Kondisi Ayah Ali sebenarnya
Matahari terik di halaman belakang rumah, tepatnya kebun Ayah Ali semakin memancarkan sinarnya. Terasa hangat, namun tak mematahkan semangat dua lelaki itu untuk memetik hasil panen berbagai sayuran.
Tomat-tomat yang merah merona, kol yang segar, sawi hijau yang renyah dan cabai yang menggantung bagaikan permata merah di antara daun-daun yang menghijau. Semuanya terlihat cerah, seolah tanaman itu ikut bersyukur karena ditangani oleh orang yang sabar dan sangat mencintai alam.
Ayah Ali dan Pak Jaya berdiri di depan kebunnya sambil menghitung berbagai sayuran yang ada di keranjang rotan itu untuk di distribusikan ke berbagai pasar terbesar di Kota Bogor yang memerlukan beberapa stok sayuran.
"Semuanya lengkap ya, Jay?" ucapnya dengan nafas yang sedikit tersengal.
Pak Jaya menunduk sebentar, menghitung stok sayuran yang akan siap diangkutkan ke mobil pick-up, "Iya, Pak Ali. Ada lima ratus stok."
Ayah Ali mengangguk pelan. Namun, ketika tubuhnya hendak bergerak, rasa pusing dan mual menyergap tubuhnya begitu saja. Sejenak, matanya terasa berkunang-kunang dan adanya nyeri halus yang menjalar dari ulu hati ke punggung. Terasa sakit, namun sang ayah tetap tegak, untuk menahan sakit yang saat ini makin terasa.
"Bagus," ucap Ayah Ali sambil mengedipkan matanya, menyamarkan gejolak pusing di kepala yang perlahan berat. "Kamu tahu kan pasar-pasar di kota Bogor mana yang harus di distribusikan?"
Pak Jaya segera mengambil buku catatan kecilnya yang ada di saku kemeja. "Tahu Pak. Kita kirim ke Pasar Merdeka dulu, Pak Angga bilang lagi butuh stok cabai dari kebun kita. Lalu Pasar Sukasari, Bu Sanusi sudah tunggu stok sawi, pelanggan outletnya lebih suka sawi dari kebun sini. Terakhir, Pasar Suryakencana. Tetangga kita, Pak Indro minta pengiriman besar-besaran, mungkin buat restoran langganannya."
Ayah Ali mengangguk, walau wajahnya mulai tampak sedikit pucat. Ia menepuk pundak Pak Jaya pelan, "Kerja bagus, Jay! Tolong pastikan semuanya dikirim tepat waktu, ya. Jangan sampai pelanggan kita kecewa. Sayuran yang kita tanam ini bukan hasil panen, tapi kerja keras dan kepercayaan pelanggan. Itu paling utama."
"Beres, Pak Ali. Tenang saja. Abdi teh pastikan semuanya beres dan sampai ke pelanggan tercinta kita," ucap Pak Jaya sambil mengacungkan jempol ke hadapan Ayah Ali dengan senyum merekah.
Namun, raut wajah sang asisten itu berubah menjadi khawatir ketika melihat wajah Ayah Ali sedikit pucat. Lelaki separuh sepuh beberapa kali mengerjap matanya, berusaha menahan sesuatu yang tidak nyaman dari tubuhnya.
"Pak Ali?" Tanya Pak Jaya dengan nada setengah cemas, sebelum beranjak pergi menuju mobil baknya.
Ayah Ali mengubah posisi dari menunduk menjadi sejajar menatap sahabatnya, mencoba tersenyum agar tidak menimbulkan kekhawatiran.
"Naon, Jay?"
"Justru abdi nu nanya. Pak Ali kunaon pucat, kitu? Pusing?"
Ayah Ali tertawa kecil, meski terdengar agak dipaksakan.
"Tiasa atuh. Namanya juga udah tua, sering masuk angin, pusing."
