Suasana gedung perkantoran Menara Sinarmas, pada siang hari tampak begitu padat dan ramai. Lobi gedung dipenuhi lalu lalang karyawan yang baru saja kembali ke kantor setelah menyantap makan siang. Sementara itu, di tiap lantai, suara mesin printer, dentingan notifikasi email dan WhatsApp, maupun hentakan kaki berpadu menjadi irama yang mengisi kesibukan di kota metropolitan.
Lantai 15, tepatnya Divisi Finance, ritme yang sama mulai terasa. Para staf mulai menatap layar laptop dengan raut muka yang penuh dengan keseriusan. Sesekali terdengar percakapan singkat antara karyawan untuk membahas laporan dan angka-angka yang harus segera diselesaikan.
Di salah satu sudut ruangan, terdapat sebuah pintu dengan tulisan rapi di papan arkilik :
Finance Supervisor Room - Ms. Rachmanina Damayanti Ali, S.E.
Nama yang terpampang, kini menjadi sorotan di lingkup perusahaan tempat Nina bekerja. Anak dari Ayah Ali Hamdani Rachman dan almarhumah Ibu Hannah Larassati ini sudah empat bulan menjalani peran barunya sebagai Finance Supervisor di usianya yang menginjak dua puluh delapan tahun.
Bagi sebagian orang, Nina terlalu muda untuk menduduki posisi yang cukup berat. Namun, kepercayaan yang diberikan oleh pihak manajemen perusahaan membuat dirinya siap melangkah ke posisi yang lebih menantang, beriringan dengan kerja keras dan dedikasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Memiliki ruangan kerja tersendiri adalah hal baru bagi Nina. Sejak lima tahun lepas—awal mula berkarir, Nina menjadi staf biasa dan terbiasa bekerja dengan meja kerja terbuka, duduk bersama staf lainnya sambil berbagi keluh kesah mengenai pekerjaan dan tawa ringan.
Kini berbanding terbalik, ruangannya dipenuhi dengan dokumen laporan keuangan, faktur pajak yang belum sempat diarsip, papan whiteboard yang penuh dengan coretan analisis dan beberapa penghargaan yang bertuliskan Best Employee of the Month, Best Employee of the Year, dan pigura foto bersama Ayah Ali dan mendiang Ibu Laras masih terpajang rapi di rak kerja itu.
Di balik duduknya yang tegak dengan jemarinya yang sibuk menari di atas keyboard, dan senyum profesionalnya, siang itu ada suasana hati yang berbeda di dalam benak Nina.
Fokus matanya terpaku pada perbandingan laporan keuangan mutasi bank dengan catatan resmi laporan keuangan resmi milik perusahaan yang tersimpan di Microsoft Excel. Jemarinya sempat terhenti di atas keyboard saat mengetik berbagai huruf dan angka. Ada getaran samar dalam dirinya, seperti ada sesuatu yang ingin memberi tanda. Hatinya mendadak terasa berat, perasaannya mendadak risih tanpa sebab.
Ia memejamkan mata sejenak, berusaha mengatur napas panjang. Namun, pikirannya berkelana ke suatu hal.
Ayah Ali.
Entah mengapa wajah teduh sang ayah tiba-tiba hadir di benaknya, justru muncul di tengah kesibukannya menyusun dana budgeting pemasangan internet di wilayah Indonesia Timur, khususnya di bagian provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Bayangan itu seakan menyela angka-angka yang berderet di layar, membuat hatinya terasa digelitik oleh sebuah firasat yang sulit di terjemahkan.
"Kenapa tiba-tiba jadi begini, ya?" bisiknya lirih.
Nina mengguncang kepalanya pelan, mencoba mengusir bayangan aneh itu. Ia menunduk lagi, kembali menyibukkan diri dengan melihat tumpukan angka yang tertera di layar laptop. Beberapa kali ia melakukan crosscheck pada file pendukung, mencocokkan data vendor satu per satu. Saat ia yakin data itu kuat, ia mengetik angka final ke dalam sistem dan menekan tombol submit dengan perasaan lega.
