Udara di kota Bogor pada malam hari berembun sejuk. Angin berdesir pelan menyapu dedaunan yang mulai basah oleh embun. Aroma pohon pinus menyeruak harum di perbukitan, menyusup lembut ke berbagai sudut desa.
Malam itu, Ayah Ali dengan pakaian khas bapak-bapak yang sedang meronda—kaus kemeja lengan pendek berwarna biru navy dan sarung kotak-kotak yang dililit rapi. Ia memegang secangkir teh tawar hangat sambil menikmati semilir angin yang sedang memasuki tubuhnya.
Pandangan matanya menatap jauh ke jalanan desa yang mulai sepi, hanya sesekali terdengar suara jangkrik bersahutan dan anjing menggonggong dari kejauhan. Lampu jalan temaram menyoroti kabut tipis yang turun perlahan.
Agar dirinya tidak terlalu larut dalam lamunan, Ayah Ali membuka ponselnya dan mengetuk ikon Galeri. Ia mulai menelusuri satu per satu foto yang tersimpan: potret dirinya di tengah kebun, bersama Pak Jaya yang sedang memanen sawi, hingga hasil panen sayuran yang tertata rapi di dalam keranjang bambu.
Jarinya berhenti pada satu foto yang membuat napasnya tertahan. Foto dirinya bersama Nina.
Potret itu diambil saat Nina wisuda. Ia berdiri anggun dalam balutan kebaya satin berwarna pink lembut, rambutnya yang panjang dan bergelombang dengan rapi, riasannya natural tapi menonjolkan wajah yang teduh dan membanggakan. Di lehernya, tepat di sisi kiri tergantung selempang bertuliskan "Rachmanina Damayanti Ali, S.E" dan di sisi kanan "Lulusan Terbaik Akuntansi 2019."
Ayah Ali berdiri mengenakan kemeja batik panjang bermotif biru klasik, dengan nametag bertuliskan Ali Hamdani Rachman dan pin Kopri yang tersemat rapi di dada kirinya. Jam tangan yang sedikit longgar melingkar di pergelangan tangan, bergoyang pelan setiap kali ia menggerakkan tangan. Senyumnya lebar, matanya berbinar, seolah semua lelahnya selama ini dibayar lunas hanya dengan satu momen itu.
Melihat foto itu, Ayah Ali merasa haru sekaligus bangga. Nina telah menempuh perjalanan panjang yang tidak mudah.
Ia mengusap layar ponsel dan tersenyum kecil, pikirannya mulai melayang pada kenangan lama—momen yang penuh kebahagiaan dan kebanggaan.
Momen Wisuda Nina
Jakarta 25 Maret 2019, di pelataran Balai Sidang Jakarta Convention Centre (JCC), Nina melangkah keluar dengan anggun, mengenakan sepatu hak tinggi dan kebaya satin berwarna pink lembut memancarkan keluwesan khas seorang putri di hari istimewanya.
Topi toga terpasang rapi di kepalanya, dengan tali yang menjuntai ke sisi kanan—tanda sah kelulusannya sebagai sarjana. Tak hanya toga, di tangannya Nina menggenggam sebuah ijazah kelulusan dan piagam penghargaan berbentuk plakat. Piagam itu bertuliskan atas prestasi akademiknya:
Lulusan Terbaik Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Tahun 2019.
Pelataran Balai Sidang JCC hari itu dipenuhi lautan toga, senyuman, dan pelukan hangat dari para wisudawan dan wisudawati bersama orang tua mereka. Tawa, air mata, serta keharuan membaur menjadi satu, menciptakan atmosfer yang tak akan terlupakan.
Di tengah hiruk pikuk itu, Nina berdiri mematung. Matanya sibuk menyapu keramaian, mencari sosok yang sangat berarti bagi hidupnya. Ia menoleh ke arah kanan dan kiri. Tak ada ada tanda-tanda kemunculan.
Hingga akhirnya, dari kejauhan, terdengar suara familiar memanggil namanya.
"Ninaaaaa..."
Suara Ayah Ali menggema di antara kerumunan. Ia melambaikan kedua tangannya tinggi-tinggi, mencoba menerobos perhatian putrinya.
