.
"Oh iya ... kenapa gak bilang dari tadi ...?"
"Baru ngeh sekarang Lu. "
Lulu membuka absen di ponselnya.
"Absen pertama Lulu Nurzan ... eh kok gue dulu?"
"Lah, sugan kamu gak tahu nomor absen sendiri?" tanya Anton yang dari tadi berdiri di samping Aldi.
"I ... kirain dari inisial A dulu ..."
"Haha, kamu kira saya dulu ya? Udah ... itu udah sistemnya kaya gitu kali. Gak mau tahu, maju-maju, " ledek Aldi.
Lulu akhirnya nurut dan memperkenalkan diri dengan singkat dan jelas. Mulai dari nama, alamat, sampai nama kumang yang dia punya pun dia kenalkan.
"Udah kan? Ada yang mau ditanyakan lagi gak?"
Anton mencoba memikirkan pertanyaan."Eu ...."
"Udah ah, takut kelamaan," keluh Lulu, lantas duduk.
“Jeh ... belum juga disuruh duduk,” ucap Aldi. Sementara Anton hanya geleng-geleng kepala.
Dan ... inilah waktu yang ditunggu-tunggu Nia. Fahri maju ke depan. Dia mengenakan kemeja hitam dan celana chino warna krem yang rapih. Dia tak terlalu tinggi dan tidak terlalu gemuk. Cocok dengan kriteria Nia.
Bersama semilir angin pagi yang masuk melalu jendela, Nia memperhatikan Fahri yang mulai memperkenalkan diri. Suara khasnya membuat hati Nia berdebar-debar. Ketika teringat sesuatu Nia langsung menceramahi dirinya sendiri sembari menunduk.
Astagfirullah Nia ... jaga pandangan!
"Ri, udah punya pacar belum?" celetuk Anton, membuat Nia kembali fokus pada Fahri.
Fahri cengengesan.
"Hehe emang pacaran boleh Mang?" tanya Fahri, lugu
"Yaelah ... malah nanya balik, udah punya belum ...? Cewek-cewek nungguin nih ...!"
"Ih, itu mah rahasia saya sama Allah atuh Mang, maaf ya."
"Lah?"
Tuh kan ... pasti belum punya pacar, masa pacar sendiri dirahasiain? Mana bawa-bawa Allah lagi, pasti dia ngerti kalau pacaran itu dosa.
Kini giliran Nia yang maju ke depan, berharap fahri memperhatikannya. Tapi ternyata Fahri malah sibuk main ponsel.
Sabar Nia, sabar ... namanya juga baru kenal, tapi pasti dia dengerin tentang kamu kok.
Sesi perkenalan sudah usai, waktunya pemilihan sturuktur organisasi kelas.
"Mau siapa guys ketuanya?" tanya Aldi.
"Bintang ...."
"Ih, enggak, yang lain aja atuh. “
Lulu menengok ke belakang.
"Kamu aja Bintang ... kamu kan komunikasinya bagus, terus sering ngasih saran juga di grup," titah Lulu sedikit memaksa.
Memang si ... si Bintang terlihat pendiam, tapi sekalinya beragumen dan berbicara, caranya patut diacungkan jempol.
Walau Nia sependapat dengan yang lain, mengenai Bintang cocok jadi ketua kelas, tetap saja hatinya tertuju pada pria idaman banyak cewek.
Kenapa si gak si Fahri aja? Pasti bisa memimpin kelas kok, sama seperti memimpin aku nanti hehe.
"Ya udah deh, bismillah, tapi nanti bantu Bintang ya teman-teman."
Anton meyakinkan Bintang.
"Pasti atuh ... kami bantu. Pasti kamu juga bisa."
Pemilihan strukur organisasi sudah selesai. Nia tidak jadi apa-apa. Memang keinginannya seperti itu. Dia hanya ingin fokus pada perkuliahan.
Gak bosan-bosan mahasiswa kelas A memperkenalkan diri mereka. Masing-masing kembali berdiri di depan kelas, secara bergantian, sebelum Pak Ali Nurgraha, M.Pd, menyampaikan materi mata kuliah hardware.
"Gak salah kamar Neng?" canda pak Ali, pemilik kumis baplang, pada Nia.
"Mohon maaf, maksudnya Pak?"
"Bercanda Neng ... soalnya kamu dari jurusan perhotelan. Tapi gak apa-apa, semoga kamu betah ya di PTIK."
Hanya beberapa mahasiswa yang tertawa, karena Nia belum begitu akrab dengan mereka. Bukan hanya itu, tapi karena mohon maaf, candaan pak Ali sedikit garing. Gak apa-apa, yang penting pak Ali ramah dan semoga tidak pelit untuk memberi nilai.
***
Nia mulai sibuk. Baru saja kuliah dua minggu, sudah banyak tugas. Baik tugas individu maupun kelompok. Tugas kelompok? Apakah Nia satu kelompok dengan Fahri?
Ketika suasana damai menyapa malam di sekitaran Bandung, Nia tengah sibuk dengan tugas individu, yang dia kerjakan di atas kasur . Fokusnya seketika buyar saat ada notifikasi grup WhatsApp masuk.
Teman-teman, pembagian kelompok tugas mau gimana?
Udah Bin, pilih aja secara acak, berdasarkan absen.
Oke Lu, makasih sarannya, gimana yang lain?
Setuju.
Bowleh.
Gas ....
Di dalam kamar sederhana bernuansa pink putih, Nia menunggu hasil kelompok dengan penuh harapan.
"Bismillah, semoga sama Fahri."
Dan tak lama, foto nama-nama kelompok dikirim Bintang di grup. Di balik selimut Doraemon Nia terkejut, seraya bahagia.
"Yes ... sekelompok di mata kuliah pedagogik ...."
"Gak apa-apa deh cuman di satu mata kuliah juga, yang penting nantinya bisa berdiskusi sama ... Fahri."
Dengan semangat Nia menghempaskan selimutnya. Bersama perasaan berani, dia akan mengirim pesan duluan ke Fahri. Waduh, emang boleh secepat itu? Nia ... Nia ....
Assalamualaikum A, perkenalkan saya Nia, kita sekelompok ya? Izin save nomor Wa-nya ya.
Waalaikumsalam, oke ....
"Ya ampun ... fast respon banget ...."
Nia berhenti ceria saat menyadari sesuatu.
"Hm ... kok cuman oke?"
Ekspektasi Nia mulai beraksi. Wajahnya kembali berseri.
"Eh, jangan-jangan dia orangnya suka jaga batasan sama cewek? Wah ... masyaallah ...."
Nia kembali membaringkan diri. Wajahnya masih berseri-seri. Dia tersenyum sambil menatap lampu tumbler warna warni yang mengelilingi atap kamarnya. Dia belum bisa tidur, pikirannya terbawa oleh angan-angan masa depan. Lupa, Nia lupa untuk memalingkan segala pikiran itu, padahal dia pernah menceramahi dirinya sendiri supaya tidak membayangkan laki-laki. Sekarang dia membayangkan Fahri datang melamarnya sambil bernyanyi dan membawakan buket bunga mawar.
Padahal komunikasi mereka baru di WhatsApp saja, tapi halu Nia sudah menjadi-jadi. Gak mungkin Nia membayangkan sampai pagi, beberapa menit kemudian dia tertidur pulas di balik selimutnya.