Pak Jaya masih berdiri di tempat, berhadapan dengan Ayah Ali. Pandangannya mulai tertuju ke tangan Ayah Ali yang diam-diam memegang tiang kayu pendopo yang tampak sedikit gemetar.
"Sudahlah, Jay," Lanjut Ayah Ali sambil menghela napas. "Kamu enggak perlu khawatir sama kondisi saya. Ini mah cuman kecapekan biasa, atuh. Dah, kamu ke pasar. Kirim sayuran itu ke pelanggan kita."
.....
"Jangan lupa, tagih pembayarannya. Buat bayar gaji kamu, tuh," ucap Ayah Ali sambil tersenyum kecil di sudut bibirnya, berusaha mencairkan suasana yang perlahan berat. Seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan lebih dalam.
Pak Jaya menahan napas sejenak, lalu mengangguk. Meskipun harus meninggalkan sang pria tua itu dengan perasaan yang sedikit ragu.
"Ya sudah, lamun kitu yang Bapak mau. Tapi, tos tingali Pak Ali. Kalau masih enggak enak badan, kabarin saya. Jangan di pendam sendiri ya, Pak."
Ayah Ali mengangkat tangannya, memberi isyarat bahwa dirinya baik-baik saja. Padahal di balik wajah tenangnya, sang pria tua sedang menahan nyeri di perut yang semakin lama menghantam ulu hati, serta pusing di kepala yang masih berdenyut.
"Iya, Jaya. Iya." Suaranya mulai melemah, namun tetap berdiri tegak. "Sudahlah, kamu pergi. Entar telat lagi."
Belum lanjut Pak Jaya membalasnya, Ayah Ali segera membalikkan tubuh Pak Jaya, menepuk bahunya pelan, lalu mendorong lembut pria itu sebagai perintah.
Namun, Pak Jaya masih menoleh ke belakang. "Tapi Pak Ali, kalau masih sakit harus ke dok-"
"Enggak ada tapi-tapi." Suara Ayah Ali tiba-tiba naik, menegaskan Pak Jaya untuk keluar. "Cepat, Jay!"
"I... Iya... Pak..."
Pak Jaya segera bergegas menuju mobil pick-up dan duduk di kursi pengemudi. Ia memutar kunci mobilnya perlahan, menginjak pedal gas, lalu perlahan membawa mobil itu keluar dari halaman depan rumah Ayah Ali. Dari balik kaca spion itu, Ayah Ali mengacungkan jempolnya bahwa ia dalam kondisi yang baik dan Pak Jaya mengangguk hormat.
Begitu mobil pick-up itu perlahan keluar dari pandangan, tiba-tiba Ayah Ali kembali membungkuk pelan, memegang perutnya yang masih bergejolak. Wajahnya meringis kesakitan, beriringan dengan nafas yang terputus-putus.
Karena tidak bisa menahan rasa mualnya, akhirnya Ayah Ali berlari kecil masuk ke dalam rumah dan bergegas menuju kamar mandi dengan langkah terburu-buru.
Begitu sampai di ambang pintu kamar mandi, Ayah Ali melihat sekeliling beberapa detik. Sepi dan tidak ada orang, ia menutup pintu perlahan, tapi tidak di kunci rapat. Ia berjalan perlahan menuju wastafel dan menundukkan kepalanya.
Uhuuk... Hueeek...
Muntahan pertama berhasil di keluarkan. Cairan berwarna kuning dan kehijauan meluncur secara menyakitkan lewat kerongkongan. Ayah Ali kembali terbatuk pelan, tubuhnya mulai sedikit terhuyung. Gelombang mualnya tak kunjung reda di ulu hatinya, justru semakin menghantam dari dalam, kembali mengeluarkan isi perutnya yang masih terasa nyeri.
Uhuuk... Hueeek...
Muntahan kedua begitu spontan. Lebih deras, lebih menyiksa. Tubuh separuh tua itu membungkuk dalam-dalam, nafasnya tersengal-sengal, dan matanya mulai berkunang-kunang. Ia berusaha untuk bertahan agar tidak tumbang dalam kondisi rumahnya yang begitu sepi.