Nina menajamkan pandangannya, akhirnya ia menemukan sosok sang ayah di tengah lautan manusia. Ayah Ali berdiri dengan senyum penuh haru, mengenakan kemeja batik bermotif biru klasik. Rambutnya tersisir rapi, dan sebuah jam tangan tua yang selalu setia menghiasi pergelangan tangannya, tampak berkilau di bawah cahaya pagi.
Seketika, langkah kaki Nina mempercepat menuju sang ayah.
“Ayaaahhh!” serunya penuh haru, sambil mengangkat plakat di tangannya.
Ayah Ali langsung menyambut pelukan putrinya, mengangkatnya sedikit dalam gendongan kecil yang dipenuhi rasa bangga, lalu memutarnya pelan seperti saat Nina kecil dulu.
Tawa mereka menyatu di tengah keramaian, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
“Anak Ayah sekarang resmi jadi sarjana,” ucap Ayah Ali sambil menatap wajah Nina yang bersemu bahagia.
“Ini semua berkat Ayah dan Ibu,” bisik Nina, menahan air mata yang mengambang di pelupuk matanya. “Kalau Ibu masih ada, pasti beliau bangga banget hari ini.”
Ayah Ali mengangguk, memeluk Nina lebih erat.
“Ibu pasti melihat kamu dari atas sana. Dan Ayah... Ayah bangga sama kamu, Nak.”
Ayah Ali menatap Nina dengan penuh kasih, lalu mengelus lembut rambut putrinya.
“Semua ini karena kemurahan Allah, Nak. Karena kamu anak yang baik, Allah terus limpahkan kebahagiaan. Ingat, jangan pernah sombong, dan tetaplah berbuat baik kepada siapa pun."
Nina menatap mata Ayahnya yang mulai berkaca-kaca. Ada haru yang tak bisa disembunyikan.
“Ayah selalu percaya sama Nina. Tapi sekarang... saatnya kamu percaya pada dirimu sendiri, dan terus melangkah lebih jauh,” lanjut Ayah Ali dengan suara yang mulai bergetar.
Nina mengangguk pelan. Ia menggenggam tangan Ayahnya erat.
“Ayah... Aku enggak akan pernah lupa semua pesan Ayah. Doa Ayah itu kekuatan paling besar buat aku.”
Keharuan itu kembali menyeruak di antara kehangatan antara ayah dan anak perempuannya. Hening sejenak menyelimuti keduanya, seolah dunia berhenti bergerak hanya untuk mereka berdua.
“Pejamkan matamu, Nak. Ayah mau kasih sesuatu untukmu,” ucap Ayah Ali dengan lembut.
Nina menurut. Ia menutup matanya perlahan, tersenyum kecil.
“Ayah apaan sih? Jangan yang aneh-aneh ya.” Candanya pelan, mencoba menyembunyikan rasa haru yang kembali mengalir.
Ayah Ali tertawa kecil. Ia membalikkan tubuhnya, pura-pura mencari sesuatu yang sejak tadi sengaja disembunyikan dari pandangan Nina. Ia mengeluarkan secara hati-hati sebuah hadiah yang tersimpan di dalam totebag besar itu, yang awalnya diselipkan di balik bangku.
Dengan senyum hangat, Ayah Ali meletakkan buket bunga itu di hadapan Nina.
"Buka matanya sekarang."
Nina membuka matanya perlahan. Ia terkejut saat melihat sebuah buket bunga mawar berwarna merah muda dengan boneka beruang yang mengenakan selempang nama "Rachmanina Damayanti Ali, S.E".
Di sela bunga, terselip kartu ucapan mungil berwarna krem yang bertuliskan:
Selamat atas gelar sarjanamu, Nak...
Terima kasih telah membuat Ayah bahagia...
Ayah bangga sama kamu, Nak.
Nina menutup mulutnya, menahan haru yang menggelayuti dadanya. Matanya mulai berkaca.
"Ayaaahh...." lirihnya, nyaris tercekat
"Kamu pasti suka kan?" tanya Ayah Ali sambil tersenyum penuh harap.
"Suka, Yah. Suka banget malahan," ucap Nina sambil mengangguk cepat dan memeluk buket bunga itu dengan hati-hati.
"Maaf ya, Nak. Hanya hadiah sederhana ini yang Ayah kasih buat kamu."
"Enggak apa-apa, Yah. Buket bunga seperti ini, aku juga suka kok." Jawab Nina tulus, menatap Ayah Ali dengan mata berbinar.
