Sebelum Waktu Berhenti

Tasya Syafitri
Chapter #8

Bab 7 - Dalam Bayangan Diagnosa

Pertanda

Detik-detik keberangkatan menuju Rumah Sakit Azra yang dipenuhi dengan ketegangan telah berlalu. Mobil yang mereka kendarai akhirnya meluncur perlahan memasuki area rumah sakit. Dari kejauhan, papan bertuliskan INSTALASI GAWAT DARURAT - 24 JAM tampak berdiri tegas, seolah menjadi gerbang menuju jawaban atas kecemasan yang menjerat di hati orang-orang yang tulus menolong Ayah Ali.

Parkiran nampak sepi dan lenggang, matahari terik semakin naik, menandakan waktu sebentar lagi menuju siang. Mas Andi segera memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu IGD agar dapat memudahkan akses. Begitu mesin mobil dimatikan, seisi kabin mendadak sunyi. Hanya terdengar tarikan napas Ayah Ali yang terasa berat saat ia masih bersandar lemah di kursi penumpang.

"Sudah... sampai... Pak," ucap Pak Jaya menoleh ke arah Ayah Ali. Sorot matanya mengandung kekhawatiran yang tak bisa diucapkan.

Ayah Ali membuka matanya perlahan, ia menatap pintu IGD yang hanya berjarak beberapa langkah. Pandangannya terngiang pada sejuta rasa—takut, pasrah, dan sisa-sisa trauma yang masih menumpuk di tempat ini. Namun di balik sorot matanya yang sayu, masih ada secercah harapan untuk bertahan.

"Iya... saya tahu," gumamnya lirih. Dalam satu tarikan napas, ia berbisik, "Bismillah..."

Pak Rahmat bersama Pak Jaya segera turun dari kursi depan. Dengan langkah tergesa, mereka bergegas membuka pintu penumpang belakang, bersiap membantu memapah Ayah Ali turun dari mobil. Hembusan udara dingin bercampur aroma antiseptik dari pintu rumah sakit itu yang terbuka lebar menyambut mereka. Udara itu terasa asing, seakan menjadi pertanda bahwa perjuangan baru akan segera dimulai.

"Coba tapak kakinya dulu, Pak," ucap Pak Rahmat sambil memegang pergelangan tangan Ayah Ali yang membantu menurunkan kakinya pelan ke bawah aspal hitam yang terasa dingin.

Saat Ayah Ali mencoba untuk berdiri, lututnya bergetar dan tubuhnya hampir bercondong ke samping, seolah ia merasa tidak sanggup menopang beban tubuhnya sendiri.

"Jay... lemes..." bisiknya lirih, hampir tak terdengar.

"Tenang, Pak. Saya pegang," balas Pak Jaya, segera menahan tubuh sahabatnya yang hampir saja ambruk. Ia membiarkan Ayah Ali untuk menyandarkan sebagian besar berat tubuhnya ke bahunya.

Dari arah depan, Mas Andi yang mendengar keributan kecil itu bergegas turun dari mobil. Ia melangkah cepat menuju pintu rumah sakit. Pandangannya tertuju pada kursi roda kosong yang terparkir di sudut pintu masuk itu. Tanpa pikir panjang, ia mendorong kursi roda itu mendekat ke arah mereka dengan langkah tergesa.

"Pak Ali..." panggilnya pelan, sambil menahan kursi roda agar tetap stabil. "Duduk pelan-pelan di kursi roda, ya."

Pak Jaya dan Pak Rahmat saling berpandangan, lalu perlahan menuntun tubuh Ayah Ali yang sudah begitu lunglai untuk duduk di kursi roda. Begitu tubuhnya dibantu untuk bersandar, Ayah Ali menghela napas panjang—antara lega atau pasrah, sementara matanya menatap lurus ke depan pintu rumah sakit, seakan dirinya sudah mengetahui bahwa di balik pintu itu, kehidupan pribadinya akan kembali diuji.