Begitu terkejutnya Ayah Ali melihat isi muntahan kedua, bercampur darah yang berjumlah cukup banyak bersama keringat dingin yang membasahi pelipisnya. Kepalanya masih terasa pusing dan berputar. Baru saja ia mendongak kepalanya perlahan, tiba-tiba muncul rasa hangat yang mengalir dari hidungnya. Jarinya yang gemetar, menyentuh ujung hidungnya.
Darah.
Ayah Ali terpaku sejenak. Dunia di sekelilingnya terasa terhenti. Ia mencengkram pinggir wastafel dengan kuat, menatap darah yang menetes dari hidungnya yang ia tampung di jari kanannya.
Perlahan, sang ayah memaksa perlahan untuk membangkitkan wajahnya. Ia memandang bayangan sendiri di cermin secara mendalam. Wajah yang dahulu setiap hari selalu ceria, kini perlahan memucat. Warnanya yang kian cerah, kini perlahan menguning. Pipi yang tembam, kini perlahan tirus. Mata yang biasanya tajam, kini terlihat kantung yang sedikit menghitam. Senyumannya yang berseri, kini tampak cekung.
Semuanya menandakan bahwa adanya luka yang tidak terlihat, namun jelas terasa perlahan ada yang menggerogoti tubuhnya yang dahulu gagah.
Sang ayah menatap dirinya lama, seakan sedang berbicara pada dirinya sendiri, sangat mendalam dari jiwanya.
Belum saatnya, Ali... Belum saatnya... Nina masih membutuhkanmu...
Ia mengepalkan tangannya, seolah ingin menguatkan pada dirinya sendiri bahwa hari ini ia tidak sakit. Ia harus berusaha untuk melihat putrinya bahagia ketika kembali ke rumah yang penuh kenangan ini. Ayah Ali harus terlihat kuat untuk tidak membuat Nina kembali meneteskan matanya.
Agar tidak terlarut lama dalam kesakitannya, Ayah Ali buru-buru memutar kran, membasuh sisa muntahan dan darah di wastafel hingga bersih, memastikan bahwa tidak ada jejak yang dapat dilihat. Sang ayah tidak ingin ada orang lain yang melihat kondisinya, termasuk Pak Jaya yang baru pulang dari pasar dan Nina yang tiba-tiba berlibur kampung halamannya.
Beberapa menit kemudian setelah wastafel tampak rapi, ia menyeka hidungnya yang masih mengeluarkan darah dengan tisu yang tersedia di pojok kanan wastafel. Tangannya gemetar saat membersihkan ujung hidungnya yang masih mengalirkan darah.
Untuk mempercepat darahnya berhenti, Ayah Ali mendongak kepalanya ke atas sambil menekan bawah hidungnya dengan tisu. Setiap helai tisu yang ia ganti, berubah menjadi merah—menandakan tubuhnya sudah memberi peringatan kecil, bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Selesai membersihkan hidungnya yang penuh darah di tisu, Ayah Ali membuangnya di tempat sampah yang berkantung plastik berwarna hitam, letaknya di bawah wastafel sebelah kiri. Dengan langkah sedikit goyah, ia menunduk, membungkusnya rapat-rapat agar tak ada satu pun orang yang tahu.
Saat ia kembali berdiri dari posisi menunduk, kepalanya masih terasa pusing. Namun, ia memegang kembali sisi pinggir wastafel agar langkahnya tidak goyah. Setelah Ayah Ali mantap berdiri, ia menarik napas panjang. Menatap dirinya di cermin sekali lagi. Lama, sambil melihat garis-garis wajah yang mulai di hiasi dengan sedikit keriput.
Wajahnya terlihat pucat dan kuning perlahan, kantung mata terlihat sedikit menghitam. Ayah Ali menunduk sejenak, menahan rasa sesak yang menekan di dadanya, lalu berbisik pelan pada bayangannya sendiri.