Ayah Ali mengangguk kecil, namun belum selesai.
"Tapi, Ayah juga ada lagi hadiah istimewa buat kamu."
Nina memiringkan kepalanya sedikit. Ia bingung, kejutan apalagi yang akan diberikan oleh sang ayah kepadanya.
"Hadiah apa lagi, Yah?"
Ayah Ali tersenyum misterius melihat Nina dengan ekspresi yang sedikit kebingungan. Agar Nina tidak semakin penasaran, ia melakukan gerakan merogoh saku batik panjangnya di sisi kanan. Jari-jarinya menyentuh sesuatu yang kecil dan keras. Ia menggenggamnya, lalu menariknya perlahan.
"Nah, ini dia!" Ucapnya sambil mengangkat sebuah kotak beludru kecil berwarna merah maroon.
Nina menatap kotak itu dengan dahi berkerut.
"Apa ini, Yah?" tanyanya sedikit kebingungan.
"Coba kamu buka. Pelan-pelan."
Nina membuka kotak beludru itu secara hati-hati. Begitu tutupnya terbuka, matanya langsung terbelalak. Sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk hati terbaring anggun di dalamnya.
"Ayaaahhh..."
"Itu hadiah dari Ibu kamu. Dulu Ibu pernah bilang ingin membelikanmu sesuatu saat kamu lulus kuliah. Kalung ini, Ibu beli sejak kamu masih SD, Nak."
Nina menutup mulutnya, tak sanggup untuk mulai berkata-kata. Setitik air mata jatuh di sudut matanya.
"Ayah simpan kalung emas ini baik-baik. Meskipun Ibu sudah enggak ada dan dahulu kita pernah kesulitan ekonomi, Ayah enggak tega buat ngejualnya."
.....
"Ayah enggak tahu dulu Ibu beli kalung ini dengan harga berapa. Tapi sekarang, ini sudah menjadi kenangan dan waktu kembali ke pemiliknya."
Ia mengangkat kalung emas itu dari kotaknya dengan tangan yang sedikit gemetar. Nina menatapnya lama, seolah merasakan kehangatan cinta seorang Ibu dari benda yang sederhana. Meskipun kini dipisahkan oleh jarak yang tak kasatmata.
"Boleh Ayah yang pasangkan kalung itu ke leher kamu?"
Nina mengangguk pelan. Ia menunduk dan menyibakkan sedikit rambutnya ke depan. Ayah Ali berpindah posisi dari depan ke belakang Nina. Perlahan, ia mengenakan kalung itu di leher putrinya, lalu mengaitkannya dengan hati-hati.
"Sekarang anak Ayah pakai kalung itu lebih cantik."
Setelah kalung terpasang, Nina menyentuh liontin hati itu, lalu memejamkan matanya sejenak.
"Terima kasih, Yah... Terima kasih karena sudah menyimpan ini buat aku."
"Ayah juga berterima kasih sama kamu... karena sudah jadi anak yang kuat. Kamu enggak pernah sekalipun mengecewakan Ayah dan Ibu."
Mereka kembali berpelukan erat. Dalam pelukan sang ayah, Nina seakan menuangkan seluruh rasa terima kasihnya kepada Ayah Ali atas cinta yang tak pernah habis. Ia tenggelam dalam dekapan sosok pria yang selalu melindunginya, seolah menemukan ruang kehangatan yang tak pernah tergantikan.
Ayah Ali adalah sosok ayah yang mencintai putri semata wayangnya begitu mendalam. Ia rela melakukan hal apa pun demi Nina, termasuk di hari spesial ini—momen wisuda yang telah lama mereka nantikan bersama.
Padahal, Nina tahu betul bahwa hari ini Ayah Ali tengah disibukkan oleh pekerjaan penting di kantor Kecamatan Sukamaju, yaitu adanya rapat besar di Kantor Wali Kota Bogor untuk membahas pemilihan umum kepala daerah.
Namun, Ayah Ali tidak ingin melewatkan momen berharga dalam hidup Nina. Sang ayah itu rela menempuh perjalanan jauh dari Bogor menuju Balai Sidang Jakarta Convention Centre (JCC) hanya demi melihat putrinya berdiri dengan toga kebanggaannya—memakai kebaya pink satin, lengkap dengan riasan yang anggun dan memancarkan wibawa.