"Pak, minum dulu ya. Biar pusingnya berkurang," ucap Pak Jaya sambil menyerahkan termos air hangat itu ke Ayah Ali, lalu menuangkannya sedikit ke dalam cangkir plastik yang ia bawa.

"Panas enggak, Jay?" tanya Ayah Ali, setengah ragu dengan suara lirih.

"Enggak, Pak. Tadi sebelum berangkat, sempat diisi sama Ceu Ratih. Takaran pas, hangatnya juga pas."

Pak Jaya mendekatkan cangkir itu ke bibir sahabatnya, "Mari, saya bantu minum, Pak. Pelan-pelan saja, ya..."

Ayah Ali meneguk air hangat itu sedikit demi sedikit. Rasa hangatnya menjalar di tenggorokan dapat meredakan rasa mual yang mulai menekan di perutnya, meskipun rasa lemas di tubuhnya belum beranjak membaik.

Ia memejamkan mata sebentar, lalu mengucap lirih, "Alhamdulillah..."

Pak Rahmat yang berdiri di sisi kanan kursi roda, menepuk bahu Ayah Ali pelan, "Sip, Pak. Udah lebih enakan sekarang, kan?"

Ayah Ali menoleh sebentar ke arah Pak Rahmat, lalu mengangguk kecil, "Iya, Pak Rahmat. Lemesnya sedikit berkurang."

"Kita ke ruang registrasi sebentar, ya. Biar cepat ditangani."

Ayah Ali kembali merespon kembali dengan anggukan kecil. Namun, sebelum kursi rodanya di dorong menuju meja registrasi, tangannya yang lemah meraih lengan Pak Jaya yang berdiri di sisi kiri. Tatapannya sayu, tapi penuh harap.

"Jay..." panggilnya lirih, "Jangan kemana-mana, ya."

Pak Jaya refleks menoleh. Ia menunduk, berjongkok di depan kursi roda agar tubuhnya sejajar dengan sahabatnya, "Iya, Pak Ali. Saya enggak kemana-mana, kok," ucapnya dengan menggenggam erat tangan Ayah Ali, seolah meyakinkan bahwa ia tidak sendiri.

Mas Andi yang berdiri dibelakang, mendorong kursi roda Ayah Ali perlahan menuju lorong rumah sakit. Terlihat suasana yang berbeda di luar parkiran. Di dalam lorong itu, lampu-lampu putih yang terang menusuk mata, suara langkah kaki perawat mendorong lantai berpacu dengan dinginnya lantai yang kini terasa dingin, bercampur dengan suara batuk, tangisan dan panggilan nama pasien dari pengeras suara.

Setiba di meja registrasi, suasana keramaian di dalam lorong tampak begitu nyata. Ada seorang pasien lansia yang duduk berdampingan bersama istrinya sambil menunggu giliran dengan raut wajah letih. Di sudut lain, seorang ibu muda berusaha menenangkan bayinya yang kian menangis, sementara tak jauh dari sana terlihat seorang ibu hamil tampak sabar menanti antrean ruang laboratorium, dan seorang pria muda dengan perban yang melilit di kepalanya hanya bisa menunduk, menahan rasa sakit yang ditemani oleh saudaranya. Semua wajah-wajah itu memantulkan raut wajah yang sama—lelah, takut dan pasrah.

Di tengah suasana itu, kursi roda yang diduduki oleh Ayah Ali berhenti sejenak. Ia menatap sekeliling dengan sorot mata yang redup. Tampak begitu asing baginya, tetapi dari berbagai wajah yang ia temui menjadi cermin bagi dirinya yang sama-sama berjuang melawan penyakit yang tak terlihat batas akhirnya.

Ayah Ali menoleh pelan, bibirnya bergetar sebelum akhirnya berbisik, "Jay... saya jadi ingat Laras disini..."

Sorot mata Pak Jaya ikut meredup, ia tahu benar maksud sahabatnya—kenangan bersama almarhumah Ibu Laras masih sangat melekat dibenaknya. Ia menguatkan genggamannya di tangan Ayah Ali, kali ini lebih erat dari sebelumnya, "Tenang, Pak Ali... Ada saya disini."

