"Mah, saya mau pindah kerja ke bekasi," jelas Arman sambil memainkan nasi goreng pakai sendok.
Yani menurunkan kembali sendok berisi nasi goreng yang hampir dia suapkan.
"Kenapa? Kerja di kampus tidak nyaman?"
"Nyaman kok Mah."
"Terus kenapa?"
Arman terdiam.
"Gaji di sana lebih besar, lumayan buat modal bisnis dan biaya S2 nanti Mah."
"Memangnya, pekerjaan kamu yang sekarang enggak cukup untuk modal dan kuliah S2?"
Arman menggelengkan kepala.
"Semenjak omzetnya turun, saya jadi butuh modal yang lebih banyak."
Yani mengehela nafas.
"Berarti di sana kamu mau tinggal kosan?"
"Saya mau ikut tinggal di rumah Bapak."
Mamah terdiam lalu menyandarkan punggungnya.
"Sebenarnya, tadinya saya akan tinggal kosan, tapi karena Bapak kemarin mengabarkan kalau dia sakit, jadi sementara waktu saya akan tinggal sama Bapak. Kasihan Mah, kasihan Salsa juga."
"Kemarin Bapak yang telepon atau Salsa?"
"Bapak Mah."
"Kok Salsa gak ngabarin Mamah?"
"Mungkin takut membuat Mamah khawatir."
Mamah kembali menghela nafas.
"Ya sudah, kamu boleh ke sana, jaga diri kamu baik-baik Ya, salam juga buat Salsa dan Bapak."
"Iya, makasih ya Mah."
"Ya sudah cepat habiskan nasi gorengnya, sekarang kamu masih ke kampus kan?
"Iya Mah."
Dengan tekad yang sudah bulat, Arman akan betangkat ke bekasi besok pagi. Dia akan bekerja di salah satu perusahaan WEB yang tak jauh dari rumah Bapaknya, sembari mencari kampus S2. Sementara untuk ke jenjang pernikahan, jujur dia belum siap. Setelah dia bertanya ke pakarnya, ternyata pernikahan itu butuh banyak persiapan dan pertimbangan, bukan sekedar soal cinta-cintaan. Namun, Arman sudah menemukan perempuan yang menurutnya cocok.
Di hari yang cerah ini, Arman tetap pergi ke kampus. Bukan untuk bekerja, melainkan hanya ingin pamit pada rekan-rekannya. Sehabis berpamitan dengan rekan-rekannya, Arman mengunjungi salah satu toko buket di dekat Taman Dago. Kemudian dia memilih salah satu buket yang bernuansa abu biru, berisi bunga biru dan coklat putih.
"Buat ceweknya ya A?" tanya kasir sambil menyerahkan buket.
Arman hanya tersenyum, lantas menerima buket sambil menyerahkan uang senilai 100 ribu rupiah.
"Ini Teh, ambil saja kembaliannya."
"Wah, terima kasih A, semoga langgeng ya."
Responnya masih sama, Arman hanya menunjukkan senyum sederhana.
Pulang dari toko, Arman langsung ke rumah sepupunya, untuk menyampaikan sesuatu.
***
Wajah Nia terlihat berbeda dari sebelumnya. Dia terdiam di depan cermin gantung yang berukuran sedang. Senyumannya hanya sekilas, karena dia langsung merenungkan sesuatu, mengingat seseorang.
"Gimana Teh? Udah oke?" tanya MUA yang berdiri di belakang Nia, sambil memasukkan alat makeup ke pouch birunya.
Nia tersenyum kembali. Dia masih duduk di kursi yang biasa dipakai untuk belajar.
"Bagus Teh, makasih banyak ya."
"Alhamdulillah, saya pamit ya Teh, suksea acaranya."
"Aamiin, sekali lagi makasih ya Teh."
"Sama-sama, makasih juga Teh udah manggil saya, hayu Teh, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
MUA keluar kamar, Nia kembali diam dengan wajah sedikit sendu.
Dia datang gak ya?
Nia sedikit terkejut dengan pertanyaan yang terlintas di hatinya.
"Astagfirullah, Nia jangan berharap."
Nia mencoba untuk tersenyum kembali.