Jangan tumbang dulu, Ali... Jangan... Masa depan Nina masih panjang...
Kamu Ayahnya... Kamu harus kuat, Ali... Demi Nina.
Dengan sisa tenaganya, Ayah Ali melangkah keluar dari kamar mandi bersama kantong plastik hitam yang ia genggam di tangannya. Langkahnya tampak mantap—terlihat biasa saja, seolah tak ada kejadian di dalam barusan. Padahal, di balik sikapnya yang tenang, tubuhnya sedang berperang menghadapi penyakit yang mulai menyerang diam-diam.
Langit pagi kian cerah dengan awan-awan putih yang melayang tenang. Namun, tubuh sang pria tua itu justru berbanding terbalik keadaannya. Dengan langkah perlahan, ia keluar menuju halaman belakang yang terhubung langsung dengan dapur, membuka pintunya sambil menarik napas dalam...
Ayah harus kuat... Demi Nina...
Setelah menenangkan diri, Ayah Ali berjalan menuju tong sampah besar dari besi tua yang terletak di sudut kanan halaman rumah, tepat di bawah pohon mangga. Perlahan, ia membuka tutupnya dan memasukkan kantong plastik ke dalam. Suara kresek terdengar pelan saat plastik itu menyentuh dasar tong.
Ayah Ali kembali melangkah perlahan masuk ke dalam rumah. Keringat dingin itu mulai menetes di pelipisnya, lalu ia menyeka dengan punggung tangannya. Ia berjalan menuju dapur untuk menyeduh teh tawar hangat di cangkir. Lidahnya yang masih terasa pahit setelah muntah, membuatnya ingin menyeruput minuman hangat, demi mengembalikan sedikit kesegaran di lidahnya, sekaligus menenangkan tubuhnya.
Setelah menyeduh teh tawar hangat, Ayah Ali duduk di ruang tamu. Ia mengangkat cangkir itu, lalu menyeruputnya perlahan. Hangatnya dari teh tawar itu menyusup ke tenggorokan, namun tidak cukup mampu meredakan rasa pahit yang masih tersisa di lidahnya.
Perutnya masih memberikan gelombang nyeri di bagian kanan atas, membuat tangan kirinya refleks menahan. Nafasnya tercekat, namun Ayah Ali tetap berusaha untuk tidak panik—seolah tak terjadi apa-apa. Ia mengatur napas, mencoba perlahan untuk berdamai dengan rasa sakit yang tidak bisa ia lawan.
Agar rasa nyerinya semakin berkurang, ia meletakkan cangkirnya di meja kayu itu, merebahkan tubuhnya di sofa dengan menyandarkan kepalanya ke belakang sofa, lalu memejamkan mata. Kini, napasnya terdengar semakin berat.
Dalam heningnya, Ayah Ali bergumam lirih dalam hati.
"Ya Allah, jangan lama-lama sakitnya... Jangan sampai ketahuan Nina..."
*****
Mobil pick-up yang di kendarai Pak Jaya perlahan memasuki halaman depan rumah Ayah Ali. Ia memarkirkannya di sebelah kanan mobil pribadi Ayah Ali. Pak Jaya mematikan kunci mobilnya, diiringi dengan suara mesin yang perlahan melemah, disusul injakan rem yang terdengar samar. Gesekan ban dengan tanah memunculkan debu kerikil yang terangkat pelan di udara.
Dengan hati yang tidak tenang, Pak Jaya turun dari mobil dan menutup pintunya. Ia bergegas melangkah ke teras, meskipun terlihat tergesa-gesa. Karena yang di inginkan hanya satu: memastikan kondisi Ayah Ali baik-baik saja. Sejak kejadian pagi tadi, rasa khawatirnya tak kunjung reda.
Sesampainya di depan pintu, ia mengetuk pelan.
Tok...Tok...Tok...
