Sebelum Waktu Berhenti

Tasya Syafitri
Chapter #7

Bab 6 - Tiba-Tiba

Ambruk

Sinar mentari pagi menyapa warga desa Kertamaju yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang berjualan makanan khusus sarapan di pinggir jalan—nasi uduk, gorengan hingga bubur ayam, ada yang menikmati olahraga pagi dengan jalan santai maupun jogging, ada yang membersihkan halaman di depan rumah mereka—termasuk Pak Jaya yang kini menyirami beberapa sayuran yang tertanam di kebun halaman belakang rumah Ayah Ali.

Suara gemercik air yang mengalir tenang, menyatu dengan aroma tanah basah yang khas, menghadirkan ketenangan tersendiri bagi Pak Jaya untuk menjaga kebun milik sahabat lamanya dengan hati yang tulus. Sejenak, ia lupakan kekhawatiran mengenai kesehatan Ayah Ali yang diam-diam tumbuh rasa gelisah di dalam benaknya.

Beberapa kali Pak Jaya mengerjap pintu teras rumah, memastikan kondisi sahabat lamanya baik-baik saja. Memang beberapa hari ini, Ayah Ali lebih sering berdiam diri di dalam kamar. Bahkan keluar untuk mengikuti shalat berjamaah pun tak lagi rutin seperti biasanya. Padahal, Ayah Ali selalu menjadi orang yang pertama sampai ke masjid, tapi kini pintu rumahnya nyaris tak terbuka.

Pak Jaya mencoba meyakinkan diri bahwa Ayah Ali mungkin saat ini makin lelah. Rasa khawatirnya semakin membuncah. Ada rasa tak nyaman yang terus menyusup dalam dadanya, tapi sang asisten itu belum berani menganggu waktu istirahat sahabatnya yang sedang berperang dalam melawan rasa sakit di dalam tubuhnya.

Agar tak berlalut dalam rasa was-was, Pak Jaya bersenandung kecil di tengah kegiatannya menyapu daun-daun kering yang berserakan di tanah.

"Masak... Masak sendiri...

Nyuci... Nyuci sendiri...

Nyapu... Nyapu sendiri...

Di rumah Pak Ali~..."

Suara sapu lidi bergesekan dengan tanah dan nyanyian kecil Pak Jaya terdengar ke dalam rumah. Tak lama kemudian, suara derit pintu terdengar halus yang terbuka perlahan. Ia refleks menoleh. Sosok Ayah Ali muncul berdiri di ambang pintu, dengan mengenakan kemeja putih bergaris, jaket coklat tua dan celana kain abu-abu. Langkahnya masih pelan dengan meraba dinding agar tidak oleng, tubuhnya tampak lebih kurus, wajahnya terlihat semakin pucat, dan rona kekuningan samar terlihat di kulitnya.

Senyum tipis terurai di bibirnya, menahan rasa letih agar ia tak terlihat lemah di depan sahabatnya.

"Wah, Pak Ali! Alhamdulillah akhirnya keluar kamar juga, Pak," ucapnya sambil tersenyum lega. "Sudah enakan badannya, Pak?"

Ayah Ali tersenyum kecil, tapi tak sepenuhnya bisa menutupi raut lelah yang terlihat di garis wajahnya.

"Alhamdulillah, Jay. Tapi, belum sembuh total," jawabnya pelan, namun suara paraunya terdengar pelan dan tenang, "Cuman, kalau saya mendekap terus di kamar, yang ada badan saya semakin pegal-pegal. Mending saya keluar, kena sinar matahari, biar lebih segar."

Pak Jaya menggeleng pelan, mendekat dan memandang wajah sahabat lamanya dengan sorot khawatir.

"Bapak tuh masih sakit... Jangan keluar rumah dulu," ia menepuk pelan bahu sahabatnya, "Apalagi panas terik begini, bikin kepala pusing."