"Terima kasih, Ayah... sudah jauh-jauh datang dari Bogor demi hadir di wisuda aku." ucapnya lirih, masih dalam dekapan Ayah Ali.
"Iya, Nak. Sekali lagi, terima kasih juga karena sudah membuat Ayah bangga sama kamu."
Suasana di Balai Sidang JCC masih dipenuhi hiruk-pikuk para orang tua yang memberikan selamat kepada anak-anak mereka yang baru saja lulus. Namun, hanya Ayah Ali dan Nina yang tenggelam dalam momen kecil nan penuh makna—pengorbanan sang ayah, hadiah kecil dari sang ibu, merayakan pencapaian hari ini yang luar biasa dan menyambut masa depan dengan hati yang penuh harapan.
"Jadi kamu siap menghadapi masa depan, Nak?" tanya Ayah Ali pelan, sembari menatap putrinya yang kini tumbuh dewasa.
Nina mengangguk mantap, senyumnya mengembang lembut di tengah mata yang masih sembab oleh haru.
"Selama masih ada Ayah disini, aku siap."
Ia mengusap pelan pundak Nina, lalu bergetar dengan suara pelan.
"Ayah enggak akan kemana-mana, Nak. Selama kita masih bersama, Ayah selalu menjadi tempat untukmu pulang."
Pernyataan dari Ayah Ali membuat Nina semakin terlarut dalam keharuan. Ia yakin, mereka akan selalu tetap bersama—bukan hanya dalam jarak yang dekat, tapi juga dalam ikatan hati yang tak akan pernah putus, sekuat doa yang setiap hari Ayah Ali panjatkan untuk kebahagiaannya.
Saat para wisudawan dan wisudawati menikmati selebrasi di dalam maupun di luar gedung, tak lama kemudian suara dari pengeras terdengar, memecah suasana meriah.
"Para hadirin, wisudawan dan wisudawati yang berbahagia. Saat ini kita memasuki sesi foto keluarga. Bagi yang ingin berfoto bersama, dipersilakan mengambil voucher foto studio dan voucher makan yang tersedia di sisi kanan Balai Sidang. Foto studio berada di lantai dasar, sedangkan area makan terletak di food court di sisi kiri gedung. Selamat menikmati momen kebahagiaan Anda bersama keluarga."
"Ayah, yuk kita ambil voucher foto dan makan." ajak Nina sambil menarik tangan Ayah Ali dengan semangat.
"Boleh, Nak. Ayah ikut, ya." jawab Ayah Ali sambil mengikuti langkah putrinya.
Namun, sang ayah mendadak menghentikan langkahnya dan menatap wajah Nina dengan mata yang sedikit memerah dan sedikit bercak air mata di sudut mata kanannya.
"Tapi itu, air mata kamu masih ada sisa, tuh. Entar yang ada malah kelihatan tuh bercaknya pas difoto."
Nina terkejut sebentar, lalu buru-buru merogoh tas selempang hitam yang menggantung di pundaknya. Ia mengambil kotak bedak mungil dengan cermin di bagian dalam tutupnya, lalu membukanya perlahan.
Nina mengusap sisa air mata yang terletak di sudut kanan matanya. Ia melakukannya dengan cepat dan hati-hati agar tidak merusak make-up aslinya, lalu menepuk ringan bedak di pipi yang tampak sedikit basah. Sesekali, ia mendekatkan wajah ke cermin kecilnya itu, memastikan tidak ada bercak yang tertinggal.
"Udah mendingan belum, Yah?" tanyanya sambil menoleh ke Ayah Ali.
Ayah Ali menatap wajah putrinya lekat-lekat, "Anak Ayah makin cantik ya." Lalu, ia menarik napas dalam-dalam, seolah menahan sesuatu di dadanya sebelum melanjutkan, "Cantik banget, kayak Ibu kamu waktu masih muda."
Ucapan yang begitu mudah dilontarkan oleh Ayah Ali barusan membuat bibir Nina membentuk senyum tipis. Sederhana, tapi cukup membuat untuk menghadirkan kehangatan yang perlahan menjalar di dadanya, seperti pelukan yang jauh dari jangkauan, namun terasa.
Tak ingin larut dalam keharuannya yang mengapung pelan di dadanya, Nina menutup kotak bedaknya perlahan, lalu menyelipkannya kembali ke dalam tas.