"Pak Ali?"
Hening, membuat Pak Jaya semakin gelisah.
Ia memutar kenop pintu, memastikan apakah terkunci. Namun, prediksinya salah. Kenop pintunya tidak terkunci. Ia membukanya perlahan dan melangkah masuk.
Di ruang tamu, Pak Jaya menemukan Ayah Ali yang nampak tertidur di sofa dengan tubuhnya yang menyamping, tangan kirinya menyentuh sisi perut sebelah kanan yang masih terasa nyeri, sementara tangan kanannya terkulai di sandaran kursi. Cangkir teh yang tadi diminumnya telah kosong di atas meja.
Wajah lelaki tua itu terlihat pucat dan sedikit menguning. Keringat dinginnya masih membasahi pelipisnya. Napasnya naik turun pelan, seakan menahan sesuatu yang berat dari dalam tubuh.
"Pak Ali?"
Tak ada respon.
"Ya Allah, Pak Ali?" seru Pak Jaya panik. Ia buru-buru menghampiri dan merunduk, menyentuh bahu pria tua itu dengan cemas.
Ayah Ali mengerjap pelan, membuka matanya yang tampak berat. Ia berusaha untuk tersenyum, meskipun nyeri di perut masih menjalar.
"Jay?" Suaranya serak, lemah.
Pak Jaya menarik napas lega, meski sorot matanya masih dipenuhi kekhawatiran. Ia duduk di pinggiran sofa, memandang sahabatnya dengan cemas.
"Bapak tidur di sini dari tadi? Apa ada yang sakit, Pak?" tanyanya lirih, nadanya seperti anak kecil yang takut kehilangan orang tuanya.
Ayah Ali tersenyum tipis, lalu menepuk tangan Pak Jaya dengan gerakan lemah.
"Cuman ketiduran, Jay. Tadi saya keluar sebentar, hanya periksa kebun saja."
Pak Jaya memperhatikan wajah sahabatnya dengan seksama.
"Tapi, Bapak kelihatan pucat banget, dan itu... kulit Pak Ali mulai menguning."
"Jay," ucapnya sambil tersenyum dan menenangkan sahabatnya. "Saya sehat, kok. Sehat. Cuman butuh istirahat."
Namun, kalimat itu tak mampu menghapus kekhawatiran yang bergelayut di hati Pak Jaya. Tatapannya melirik dada Ayah Ali yang perlahan naik turun. Gerakannya sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia tahu, Ayah Ali sedang menyembunyikan sesuatu.
"Nafasnya sesak ya Pak? Perlu ke rumah sakit sekarang?"
"Enggak perlu, Jay. Saya masih bisa tahan," ucapnya, sambil menggeleng kepalanya lemah. Ia menarik napas mendalam, lalu menutup mata sejenak. "Tapi, Jay. tolong ambilkan saya minyak kayu putih di kamar, ya. Di laci meja dekat jendela."
"Iya, Pak. Tunggu di sini. Jangan berdiri, ya."
Pak Jaya segera bangkit dengan langkah terburu-buru menuju kamar Ayah Ali. Sementara di ruang tamu, Ayah Ali bersandar lebih dalam ke sofa, memejamkan mata sambil menahan nyeri yang makin menggigit pelan dari dalam tubuhnya.
Sesampai di kamar Ayah Ali, ia membuka pintunya perlahan, terlihat keheningan yang menyelimuti ruangan itu, namun terlihat segar karena udara pagi yang masuk ke dalam kamar itu, bersama sinar matahari yang menembus melalui jendela.
Ia mencari minyak kayu putih itu di berbagai sudut ruangan. Beberapa detik kemudian, ia menemukan botol kecil yang berisi minyak kayu putih dengan label kemasan yang sudah mengelupas. Botol kecil itu terletak di sudut meja dekat jendela.