Namun firasat itu kembali datang. Terasa halus tapi nyata, seolah ada jarak yang memanggilnya untuk pulang. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi ia menepisnya.
Di layar laptopnya, angka-angka yang telah dimasukkan oleh Nina telah terkirim ke server perusahaan. Nina tidak sadar, satu kolom penting yang harus ia masukkan justru memantikkan sebuah kesalahan besar—harga vendor yang harusnya tercatat lebih tinggi, ia tulis dengan nilai yang lebih murah. Selisih itu membuat total budgeting berubah drastis.
Nina menutup laptopnya dengan tarikan napas lega, sama sekali belum mengetahui bahwa kesalahan kecil yang ia tak sengaja lakukan, justru membawa malapetaka di hadapannya.
*****
Nina melipatkan kedua tangan di atas meja lalu menenggelamkan wajahnya, berusaha menghalau kegelisahan yang menggerogoti pikirannya. Sunyi ruang Supervisor seakan menekan dadanya.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu. Nina mendongak, matanya masih menyisakan semburat letih setelah mengerjakan beberapa laporan budgeting yang sudah di-submit olehnya. Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan, menampakkan wajah seorang staf junior finance, Danu Arkana. Terlihat dari ekspresi pegawai muda itu tampak ragu untuk melangkah masuk.
"Permisi, Mbak Nina..." ucap Danu dengan suara sopan, seolah tak ingin menambah beban atasannya.
Nina spontan melengakkan wajahnya. Ia merubah posisi duduk yang membungkuk menjadi lebih tegap, meski ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyelusup. Dengan cepat, ia mencoba menormalkan ekspresinya, lalu mengangguk pelan.
"Masuk, Danu... Ada apa?"
Danu melangkah masuk ke ruang Supervisor, mendekat ke meja Nina dengan raut wajah canggung, "Bu Fitri ingin bertemu dengan anda, Mbak. Ada hal penting yang ingin dibicarakan."
Deg...
Seketika jantung Nina semakin berdegup kencang. Kalimat itu terdengar sederhana, namun cukup membuat pikirannya semakin kacau. Terdengar ada sesuatu dari nada suara Danu yang membuatnya semakin was-was.
Perlahan, Nina bangkit dari kursinya. Tangannya refleks merapikan blazer biru tua yang sebenarnya tidak terlihat kusut serta rapi, lalu mengikat rambut panjangnya ke belakang agar terlihat profesional. Ia menarik napas panjang, seolah tengah mempersiapkan diri menghadapi badai.
"Iya, saya segera ke sana," jawabnya dengan suara yang berusaha terdengar mantap.
*****
Sebelum keluar dari ruangan, Nina kembali menatap layar laptop yang masih menyala di meja. File budgeting proyek pemasangan internet untuk wilayah Indonesia Timur masih terbuka lebar di sana, deretan angka dan tabel seakan menatap balik padanya. Ada sesuatu yang terasa janggal, namun ia tidak punya cukup ruang untuk memeriksa lebih lanjut.
Sejenak, Nina menelan ludah. Menekan rasa tidak nyaman yang mendadak menyeruak. Ia menutup layar laptop, lalu menghela napas panjang. Ia mengambil langkah keluar ruangan dengan gemuruh yang semakin tidak bisa diredakan.
Sementara itu, Danu masih menunggu di luar pintu dengan ekspresi gelisah seperti menimbang sesuatu. Baru saja Nina melangkah, Sarah—rekan kerja Nina satu divisi, datang dari arah berlawanan—ruang pantry masuk dengan membawa segelas air putih.
"Nin, mau kemana? Mukanya kelihatan pucat banget," tanya Sarah, sorot matanya penuh tanda tanya.
"Ke ruangan Bu Fitri," jawab Nina cepat, berusaha tersenyum tipis, tetapi sulit. "Bentar, ya."