.....

"Sekarang, Bapak yang harus kuat. Demi Nina..."

Ayah Ali mengangguk pelan, ia menunduk, "Terima kasih, Jay..."

Beberapa detik keheningan berlalu, hanya terdengar deru langkah dan suara mesin antrean dari kejauhan. Agar tidak menunggu waktu lama, Mas Andi memecahkan sunyi itu, menunduk sedikit ke arah Pak Jaya sambil berbisik, "Saya ambil nomor antrean dulu, Pak."

Langkah Mas Andi menuju mesin antrean yang terletak di sudut meja registrasi tampak begitu cepat. Jemarinya menekan tombol, lalu secarik kertas kecil itu keluar dengan nomor antrean tercetak keluar, menyisakan suara mesin yang berderik pelan. Ia menggenggam kertas itu erat, seolah ia menjaga sebuah kunci agar langkah mereka berikutnya bisa berjalan lebih tenang.

Pak Jaya yang masih berdiri di sampingnya, menepuk pelan bahu Ayah Ali. "Sabar ya, Pak. Insha Allah, semuanya berjalan lancar," ucapnya lembut, seakan ingin menghalaukan kerisauan yang membayangi wajah sahabatnya.

Tak lama, Mas Andi kembali menuju mereka dengan membawa selembar kertas antrean. Ia mengangkatnya sedikit, lalu berkata, "Nomornya 105, Pak. Sekarang 98, tujuh langkah lagi kita akan dipanggil."

Waktu berjalan begitu lambat di ruang tunggu itu. Suara panggilan dari pengeras suara silih berganti memanggil nomor antrean pasien lain, disusul dengan langkah para pasien yang bergeser menuju loket. Ayah Ali hanya bisa duduk bersandar di kursi rodanya, menahan rasa kantuk dan lelah yang mulai menyerang tubuhnya. Sesekali ia memejamkan matanya untuk mencari sedikit ketenangan ditengah riuhnya lorong rumah sakit.

Beberapa menit kemudian, pengeras suara itu berbunyi...

Nomor 105, Silahkan menuju ke meja registrasi.

Pak Jaya segera meraih pegangangan kursi roda Ayah Ali, "Ayo, Pak Ali. Kita ke meja registrasi," ujarnya sambil mendorong kursi roda itu menuju loket pendaftaran.

Aroma kertas HVS dan tinta printer menguar di ruang pendaftaran yang penuh dengan tumpukan berkas pasien. Saat Pak Jaya dan Ayah Ali sampai di meja registrasi, seorang petugas perempuan muda berseragam biru muda menyambut kedatangan mereka dengan senyum hangat dan profesional.

"Hallo! Selamat siang, Pak. Selamat datang di Rumah Sakit Azra," sapanya lembut sambil menundukkan kepalanya sedikit, "Ada yang bisa kami bantu?"

Pak Jaya merogoh amplop putih yang sejak tadi ia simpan di saku kemejanya, "Ini, Mbak. Saya ingin mendaftarkan pasien atas nama Ali Hamdani Rachman. Beliau baru saja tadi pagi pingsan dan keadaannya sedikit lemah, jadi kami bawa kesini untuk tindakan lebih cepat," Lalu, ia menyerahkan kartu asuransi Ayah Ali ke petugas loket itu, "Ini kartu asuransinya, Mbak."

Petugas loket itu menerima kartu asuransi itu dengan cekatan, lalu menoleh ke arah Ayah Ali yang duduk di kursi roda, "Ada KTP-nya, Pak?" tanyanya lembut.

Ayah Ali yang sejak tadi menunduk, sontak tersentak kecil mendengar pertanyaan itu, lalu ia menjawab, "Ada, Mbak." Dengan tangan gemetar, ia merogoh saku celananya, mengeluarkan dompet kulit usang yang sudah mulai sedikit pudar warnanya. Di dalamnya, ia mengambil sebuah kartu identitas berwarna biru dengan lambang burung garuda yang terpampang jelas, "Ini, KTP saya, Mbak," ujarnya lirih, sambil menyerahkannya.