Pak Jaya meraih botol minyak kayu putih itu, lalu menutup pintunya dan kembali melangkah keluar dari kamar. Hatinya masih diselimuti rasa khawatir, tapi ia tetap berusaha tenang.
Begitu sampai di ruang tamu, ia melihat Ayah Ali yang masih bersandar lemah di sofa. Matanya mulai terpejam kembali, napasnya terlihat pelan namun berat.
"Pak... Pak Ali?" Ucapnya sambil membangunkan Ayah Ali pelan.
Ayah Ali membuka matanya, "Hhhmm?"
"Izin saya bantu balurkan minyak kayu putih ke dada ya, Pak," ucap Pak Jaya sopan, sambil membuka kancing bagian depan kemeja Ayah Ali.
Pak Jaya membuka tutup botol minyak itu, menuangkan secukupnya ke telapak tangannya, lalu mengusap kedua tangannya hingga menyatu. Setelah semuanya siap, ia membalurkan ke dada Ayah Ali. Gerakannya pelan dengan penuh kehati-hatian, seolah ia takut balurannya menyakiti tubuh sahabatnya yang perlahan rapuh itu.
Aroma minyak kayu putih itu langsung menyeruak di hidung Ayah Ali, terasa harum dan menghangatkan, seolah sesak di dadanya terasa ringan. Ditambah dengan Pak Jaya yang memberikan pijatan ringan di bahunya yang membuat napasnya terasa tenang.
"Tarik napas pelan-pelan, Pak."
Ayah Ali mengangguk lemah. Ia menarik napas perlahan.
"Alhamdulillah... Lega, Jay."
"Alhamdulillah. Kalau begitu, saya izin buka kemeja Bapak setengah ya? Mau di balurin ke punggung." Tanya Pak Jaya sambil merapikan kancing bagian depan kemeja Ayah Ali.
"Boleh, Jay."
Setelah mendapatkan izin dari Ayah Ali, Pak Jaya membuka sedikit bagian belakang kemejanya, lalu mulai membalurkannya setetes minyak kayu putih di punggungnya. Ia memijatnya dengan gerakan perlahan. Sentuhannya itu bukan sekadar pengobatan, melainkan ungkapan kasih sayang dari seorang sahabat yang telah bertumbuh bersama dalam keadaan suka dan duka.
"Pak Ali, tos tingali nya? Bapak enggak boleh sembarangan bilang 'Tenang aja', ya. Kalau Bapak butuh bantuan, jangan sungkan bilang ke saya."
.....
"Saya sayang sama Bapak. Kalau Pak Ali sakit, saya juga ikut ngerasain sakitnya."
Ayah Ali hanya menjawab dengan anggukan kecil bersama senyum yang nyaris tak terlihat. Namun, dari ujung matanya ada genangan yang tak jadi tumpah.
Pak Jaya menarik napas panjang, mencoba untuk menahan gejolak yang ikut terasa di dadanya.
"Pak Ali enggak sendiri. Ada saya di sini, apalagi Neng Nina. Kami semua sayang sama Bapak."
"Terima kasih banyak ya, Jaya." balas Ayah Ali pelan, suaranya nyaris berbisik.
*****
Setelah tubuhnya dibalurkan dengan minyak kayu putih dan rasa sesak di dadanya sedikit reda, Ayah Ali mengubah posisi duduknya dari yang bersandar di sofa langsung tegap. Ia melirik ke arah Pak Jaya yang masih duduk di sampingnya, menggenggam botol minyak kayu putih itu, seolah masih berjaga kalau sewaktu-waktu dibutuhkan.
"Jay..." Suara Ayah Ali pelan memanggilnya, namun cukup tegas.
"Naon, Pak?"
"Yang tadi kamu distribusi sayur-sayur itu ke pasar gimana kabarnya? Ada kendala?"
Pak Jaya langsung tersenyum, lega karena Ayah Ali mulai berbicara seperti biasa.
"Aman, Pak. Alhamdulillah semuanya laris manis. Pak Angga bilang, tadi pagi banyak warga yang antri untuk beli cabai di outletnya dia."