Matanya melirik ke arah pendopo yang tampak kosong, lalu menunjuk ke sana, "Mending Bapak duduk di pendopo situ. Lihat-lihat sayuran juga, biar pikiran semakin plong."

Tapi Ayah Ali hanya mengibaskan tangannya dengan ringan, "Ish, janganlah Jay." Lalu, ia coba menenangkan sahabatnya yang tampaknya gelisah, "Saya memang sakit. Tapi bukan berarti saya malas-malasan. Mending tubuh ini saya paksa bergerak, walaupun pelan-pelan."

"Pak Ali... Jangan gitu, ah..." Pak Jaya terdengar pasrah, meski tetap khawatir. "Ini bukan soal kerjaan, Pak. Ini soal kesehatan Bapak. Wajahnya aja masih pucat, tapi pengen beraktivitas."

Ayah Ali melirik ke arah sudut belakang pendopo yang dipenuhi daun-daun kering, "Kamu lihat, noh! Di belakang pendopo kita banyak sampah daun, apalagi pot-pot yang masih ada air. Bikin kotor aja. Bisa jadi sarang nyamuk itu, Jay."

Belum sempat Pak Jaya membalasnya, Ayah Ali sudah melangkah pelan mendekatinya. Gerakannya memang sudah tidak sekuat dulu, tapi ada sorot tekad di matanya yang tak bisa dibantah. Dalam satu gerakan santai namun tegas, ia meraih sapu lidi dari tangan Pak Jaya.

"Biar saya aja yang nyapu. Kamu bersihin sampah di belakang pendopo itu," ucapnya tanpa menoleh.

Pak Jaya sempat terpaku, kebingungan. "T-Tapi, Pak Ali. Kalau Bapak ping-"

"Enggak ada tapi-tapi!" suara Ayah Ali meninggi, namun terdengar serak. "Ini perintah. CEPAT!"

Pak Jaya menahan napas sejenak. Ia tahu, di raut wajah sahabatnya, ia masih menyimpan sisa-sisa rasa sakit yang coba ditutupi. Tangan yang dahulu kuat dan tegas dalam memegang dan menyapu tanah itu terlihat sedikit lemah. Pak Jaya tahu. Lebih baik memilih untuk mengalah. Karena, membantah perintah Ayah Ali saat keadaan begini justru akan membuatnya semakin ngotot.

Dengan berat hati, Pak Jaya mengangguk dan perlahan beranjak menuju pendopo, meski sesekali menoleh ke belakang —mengamati gerak sahabat lamanya yang mulai menyapu halaman. Langkahnya dalam menyapu tanah itu terlihat lemah, sesekali berhenti, mengambil napas panjang dan kadang ditopang dengan satu tangan di lutut, seperti menahan rasa sakit yang tak tertahankan.

Sang asisten itu tahu. Di balik sifat Ayah Ali yang semakin keras kepala, ia sedang berusaha mempertahankan satu hal : kendali atas dirinya sendiri. Juga menjaga harga diri seorang ayah yang belum siap terlihat rapuh di depan siapapun—termasuk Nina.

Beberapa menit berlalu dalam waktu yang hanya diisi oleh kekhawatiran dan keheningan, beriringan dengan suara sapu yang bergesekan lembut dengan daun-daun kering. Ayah Ali terlihat begitu fokus menyapu halaman yang masih berserakan dengan daun-daun kering bersama dengan sedikit sampah plastik yang semalam terbawa angin. Gerakannya terlihat santai namun tenang. Sesekali ia berhenti sejenak untuk mengambil napas dan menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya.

Namun, hanya dalam hitungan detik, ada sesuatu yang menjalar dalam tubuhnya terasa berubah.

"Astaghfirullah... Ya Allah..." lirih Ayah Ali, menyentuh dahinya yang semakin berdenyut nyeri.