Setelah menerima kedua kartu tersebut, petugas loket itu langsung mengetik identitas pasien yang akan dimasukkan ke dalam database rumah sakit, jemarinya mulai menari cepat di atas keyboard komputer. Suara ketukan tombol terdengar beriringan dengan tatapan Ayah Ali yang kosong, hanya memandang meja registrasi. Ada perasaan getir yang mulai muncul, seolah setiap detik menunggu layar komputer yang menampilkan database miliknya menjadi sebuah pengingat bahwa dirinya adalah pasien yang kini harus ditangani.

"Baik, nama Pak Ali sudah saya registrasi ke database pasien. Silakan ditunggu, sebentar lagi tim medis akan memanggil Bapak ke ruang IGD. Terima kasih banyak, Pak," ucap petugas loket dengan senyum ramah.

Pak Jaya mengangguk sopan, lalu menoleh ke arah Ayah Ali, "Sudah, Pak. Tinggal ditunggu sebentar lagi," katanya sambil menepuk bahu sahabatnya dengan hangat, seolah memberi semangat yang tak hanya diucapkan dengan kata-kata.

Ayah Ali menarik napas panjang, menahan segala rasa yang berkecamuk di dadanya. Dalam hatinya, ia berbisik lirih dan berdoa yang dapat terdengar oleh dirinya sendiri.

Ya Allah, beri aku kekuatan untuk menghadapi ujian ini sekali lagi...

Semoga ini jalan terbaik agar aku bisa melihat Nina lebih lama...

Dengan perlahan, Pak Jaya mendorong kursi roda Ayah Ali menuju deretan kursi tunggu. Di sana, sudah terlihat Pak Rahmat dan Mas Andi yang duduk dengan raut wajah yang cemas. Mereka langsung berdiri begitu Ayah Ali tiba.

"Sudah daftar, Jay?" tanya Pak Rahmat, lirikannya sekilas menatap ke arah loket pendaftaran yang mulai dipenuhi dengan pasien lain. Ia menghela napas pendek, "Parkiran doang sepi, tapi IGD-nya rame juga, ya."

"Sabar, Pak," sahut Pak Jaya, menahan suara agar tetap tenang. "Sebentar lagi, Pak Ali pasti dipanggil. Kita tunggu saja."

Mas Andi yang berdiri di samping Pak Jaya, langsung menambahkan, "Yang penting Pak Ali sudah didaftarkan tadi, dan selebihnya kita serahkan ke tim medis."

Ayah Ali hanya mengangguk pelan. Kepalanya ia sandarkan di sandaran kursi roda untuk meringankan rasa pusing di kepala yang kini mulai menjalar di pelipisnya. Sesekali, ia mengadahkan ke atas langit-langit di lorong rumah sakit itu yang berwarna putih dan pucat—lorong yang membuat ia mengingatkan masa lalu yang masih membekas di dalamnya.

Tak lama, pengeras suara itu memecahkan suasana lamunan yang membuatnya kembali ke masa kini.

Nomor 105, pasien atas nama Ali Hamdani Rachman, silakan masuk ke ruang IGD.

"Pak Ali... Ini sudah waktunya. Ayo kita masuk," ucap Pak Jaya sambil bahu Ayah Ali untuk menenangkannya.

Ayah Ali menarik napas dalam, menoleh ke arah belakang dan menatap sahabatnya dengan sorot mata yang redup, "Jay... kamu ikut ke dalam, ya..." bisiknya lirih.

"Tenang, Pak. Saya ikut masuk. Enggak akan kemana-mana," jawab Pak Jaya mantap.

Pak Jaya mendorong kursi roda perlahan dan memasuki lorong IGD yang dipenuhi dengan langkah derap cepat dari para perawat yang saling bertukar alat medis, deru mesin EKG, dan bunyi roda brankar lainnya. Aroma antiseptik, alkohol dan obat-obatan lainnya menusuk di indra penciuman, terasa sangat dingin dan asing. Tapi, Pak Jaya tetap di sisi Ayah Ali, menenangkannya dengan rangkulan hangat.

