Kelima sekawan itu kembali ke kantor untuk menghadapi berbagai realita pekerjaan yang belum mereka selesaikan, termasuk Nina. Ia melangkah menuju ruangannya, menarik napas sejenak, merenungi hal-hal yang ia syukuri sekarang : memperoleh jabatan yang lebih tinggi dan bisa berbagi kebahagiaan kepada orang terdekatnya.
Nina bersyukur bahwa hidupnya masih dikelilingi orang yang sayang dengannya.
Ia berjalan menuju meja kerjanya. Matanya tertuju pada tiga bingkai foto yang penuh kenangan. Bingkai foto yang menjadikan penyemangat setia bagi Nina saat ia menghadapi berbagai tumpukan pekerjaan.
Di sisi kanan, foto pertama menampilkan dirinya saat Nina berusia lima tahun, dengan pipi mengembung dan rambut diikat dua. Ayah Ali dan mendiang Ibu Laras tampak gemas melihat tingkah lucu Nina yang tertawa bahagia saat bermain ayunan di taman. Saat itu, dunia terasa begitu indah dan sederhana.
Beralih ke sisi kiri, foto kedua menampilkan momen istimewanya bersama Ayah Ali saat menghadiri wisuda sarjana pertamanya. Tatapan bangga pada wajah sang ayah begitu jelas, meskipun pada foto itu tak ada sosok mendiang Ibu Laras.
Foto tersebut menandai bahwa hari itu dimana Nina merasa benar-benar membuat Ayah Ali bangga dengan kerja kerasnya—sebuah pengingat bahwa perjuangannya selama ini tidak sia-sia.
Foto terakhir. Nina mengambil bingkai itu dan menatapnya dalam-dalam, seolah menyimpan rindu yang begitu berat. Foto ketiga itu menampilkan momen istimewa saat Nina bersama Ayah Ali duduk santai di halaman rumah, menikmati senja sore dengan obrolan ringan yang selalu terasa hangat. Justru momen itulah yang paling dirindukan Nina.
Ada dorongan kuat untuk menangis, namun ia menepisnya. Ia meletakkan kembali bingkai foto itu di tengah meja kerjanya, lalu membuka layar laptop, mengarahkan kursor mouse-nya ke aplikasi WhatsApp dan mulai mencari nama kontak sang ayah: Ayah Ali Tersayang.
Begitu nama itu muncul, Nina langsung menekan tombol video call.
Sementara itu di Bogor kebun belakang rumah, Ayah Ali bersama Pak Jaya sedang duduk beristirahat di sebuah pendopo. Ponselnya merasakan getaran ringan dari saku celananya. Penasaran, siapa yang meneleponnya, Ia langsung mengeluarkan ponselnya dan melihat layar—tertera nama Nina Anakku.
Tangannya yang masih sedikit berdebu itu, Ayah Ali langsung mengusap layar hijaunya. Dalam sekejap, muncul wajah Nina yang tersenyum cerah di panggilan video.
"Assalamu'alaikum... AYAHHH!"
"Wa'alaikumsalam... Neng. Kumaha damang?"
"Alhamdulillah, baik. Kerjaan juga lancar. Ayah gimana kabarnya? Sehat?"
"Alhamdulillah, Ayah sehat, Nak. Lihat kamu bahagia aja di Jakarta sudah bikin hati Ayah tenang."
Tiba-tiba, Ayah Ali mengarahkan kamera ponselnya ke sekeliling kebunnya. Tampak pohon-pohon hijau yang rimbun dan subur, serta Pak Jaya yang tengah duduk santai di pendopo, melambai ke arah kamera dengan senyum ramah.
"Nih, Ayah habis berkebun sama Pak Jaya. Tuh lihat, Neng. Cabai, kol, sawi sama tomat, Seger pisan, kan?"
Mata Nina berbinar saat melihat kebun milik Ayah Ali bertumbuh subur di halaman belakang rumahnya. Ada kebanggaan sekaligus rindu yang menyusup perlahan di dadanya.
"Wih, seger banget itu, Yah! Kalau pulang ke Bogor, bisa nih aku borong semuanya, ya! Buat stok sayur di kos!"
Kehangatan itu makin terasa ketika Pak Jaya tiba-tiba menyela dari kejauhan.
"Tenang aja, Neng. Kalau sama anak kesayangannya Pak Ali mah pasti digratisin."
Nina tersenyum lebar mendengar candaan Pak Jaya.
"Wah, siap Pak Jaya! Nanti kalau aku main ke Bogor siapin yang banyak ya."
"Oke, deh. Eh Nina, kamu apa kabar?"
"Alhamdulillah, baik Pak Jaya. Bapak juga gimana kabarnya? Sehat?"