"Yuk, kita ambil voucher. Biar enggak lama antri."
Ayah Ali dan Nina melangkah berdampingan, perlahan menyatu dalam riuhnya di hari istimewa itu. Di tangan kirinya, Nina masih menggenggam buket bunga mawar pemberian ayahnya yang sejak tadi tidak ia lepas beserta plakat penghargaan wisuda yang kini terasa begitu berarti—seolah menjadi simbol kecil dari kebahagiaan yang tengah mekar di relung hatinya. Mereka menyusuri lorong Balai Sidang JCC yang mulai dipadati dengan para wisudawan dan wisudawati beserta keluarga masing-masing.
Saat mereka berbelok ke lorong sebelah kanan Balai Sidang JCC, pandangan mereka tertuju pada antrean panjang yang mengular di depan pengambilan voucher—pertanda bahwa perjalanan mereka hari ini belum benar-benar usai.
"Banyak juga ya, Yah."
"Namanya juga wisuda, Nak. Pasti banyak yang antre buat ambil foto."
Di antara keramaian itu, perhatian Nina perlahan teralih. Pandangannya menyapu ke kiri—melihat sosok Ayah Ali yang berdiri di sisinya. Ada gerakan kecil yang tak luput dari matanya—tangan Ayahnya memijat pelipis, tubuhnya tampak sedikit membungkuk, seperti sedang berusaha menahan letih yang mulai menyapa.
"Ayah kenapa? Capek? Yuk kita cari tempat duduk dulu ke kebelakang." tawar Nina dengan nada khawatir.
"Enggak usah, Nak. Ayah cuman sedikit pusing saja. Mungkin karena udaranya agak pengap." sahut Ayah Ali, berusaha tetap tenang.
Tanpa perlu mengucap sepatah kata apapun, Nina menunduk dan meletakkan buket bunga pemberian Ayah Ali di lantai, beserta plakat penghargaan wisuda yang sedari tadi ia genggam. Ia menaruhnya secara hati-hati, seolah tak ingin merusak kelopak bunga itu satu helai pun. Tangannya sigap merogoh ke dalam tas selempang hitam yang selalu ia bawa.
Dalam hitungan detik, sebuah botol air mineral kecil telah berpindah ke tangannya. Ia membukanya pelan, lalu menyodorkan ke Ayahnya.
"Nih, Yah. Minum dulu biar seger dan enggak dehidrasi."
Ayah Ali menerima botol kecil itu dan menatap Nina lembut. "Terima kasih, Nak. Perhatian banget."
Nina tersenyum tipis, "Iya, dong. Ini kan hari istimewanya kita. Ayah harus sehat. Biar difotonya kelihatan seger, enggak pucet."
Ayah Ali terkekeh kecil sebelum meneguk air itu hingga tetes terakhir, seolah setiap tegukkan itu cukup mengembalikan kesegaran dan tenaganya. Setelah habis, ia menutup botol itu dengan gerakan santai, lalu menoleh ke arah Nina dengan mata yang mulai kembali bersinar.
Sepasang mata sang ayah menyiratkan gurauan yang tak sempat diucapkan. Tatapan usilnya muncul begitu saja—tatapan khas seorang ayah yang sedang menikmati kebersamaan dengan anak tercintanya, tanpa perlu banyak kata. Ada kehangatan yang tak terlihat, tetapi terasa begitu hangat.
"Wah. Kalau di fotonya Ayah kelihatan pusing, nanti dikira abis ngitungin biaya kuliah kamu," ucapnya dengan nada menggoda.
Nina mendengus pelan, memukul lengan Ayah Ali ringan sambil tertawa kecil, "Yah! Jangan gitu dong!"
Tawa mereka terdengar pelan, tetapi cukup mencairkan sisa haru yang masih menggantung di antara keduanya. Mereka kembali berdiri dalam antrean yang mulai bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Suasana di sekitar koridor Balai Sidang JCC masih terlampau ramai, tetapi tempat itu memberikan sebuah ruang kecil dan kehangatan untuk mereka berdua.
Nina menunduk, mengambil kembali buket bunga pemberian sang ayah bersama plakat penghargaan wisuda dari lantai dan mengalungkan tangkainya ke sisi kiri tubuhnya. Ia juga mengaitkan lengannya di lengan kanan Ayah Ali. Gerakan sederhana itu membuat Ayah Ali menoleh sejenak, lalu tersenyum tanpa suara. Dalam diamnya, mereka melanjutkan langkahnya—seiring, setara, dan sepenuh hati.