Begitu sampai di ruang IGD, seorang perawat perempuan muda berhijab berwarna hijau sage sudah menunggu di sudut pintu. Ia tersenyum tipis, lalu menatap Ayah Ali dengan sorot mata yang penuh empati.

"Selamat siang, Pak Ali..." Suster itu menundukkan sedikit tubuhnya dengan ramah, "Perkenalkan, saya Farida. Perawat di rumah sakit ini. Mari, saya antar Bapak ke meja Dokter Shinta," ucapnya sambil perlahan mengambil alih pegangan kursi roda dan mendorongnya ke meja dokter.

Suster Farida perlahan mendorong kursi roda itu di ruang IGD yang kini masih ramai dengan pasien dan suara alat medis. Roda berdecit pelan setiap kali menyentuh ubin lantai, membuat langkah itu terasa begitu lambat namun penuh ketegangan. Ayah Ali hanya bisa menggenggam sandaran kursi roda, tubuhnya yang menunduk berusaha menegak, pandangan matanya berusaha lurus ke depan neski dadanya kian terasa sesak.

Tak lama, mereka sampai di sebuah meja dengan papan nama kecil yang bertuliskan dr. Shinta Luvita, Sp.PD. Di balik meja itu, terlihat seorang dokter muda berhijab pink satin tengah duduk sambil memeriksa berkas pasien sebelumnya. Jas putih yang dipakainya tampak rapi dan bersih, memantulkan cahaya lampu IGD yang menghadirkan kesan profesional dan menenangkan.

Dokter Shinta segera berdiri sambil menutup berkas di tangannya, kemudian melangkah menghampiri Ayah Ali yang masih duduk di kursi roda dengan perasaan pasrah. Senyumnya hangat, jauh dari kesan kaku.

"Selamat siang, Pak Ali," ucapnya lembut, sambil sedikit menunduk dan memposisikan diri sejajar dengan kursi roda sebagai bentuk sapaan hormat.

Ayah Ali mengangguk pelan, bibirnya berusaha membalas senyum meski wajahnya terlihat pucat, "Siang, Dok..."

"Bisa Bapak jelaskan keluhan awalnya yang dirasakan?" tanya Dokter Shinta dengan nada diplomatis.

"Sa..." ucap Ayah Ali berusaha mengatur napas sebelum bicara, suaranya terdengar pelan dan terputus-putus, "Saya... awalnya badan terasa pegal-pegal dan gampang capek akhir-akhir ini, Dok," ucapnya terengah. Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan setelah menarik napas dalam, "Perut terasa begah, kembung, kadang mual sampai muntah-muntah. Kepala juga sering pusing... nafsu makan pun mulai sedikit berkurang, Dok."

Dokter Shinta mengangguk pelan, sambil mencatat keluhan itu di pikirannya, "Baik, Pak Ali. Selain itu, ada keluhan lain?"

Ayah Ali menarik napas pendek, lalu menunduk sejenak, seolah ragu untuk mengucapkan, "Ada yang aneh di tubuh saya, Dok," ucapnya lirih. Matanya tampak berkaca-kaca, sementara suaranya terdengar putus-putus, "Badan saya mulai menguning... Saya sering muntah darah... sama mimisan mendadak. Bahkan, tadi pagi saya sempat pingsan, Dok."

Kalimat terakhir itu keluar disertai helaan napas berat. Ia buru-buru menutup mulut dengan punggung tangannya, menahan batuk yang tiba-tiba mengguncang dadanya. Seketika, suara batuk yang keras membuat ruangan hening seketika.

"Pak Ali... Pak, tenang ya," ucap Pak Jaya refleks sambil mengelus punggung sahabatnya untuk menenangkan.

Suster Farida spontan melangkah cepat menuju dispenser yang terletak di sudut ruangan. Ia menuangkan air hangat ke dalam gelas, lalu bergegas kembali. Dengan sigap, ia menyerahkan gelas itu ke Ayah Ali yang masih terbatuk, sementara Pak Jaya masih bersabar dengan menopang punggungnya agar tetap tegak.