Kepalanya mendadak terasa berat. Pandangannya kabur, meskipun memakai kacamata. Tubuhnya terasa lemas dari bahu sampai lutut. Ayah Ali berusaha berjalan tegap, namun rasa pusing di kepalanya semakin menjalar, nyeri di perutnya semakin di tekan dan pandangannya tiba-tiba mengabur. Sapu yang ia genggam erat, kini terlepas menyentuh tanah.

Tiba-tiba...

BRUUUUKKKK

Suara Ayah Ali jatuh menghantam tanah membuat Pak Jaya yang saat itu sedang membuang sampah plastik ke tong, refleks menoleh. Jantungnya seketika berdegup kencang.

"ALLAHUAKBARRR!!! PAK ALIII!!!" teriak Pak Jaya, suara penuh kepanikan.

Ia segera berlari menuju Ayah Ali yang kini terbaring lemah di atas tanah beralaskan daun-daun kering. Ayah Ali jatuh pingsan dengan posisi miring ke kanan. Tanpa pikir panjang, Pak Jaya membalikkan posisi tubuh Ayah Ali perlahan menjadi terbaring dan meletakkan kepalanya di pangkuannya.

Dengan cemas, Pak Jaya menepuk pipi pucat perlahan.

"Pak Ali... Bangun... Pak... Ya Allah..." ucapnya lirih, setengah takut, setengah memohon.

Air matanya yang menggenang, kini mencelos ke jaket rajut Ayah Ali. Sambil tetap menopang kepala sahabatnya, ia bergumam penuh penyesalan.

"Kan saya udah bilang, kalau masih sakit jangan kerja, Pak."

Pak Jaya masih terus menepuk pipi sahabatnya, berharap sentuhan ini dapat membangunkan kesadaran yang perlahan memudar. Namun, suasana mendadak menegang ketika ia melihat setitik darah mengalir di lubang hidung Ayah Ali. Nafasnya semakin pendek, tersengal seperti ada yang menyangkut di dada, berat dan tak beraturan.

Ia membelalak. Panik yang awalnya di tahan, kini mulai mengguncang seluruh tubuh.

"Ya Allah... Pak Ali... Kenapa ini, Pak?"

Melihat kondisi Ayah Ali yang tak kunjung sadar, ditambah darah yang mengalir dari hidungnya, membuat Pak Jaya semakin gelagapan. Tanpa pikir panjang, ia berteriak sekuat tenaga, meminta pertolongan kepada siapapun warga yang melintas di halaman rumahnya.

"TOLONG!!! TOLONG!!! SIAPAPUN DISINI... TOLONG PAK ALIII!!!"

Suara Pak Jaya menggema sampai ke ujung gang desa Kertamaju. Teriakannya membuat beberapa warga yang beraktivitas sejenak berhenti, memecahkan suasana pagi yang tenang, berubah menjadi panik. Dalam hitungan detik, di antara warga yang sedang menyapu halaman, pedagang sarapan nasi uduk yang mangkal di pinggir jalan, warga yang sedang jalan kaki santai bergegas masuk ke dalam halaman rumah Ayah Ali—termasuk ketua RT Pak Rahmat, Pak Indro dan Mas Andi yang baru saja turun dari motor.

"Ya Allah Mang Jaya, kunaon atuh ieu teh?" tanya Ceu Siti, pedagang nasi uduk yang baru saja selesai melayani pembeli terakhirnya, sambil buru-buru menghampiri halaman rumah Ayah Ali.

"Mang Jaya, ada apa?" tanya Mas Andi begitu memarkirkan motornya di halaman. Ia segera berlari menghampiri tubuh Ayah Ali yang tergeletak tak sadarkan diri. Matanya terbelalak saat melihat wajah pucat yang menguning dan darah yang mengalir pelan dari hidungnya.

Pak Jaya yang masih memangku tubuh Ayah Ali menjawab dengan tenang, namun suaranya terdengar gemetar.

"Pak Ali pingsan mendadak... dan... tiba-tiba mimisan..." katanya, nyaris tak percaya dengan apa yang terjadi.