"Antrian selanjutnya..."
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya giliran Nina danAyah Ali tiba di meja pengambilan voucher. Di balik meja itu, duduk seorang mahasiswa junior yang tampak ramah dengan senyum lebar. Name tag di dadanya bertuliskan Vino – Panitia Wisuda.
Begitu melihat Nina, Vino langsung berseru, "Weesss, ada Kak Nina, nih! Lulusan terbaik kita!"
Nina tertawa kecil dan tersipu malu, "Ah kamu! Bisa aja, Vin."
Vino langsung bangkit dari tempat duduknya, lalu ia memberi hormat setengah bercanda.
"Btw, selamat ya Kak Nina! IPK-nya ngalahin jurusan sebelah. Hebat banget!"
Lalu, ia menoleh ke arah pria yang berdiri di samping Nina, "Wah, ini Ayahnya Kak Nina? Ganteng banget, mirip sama Kak Nina."
"Iya, Vin. Ini Ayah Ali, yang aku sering ceritain ke kamu." jawab Nina sambil tersenyum bangga.
Vino segera mengulurkan tangannya dengan sopan, "Salam kenal, Pak! Saya Vino, adek kelasnya Kak Nina. Rasanya sedih banget deh, kalau Kak Nina udah enggak ada di kampus lagi."
Ayah Ali menyambut jabatan tangan Vino sambil tersenyum hangat. "Salam kenal, Vin! Tidak apa-apa. Yang namanya pertemuan, pasti ada perpisahan. Yang penting kamu belajar yang rajin ya dan tetap semangat."
"Pasti itu, Pak. Kak Nina ini sudah jadi contoh teladan saya." jawab Vino mantap. Ia lalu menyerahkan amplop kecil berisi voucher ke Nina.
“Nih, Kak, voucher foto dan makan untuk Kak Nina dan Pak Ali. Jangan sampai hilang, ya. Kalau hilang, saya pura-pura enggak kenal, lho,” candanya.
“Hahaha. Siap, Vino. Terima kasih banyak, ya.” sahut Nina sambil menerima amplop itu dengan wajah berbinar.
Setelah amplop berisi voucher itu berpindah tangan ke mereka, Nina dan Ayah Ali kembali melangkah pelan, menyusuri lorong yang kini semakin padat dengan lautan wisudawan dan wisudawati bersama keluarga. Di antara keramaian itu, langkah mereka tetap santai—tenang dan seirama, seolah dunia luar tak menganggu kedekatan yang terjalin di antara mereka.
Tujuan mereka kini bergeser menuju lift di ujung lorong—tempat sesi foto keluarga akan berlangsung. Momen itu akan menjadi kenangan yang terbingkai, bukan hanya sekedar selembar kertas foto itu, tetapi juga hati mereka yang sedang dipenuhi dengan rasa syukur.
Sesampainya di depan lift, Nina dan Ayah Ali melangkah masuk bersama beberapa rombongan wisudawan dan wisudawati lainnya yang juga hendak mengikuti sesi foto bersama. Ruang kecil itu dipenuhi dengan senyuman, tawa pelan dan dentingan kecil dari hak sepatu yang bersentuhan dengan lantai marmer. Salah satu dari mereka menekan tombol ke lantai dasar. Tak lama kemudian, bunyi halus terdengar saat lift mulai bergerak turun perlahan.
Di tengah sunyi yang menggantung di antara suara-suara riuh, Ayah Ali sesekali melirik ke arah Nina yang berdiri tenang di sisinya. Pandangannya berhenti pada kalung emas sederhananya lengkap dengan liontin berbentuk hati di leher putrinya—sebuah peninggalan mendiang Ibu Laras yang kini menjadi bagian di hari istimewanya.
"Kamu cantik banget, Nak... pakai kalung dari Ibumu." Ucap Ayah Ali lirih, nyaris seperti bisikan. Namun dalam sunyi, kata-kata itu bergema hangat di dada Nina.
Nina menoleh perlahan, tersenyum kecil, "Jadi, pas banget ya kalungnya di leherku?"