"Minum dulu, Pak..." kata Suster Farida lembut, menyodorkan air hangat itu ke bibir Ayah Ali.

Ayah Ali perlahan menyambutnya. Tangannya sempat gemetar saat memegang gelas, hingga Pak Jaya harus membantu menopang gelas itu agar tidak tumpah. Ia meneguk perlahan, lalu menutup mata sejenak, merasakan sensasi hangatnya air itu untuk meredakan sisa batuk di tenggorokannya.

Ia berdeham, lalu mengucapkan, "Terima kasih..." ucapnya lirih, hampir berbisik.

Dokter Shinta yang sejak tadi memperhatikan kejadian itu dengan seksama, segera berdiri dan melangkah ke meja. Tangannya cekatan mengambil selembar catatan medis, mencatat dengan rapi setiap keluhan yang disampaikan oleh Ayah Ali. Guratan serius di wajahnya mulai terlihat, seolah potongan puzzle dari gejala yang disebutkan Ayah Ali sudah mulai tersusun di benaknya.

"Far, ada bed kosong di IGD ini?" tanyanya serius.

"Ada, Dok di ujung sana," jawab Suster Farida sambil menunjuk ke arah ranjang kosong.

Dokter Shinta mengangguk "Baik, Far," ucapnya singkat. Lalu, ia menoleh ke arah Pak Jaya, "Pak Jaya!" Suara Dokter Shinta terdengar tegas, namun lembut. "Tolong bantu Farida angkat Pak Ali ke bed, ya."

Pak Jaya mengangguk mantap, lalu ia menunduk sedikit di samping kursi roda, "Siap, Dok."

Ia menoleh ke arah Ayah Ali yang masih tampak pasrah duduk di kursi roda itu, "Kita pindah ke ranjang, ya. Biar istirahatnya lebih nyaman," ucapnya tersenyum tipis sambil sambil menepuk bahu sahabatnya agar merasa tenang dan tidak gugup.

Dengan perlahan, Pak Jaya meraih tubuh Ayah Ali, menyampirkan lengannya di bahu yang rapuh itu. Tangan kanannya menopang punggung, sementara tangan kirinya menyokong betisnya. Gerakannya penuh kehati-hatian, seakan dirinya takut menambah sedikit rasa sakit yang sudah menekan tubuh sahabat lamanya.

Di sisi lain, Suster Farida sigap bergerak, ikut menopang bagian kaki agar terasa lebih ringan. Sirat wajahnya menunjukkan kesungguhan seorang perawat yang profesional. Beriringan dengan sorot matanya yang menyiratkan empati mendalam pada pasien setengah sepuh yang begitu lemah di hadapan mereka.

Perlahan, tubuh Ayah Ali yang lunglai itu berhasil di angkat, lalu dipindahkan dari kursi roda ke atas bed IGD. Saat tubuhnya di angkat, wajah Ayah Ali tampak meringis, nafasnya terdengar terputus-putus, dadanya naik turun seakan menahan beban rasa sakit yang semakin menghimpit. Mereka saling berkoordinasi dengan tatapan mata, memastikan tidak ada gerakan yang tergesa.

"Pelan-pelan, Jay..." bisik Ayah Ali lirih, suaranya nyaris tak terdengar.

Pak Jaya hanya mengangguk tanpa suara, butiran keringatnya mulai bermunculan di pelipisnya, meskipun ruangan di IGD tersebut terasa dingin karena hembusan AC. Tenaganya jelas terkuras, namun rasa lelah yang ada di benaknya bukan menjadi penghalang untuk memastikan sahabat lamanya berpindah dengan aman ke ranjang IGD.