Pak Indro yang sejak dari tadi berdiri di samping Mas Andi, langsung berlutut di sisi Ayah Ali. Ia segera memeriksa nadi di pergelangan tangan dan lehernya dengan sigap.

"Masih ada nafas... Tapi memang kondisinya lemah sekali," ujarnya serius, menatap Pak Jaya dengan sorot khawatir.

"Kita bawa Pak Ali ke kamar, Jay. Biar dia lebih nyaman untuk istirahat," kata Pak Rahmat, sang ketua RT, sambil menatap cemas ke arah tubuh Ayah Ali. Lalu, ia berbalik menatap warga yang masih berkumpul di halaman.

"Yang lain, tolong bantu pesankan bubur ayan, buatkan teh manis hangat dan siapkan ambulans. Kita harus siap jika beliau dibutuhkan untuk dibawa ke rumah sakit."

Ia menghela napas dalam. Pak Rahmat melanjutkan. Suaranya lebih pelan, penuh keyakinan.

"Kita harus bisa balas semua kebaikan Pak Ali. Beliau sudah banyak berjasa untuk kita."

Dengan sigap, mereka bergotong royong mengangkat tubuh Ayah Ali hati-hati. Pak Jaya menopang kepala sahabatnya, memastikan posisinya tetap stabil agar aliran darahnya tidak tersumbat. Setetes darahnya menodai kaus Pak Jaya, tapi ia tidak menghiraukan sedikit pun. Yang terpenting, bagi Pak Jaya hanya keselamatan Ayah Ali agar cepat pulih.

Pak Rahmat memegang bagian pinggangnya, sementara Pak Indro mengangkat kaki Ayah Ali. Di saat waktu yang bersamaan, Mas Andi berlari ke depan rumah, membuka pintu selebar mungkin agar jalur masuk ke kamar lebih mudah di lalui.

"Sini Pak. Lewat sini," ujar Mas Andi sambil membukakan jalan dan mengarahkan mereka masuk ke dalam rumah, tepatnya ke kamar belakang.

Begitu masuk ke dalam kamar, mereka membaringkan tubuh Ayah Ali perlahan ke atas ranjang. Bantal disangga di bawah kepalanya, sementara selimut disampirkan hingga menutupi bagian pinggang, menjaga tubuhnya yang masih menggigil pelan. Sinar matahari dari jendela menyorot lembut, menyentuh wajah pucat kekuningan yang kehilangan cahayanya.

"Jay, Pak Ali jangan dibaringkan telentang begitu," ujar Pak Rahmat sambil memegang lengan Ayah Ali. "Coba dimiringkan ke kanan. Biar darahnya enggak masuk ke saluran napas."

"Betul, Pak. Bantalnya dinaikkan sedikit. Posisinya setengah duduk, biar aliran darahnya tetap lancar dan enggak bikin sesak," tambah Mas Andi yang kini menangkat tubuh Ayah Ali dan menopang bahunya hati-hati.

Pak Jaya langsung membantu Mas Andi dan menggeser posisi tubuh sahabatnya ke kanan perlahan, menyangga dengan tumpukan bantal di punggungnya. Sementara, Ceu Siti mengambil beberapa lembar tisu di atas meja dan menahan aliran darah di bawah hidung Ayah Ali, lalu menyelipkannya agar tak mengganggu jalan pernapasannya.

"Gini, Pak. Lebih aman. Jangan sampai darahnya tertelan atau bikin dia tersedak," gumam Pak Indro yang kini berdekatan di kepala ranjang. Matanya masih terus mengawasi napas Ayah Ali yang masih berat tapi teratur.

"Terus pijat perlahan tubuh Pak Ali. Biar merangsang kesadarannya."

Pak Rahmat memberikan instruksi sambil mengawasi kondisi Ayah Ali dari dekat.

"Fokus di telapak tangan dan kakinya, ya. Kadang, sentuhan hangat bisa membantu tubuhnya bereaksi."

Lihat selengkapnya