"Pas banget, Nak." Jawab Ayah Ali. Matanya teduh menatap putrinya, seolah melihat bayangan mendiang Ibu Laras dalam sosok Nina hari ini.
Nina mengangguk pelan, "Terima kasih banyak, Yah," ucapnya nyaris membuat suaranya bergetar. Ia tidak hanya sekedar berterima kasih dengan kalung pemberian mendiang Ibu Laras, melainkan kehadiran, kasih sayang, dan cinta yang tidak pernah absen, bahkan ketika dunia sedang terasa sepi.
Di balik lamunan yang belum sepenuhnya usai, denting pelan dari lift membuyarkan kesunyian sejenak. Pintu terbuka perlahan, menandakan mereka telah tiba di lantai tujuan. Rombongan wisudawan dan wisudawati segera bergegas melangkah keluar dengan langkah penuh semangat, menuju lokasi untuk melakukan foto bersama—tidak terkecuali Nina dan Ayah Ali.
Mata Nina bergerak cepat menyapu ruangan. Di sisi kanan dan kiri, barisan antrean begitu panjang dan padat, dipenuhi dengan tawa dan percakapan hangat dari para keluarga yang hendak mengabadikan momen berharga. Namun, pandangannya berhenti pada sudut jauh di ujung ruangan. Di sana, ia melihat satu booth foto dengan tiga antrean yang tak terlalu ramai.
"Ayah, yuk kita kesitu!" ujar Nina sembari menggamit tangan Ayah Ali. Suaranya penuh antusias.
Sang ayah mengangguk pelan dengan senyum hangatnya, "Mari, Nak," jawabnya singkat, namun cukup untuk menunjukkan bahwa ia siap mengikuti ke mana pun langkah putrinya pergi hari ini.
Setibanya di antrean booth, Nina dan Ayah Ali menunggu giliran. Beberapa wisudawan dan wisudawati tengah foto bersama keluarganya—mereka tersenyum ceria dengan formasi keluarga yang lengkap. Tawa mereka terdengar riang, bahagia dan penuh cinta.
Pemandangan itu perlahan mengusik hati Nina. Pandangannya tertuju pada keluarga rombongan wisuda itu dengan mata yang berkaca-kaca. Ada keharuan yang diam-diam menggenang. Mereka datang dengan formasi utuh, sementara dirinya hanya kehilangan satu.
Ibu Laras.
Sosok yang seharusnya berdiri di sampingnya hari ini untuk menyaksikan semua perjuangan putrinya telah terbayar. Namun, takdir berkata lain. Allah lebih menyayanginya, lebih dulu memanggilnya pulang.
Meski raganya telah tiada, kehadirannya tetap hidup dalam setiap langkah Nina—dalam setiap doa yang tak pernah putus, dalam hadiah kalung emas peninggalannya yang kini menggantung di leher putrinya dan dalam kenangan yang tak lekang oleh waktu.
"Yah..." suaranya pelan, nyaris berbisik. "Seandainya Ibu masih ada, aku enggak akan merasa sesepi ini."
Ayah Ali menoleh, menatap wajah putrinya yang mencoba tegar. Ia menghela napas pelan lalu tersenyum.
"Enggak apa-apa, Nak. Ibu kan selalu ada di hati kamu." Suara sang ayah lembut dan menenangkan, mengusap luka dengan keyakinan.
Ia menepuk lembut bahu Nina, lalu menambahkan, "Jangan sedih lagi, ya. Kita kan mau foto. Ibu pasti ingin lihat kamu tersenyum di atas sana."
Nina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gelombang haru yang sempat naik ke matanya. Tangannya meremas jemari Ayah Ali sejenak—sebuah isyarat diam yang penuh makna. Menandakan bahwa ia berterima kasih dengannya, meskipun Ibu Laras tidak ada lagi di sisinya dan ia tak pernah benar-benar sendiri.
Tak lama kemudian, salah satu dari fotografer memanggil nomor antrean mereka. Nina dan Ayah Ali menatap sejenak sebelum melangkah maju ke depan, menyisakan keramaian di belakang mereka. Di hadapan mereka terbentang latar bergambar rak-rak buku tinggi menjulang yang menonjolkan nuansa akademis yang kuat—simbol dari ilmu, perjuangan dan perjalanan panjang yang kini telah mencapai puncaknya.
