Ayah Ali
Di sebuah teras rumah sederhana di kota Bogor, seorang pria paruh baya duduk di sebuah pendopo, menikmati secangkir kopi hitam, sepotong kue Bika Ambon dan sebatang rokok. Namanya Ayah Ali, duda anak satu yang tinggal seorang diri di kota Hujan. Anaknya semata wayangnya, bernama Rachmanina Damayanti Ali, bekerja sebagai staff keuangan di kawasan Sudirman, Jakarta.
Dahulu, ia pernah bekerja sebagai pegawai negeri di kantor kecamatan Sukamaju. Tetapi, ia mengajukan pensiun dini pada tahun 2021 dan menghabiskan waktunya dengan berkebun di halaman belakang rumah.
Berkebun ialah hobinya sejak dulu, sesuatu yang membuat beliau selalu merasa hidup. Namun, ia tidak sendiri. Sahabat lamanya yang dahulu pernah bekerja di satu instansi, kini menjadi asisten pribadinya. Namanya Pak Sanjaya atau yang biasa dipanggil 'Jaya'.
"Pak Ali, tanaman yang Bapak rawat ini segar-segar banget! Lihat tuh kol sama sawinya. Beuh, hijau pisan!" Puji Pak Jaya sambil menunjuk deretan tanaman yang tumbuh subur.
Ayah Ali tersenyum kecil sambil menghisap rokok yang kini tinggal setengah batang.
"Kalau nanam pakai hati yang tulus, Insha Allah hasilnya bagus, Jay."
"Hahaha... Setuju, Pak! Eh, tapi apa Bapak enggak capek berkebun terus?"
Ayah Ali menghela napas, lalu tersenyum tipis.
"Untuk mengisi hari-hari pensiun saja, Jay. Alhamdulillah enggak capek. Cuma yaaa..."
Mendadak, tatapan Ayah Ali menerawang. Seperti, ia menatap sesuatu yang menyelimutinya, yaitu sebuah kenangan itu hadir di ingatannya yang menyesakkan dada.
Desember 2011, RS Azra Bogor
Ayah Ali duduk di salah satu kursi depan ruang ICU, wajahnya terlihat letih, kucal dan penuh kecemasan. Ia melihat di balik pintu kaca itu, istri tercintanya, Ibu Laras tengah berjuang melawan hidup dan mati. Sejak didiagnosa kanker payudara stadium 4 pada tahun 2009, membuat Ibu Laras menjalani berbagai pengobatan. Sayangnya, kondisinya semakin memburuk.
Nina yang saat itu masih usia remaja dan baru pulang sekolah, bergegas menuju rumah sakit begitu mendengar kabar tentang ibunya dari ayahnya. Ia merasa iba melihat kondisi Ayah Ali yang termenung dengan wajah yang terlihat kusam dan pucat. Hatinya langsung mencelos.
"Ayah... Kita makan dulu, yuk. Aku sedih lihat Ayah dari tadi tuh diam aja. Udah seharian lho Ayah belum makan." Pintanya sambil membujuk Ayah Ali dengan sebungkus nasi padang.
Namun, Ayah Ali hanya menggeleng pelan.
"Ayah enggak nafsu, Nak. Kalau mau, Nina aja yang makan."
Baru saja Nina hendak membalas perkataan sang ayah, tiba-tiba beberapa dokter dan perawat bergegas masuk ke ruang ICU dengan ekspresi serius. Jantung Nina mencelos, tangannya refleks menggenggam lengan Ayah Ali dengan erat.
"Ayah! Ayah! Ibu, Yah!"