Matras putih itu langsung menyambut tubuh Ayah Ali yang tampak semakin lesu. Wajahnya pucat, kulitnya menguning, bersama dengan sorot matanya yang sayu. Begitu tubuhnya berhasil dibaringkan, Ayah Ali menghela napas panjang, seolah seluruh sisa tenaganya tersalurkan pada kasur dingin itu. Dalam hatinya, ia bergetar—seakan ada garis tipis antara menerima pertolongan medis atau menyerahkan semuanya pada takdir Tuhan.

"Rileks ya, Pak..." ucap Pak Jaya lirih, suaranya bergetar menahan isakan tangis yang hampir pecah.

Ayah Ali menatap sahabatnya itu dengan sorot mata yang sayu. "Iya, Jay... Terima kasih..." balasnya, begitu terdengar lirih. Seolah setiap kata membutuhkan tenaga.

Suster Farida segera menarik selimut tipis bergaris, menutupi tubuh Ayah Ali sampai ke pinggang. Kemudian, tangannya yang lembut, merapikan posisi bantal di bawah kepala, memastikan agar pasien bisa sedikit lebih nyaman. Setelah itu, ia menoleh ke arah Dokter Shinta yang berdiri di sampingnya, matanya penuh kewaspadaan.

"Dok, pasien sudah dibaringkan di atas bed. Bisa kita mulai untuk pemasangan oksigen dan infusnya."

Dokter Shinta mengangguk pelan, "Baik, segera dilakukan. Apalagi Pak Ali sempat pingsan tadi pagi, jadi beliau butuh suplai oksigen ke otak agar stabil," ujarnya. Sesaat kemudian, ia menoleh pada salah satu perawat lain yang sedang bertugas di dekat meja peralatan, "Tolong panggil Rania untuk bantu pemasangan tensimeter dan oksimeternya, ya. Saya ingin tahu kondisi vitalnya sekarang juga."

Suster Farida melangkah mendekat sambil membawa selang oksigen ditangannya. Ujung selang bening itu tampak berkilau terkena pantulan cahaya lampu ruangan, sementara tabung oksigen di samping bed berdiri kokoh dengan jarum flowmeter yang masih menunjukkan angka nol.

"Pak Ali, izin saya pasangkan selang oksigen dulu, ya," ucapnya lembut, seolah ingin menenangkan hati pasien yang terlihat lemah.

Ayah Ali hanya menangguk lemah, matanya mulai terpejam perlahan, napasnya kini semakin memberat.

Dengan langkah terlatih, Suster Farida menarik knop pada flowmeter, lalu memutarnya perlahan ke arah kanan. Jarum penunjuk di alat pengukur itu bergerak naik, hingga akhirnya stabil di angka dua liter per menit. Sejurus kemudian, terdengar suara desis halus menandakan udara yang mengalir dari tabung berjalan lancar. Suara samar dari mesin oksigen terasa menenangkan, tanda selang itu siap digunakan.

Selesai mengatur aliran oksigen di tabung, Suster Farida segera mengambil setetes hand sanitizer ke telapak tangannya, menggosokkannya hingga kering sesuai prosedur. Setelah itu, ia meraih sepasang sarung tangan plastik berwarna ungu di meja peralatan medis, lalu mengenakannya dengan tenang dan terlatih.

Dengan penuh kehati-hatian, ia mengambil kanula oksigen, lalu menempelkan ujung kecilnya ke kedua lubang hidung Ayah Ali. Selang bening nan tipis itu dikaitkan melewati telinga, kemudian diikat perlahan di bawah dagu dengan simpul ringan agar tidak menekan kulitnya.

"Napas pelan-pelan, Pak..." ucap Suster Farida lembut, sambil mencontohkan dengan menarik napas perlahan melalui hidung lalu menghembuskan pelan dari mulut, "Tarik dari hidung, keluar dari mulut..."

Sang ayah berusaha menuruti arahan itu. Dadanya sempat naik turun, seiring dengan adanya tekanan di dalam semakin berat. Helaan napasnya terdengar tersengal, namun perlahan ritmenya mulai mengikuti irama yang diperagakan oleh Suster Farida. Sesekali matanya terpejam, berusaha menahan pusing yang masih menyelimuti di kepalanya.

Lihat selengkapnya