Salah satu kru foto mengarahkan dengan ramah, "Fotonya untuk anaknya dulu ya, Pak. Baru Bapaknya."
Ayah Ali mengangguk pelan, mundur setapak untuk memberi ruang. Ia menatap Nina yang kini melangkah ke tengah latar, berdiri di depan rak-rak buku sebagai simbol dari segala ilmu yang telah ia raih.
Napas Nina terasa sedikit lebih berat, bukan disebabkan ia merasa gugup, melainkan karena ruang hatinya penuh dengan rasa syukur dan haru dengan pencapaian perjuangannya.
Seorang fotografer lain bersuara, mengatur posisi Nina untuk melakukan berfoto.
"Kak Nina, posisinya senyum sambil nunjukin Ijazah ya. Selempang di kiri kakak masih terlihat, yang ada tulisan nama dan gelarnya. Terus juga di kanan kelihatan tulisan lulusan terbaik. Oke, sip begitu aja."
Nina memperbaiki posisi tubuhnya. Ia tegak lurus, menggenggam ijazah dengan kedua tangannya, lalu menarik sudut bibirnya membentuk senyum paling tulus yang bisa ia beri di hari istimewanya.
"Oke... Senyum, Kak!"
Klik...
Satu kilatan cahaya memotret bukan hanya penampilan Nina, tetapi juga memotret segala perjalanan panjang yang tersembunyi di balik senyumnya. Foto pertama berhasil ditangkap—membingkai momen yang tidak hanya sekadar perayaan wisuda, melainkan tentang perjalanan yang telah ia lewati dengan air mata, doa dan ketabahan.
Di sisi lain, salah satu fotografer segera bergerak cepat. Ia menatap layar laptop yang tersambung langsung dengan kamera, lalu mulai mengedit hasil potret Nina. Foto pertamanya memberikan sentuhan halus pada kontras dan pencahayaan dilakukan dengan cekatan, memastikan setiap detail tampil sempurna.
Begitu rampung, ia membuka daftar peserta wisuda yang tertera di sistem. Matanya bergerak menyusuri nama-nama hingga terhenti pada satu baris: 'Rachmanina Damayanti Ali' . Dengan cekatan, ia menekan ikon kecil disampingnya, melampirkan hasil foto yang baru saja disunting, lalu mengirimkannya ke nomor WhatsApp yang terdaftar atas nama tersebut.
"Nah, silahkan Bapak maju ke depan." Ujar kru lainnya, memecahkan keheningan kecil yang sempat mengisi ruangan.
Ayah Ali melangkah ke depan. Langkahnya tegap, meski di balik sorot matanya tersimpan genangan haru yang belum sepenuhnya reda. Di hari istimewanya ini bukan hanya tentang keberhasilan sang putri tercintanya, melainkan tentang perannya sebagai seorang ayah yang diam-diam menjadi tiang di setiap masa sulitnya, menjadi saksi bisu dari jatuh dan bangunnya perjuangan Nina dalam menapaki perjalanan panjang menuju titik ini.
Kini ia berdiri di depan lensa, berdampingan dengan anak yang dulu digendongnya dan kini mengenakan toga wisuda. Kebanggaan itu tak lagi hanya tinggal dalam hati—sebentar lagi, akan terabadikan.
"Oke, Bapak sama Kak Nina saling mendekat ya. Kak Nina enggak usah bawa ijazahnya dulu, biar natural. Bapak tetap senyum, ya. Siap?" ucap fotografer sambil mengatur komposisi.
Keduanya saling mendekat. Nina melirik Ayah Ali yang tersenyum hangat. Sang ayah membalasnya dengan senyuman penuh keteduhan. Senyuman ini hanya bisa dimiliki oleh seorang ayah yang telah mencintainya dalam diam, melindungi tanpa pamrih.
"Oke, Satu... Dua..."
Klik...
Dua kilatan cahaya tersebut kembali memotret sepasang ayah dan anak perempuannya yang tengah berdiri dalam momen penuh makna. Nina dan Ayah Ali tersenyum—senyum lebar, tulus dan menyiratkan sebuah kebanggaan yang tidak bisa disembunyikan.
Bukan hanya sekedar ekspresi di depan kamera, tetapi adanya pancaran kebahagian oleh mereka berdua dan kelegaan yang datang setelah perjalanan panjang yang penuh dengan lika-liku akhirnya tiba waktunya.