.....
"Terus juga, Bu Sanusi titip salam. Pelanggannya pada suka sawi dari kebun Pak Ali. Manis dan garing-garing. Terakhir yang di Suryakencana, tetangga kita Pak Indro, terutama pelanggan restorannya sudah nungguin stok sayur dari kita."
"Alhamdulillah, berkah buat kita semuanya ya, Jay."
"Betul, Pak Ali. Semua pembayarannya lunas, enggak ada yang nunggak."
Pak Jaya bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah tas selempang yang ia taruh di meja ruang tamu. Ia membuka resletingnya, lalu mengeluarkan amplop berwarna coklat yang tampak menggembung. Isinya jelas tebal, berisi lembaran-lembaran uang yang tertata rapi.
Ia menyerahkannya kepada Ayah Ali dengan kedua tangan.
"Ini Pak. Totalnya semua penjualan minggu ini ada tiga puluh lima juta. Sudah saya rekap juga per pasar. Tenang saja, Pak. Uangnya utuh."
Ayah Ali menatap amplop tebal itu sejenak, lalu menerimanya dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia membukanya perlahan, melihat lembar demi lembar uang berwarna merah yang tersusun rapi di dalamnya. Di wajahnya muncul senyum yang merekah, bukan karena jumlahnya, tapi karena hasil kerja kerasnya dan orang-orang di sekelilingnya masih bisa berjalan dengan baik.
Ia perlahan mengeluarkan segepok uang itu dan mulai menghitungnya.
"Lima juta setengah buat kamu, Jay. Gaji bulan ini." Ucap Ayah Ali sambil menyerahkan uang berpuluh-puluh lembar ke Pak Jaya.
Pak Jaya refleks mengangkat tangannya, menolak dengan lembut.
"Pak enggak usah repot-repot. Gaji saya bulan kemarin masih utuh sama bonusnya. Ini terlalu banyak, Pak."
Ayah Ali tersenyum tipis, menambahkan lagi beberapa lembar ke atas tumpukan uang itu ke tangan Pak Jaya.
"Tambah satu juta setengah. Bonus dari saya."
Pak Jaya menghela napas. Matanya mulai berkaca-kaca. Suaranya tercekat.
"Pak Ali..." ucapnya dengan suara lirih. "Bapak lagi sakit, pasti butuh biaya kan?"
Ayah Ali hanya menjawab dengan anggukan kecil, lalu menepuk pelan bahu Pak Jaya.
"Saya hanya sakit biasa aja, Jay. Kamu itu, jangan lebih panik daripada saya."
Pak Jaya tertawa kecil, meskipun matanya masih memerah.
"Kamu bekerja sangat baik. Saya kenal kamu dari dulu, sejak kita sama-sama bekerja di kantor kecamatan Sukamaju. Dari awal saya sudah percaya sama kamu, sampai sekarang."
Pak Jaya menunduk, menahan emosi yang mengendap di dadanya. Kata-kata itu menampar rasa letihnya dan membungkas hatinya dengan rasa yang sangat di hargai.
"Terima kasih, Pak. Bapak emang orang baik. Sangat baik. Saya tidak akan pernah sia-sakan kepercayaan Bapak."
"Terima kasih juga, Jay. Kalau bukan kamu, saya enggak tahu kebun ini bakal jadi apa sekarang."
Pak Jaya kembali menunduk, mengusap wajahnya yang tiba-tiba terasa hangat. Di ruang tamu yang sunyi itu, hanya ada rasa saling percaya dan rasa persaudaraan tanpa ikatan darah yang dibangun bertahun-tahun, tumbuh bersama seperti tanaman yang mereka bangun di kebun halaman belakang itu—bermula dari benih, bertunas, lalu menguatkan dalam diam.
Dalam keheningan itu, tiba-tiba Ayah Ali memecahkan suasana dengan suara pelan, namun jelas.