Sarah sempat ingin menahan, tapi Nina sudah melangkah cepat lebih dulu, menyusuri lorong kantor yang masih terdengar samar suara mesin printer dan fotokopi bergantian. Setiap langkah terasa panjang, seakan semua mata menoleh padanya. Danu pun melangkah mengikuti arah jalan Nina dari belakang, menunduk tanpa suara.
Lorong menuju ruangan Deputy Director mendadak terasa lebih sunyi dari biasanya. Detik jarum jam dinding terdengar jelas, seolah ikut menghitung setiap degup jantung Nina yang semakin kencang.
Tak terasa di balik lamunannya, langkahnya terhenti tepat di depan pintu yang berlabel arkilik Deputy of Finance Director - Mrs. Fitriana Susanti, B.Sc, M.Sc. Tangannya sempat terhenti saat menyentuh gagang pintu yang dingin dan bergetar. Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri.
Di dalam ruangan, terdengar samar suara lembaran kertas yang digeser dan bunyi pena yang diketuk di meja. Suara kecil itu justru membuat perasaan Nina semakin gusar.
Danu menoleh ke arah Nina yang berdiri di sisi kiri, memberi isyarat halus dengan anggukan.
"Silakan, Mbak..." ucapnya pelan, "Bu Fitri menunggu anda. Saya pamit dulu."
"Baik, Terima kasih Danu," jawab Nina singkat.
Ia menghela napas dalam, mengetuk pintu tiga kali. Sesaat kemudian, terdengar suara tegas dari dalam ruangan.
"Masuk, Nina..."
Nina menarik gagang pintu dengan tangan yang masih gemetar. Begitu pintu terbuka, aroma kopi hitam bercampur dengan wangi kertas HVS yang baru saja dicetak langsung menyergapnya. Matanya segera langsung menangkap sosok Bu Fitri yang duduk di balik meja besar, dengan ekspresi dingin dan tumpukan dokumen yang berserakan dihadapannya.
"Rachmanina Damayanti Ali..." panggil Bu Fitri dengan suara rendah namun menusuk, "Sudah berapa kali kamu melakukan kesalahan?"
Nina menelan ludah, mencoba mempertahankan ketenangannya, "Sepertinya saya belum melakukan kesalahan apapun dalam pekerjaan ini, Bu. Ada apa, ya?"
"Sayangnya justru ini masalahnya." Tatapan Bu Fitri semakin tajam. "Kesalahan pertama kamu sebagai Finance Supervisor ternyata berakibat fatal. Sangat fatal, Nina..."
Sang direktur menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu meraih selembar dokumen yang sudah kusut di salah satu sisi meja. Ia mengangkatnya, lalu meletakkannya keras-keras di atas meja, tepat di depan Nina yang masih berdiri.
"Kamu tahu ini apa?" suaranya rendah namun penuh tekanan.
Nina menyipitkan matanya, lalu menunduk sambil menatap angka-angka yang tercetak jelas di kertas itu. Ia mengenali file budgeting proyek pemasangan internet untuk wilayah Indonesia Timur—file yang tadi pagi ia kerjakan dengan penuh keyakinan, meskipun ada rasa gelisah. Namun ketika ia melihat lembaran itu, angka total di kolom akhir berbeda dari yang apa seharusnya diminta oleh atasan. Ada selisih besar yang tidak bisa dianggap sepele.
Bu Fitri menatapnya tajam, matanya berkilat penuh amarah. "Kesalahan input anggaran hampir mencapai dua setengah miliar rupiah, Nina. Apakah kamu sadar betapa fatalnya kesalahan ini?"
Nina tercekat, tenggorokannya kering. Suaranya keluar terbata-bata, "Saya... saya tidak bermaksud, Bu... Saya sudah crosscheck semuanya, mungkin ada—"
"CUKUP!!!" potong Bu Fitri dengan nada meninggi yang membuat Nina terdiam membeku.
"Kamu memalukan saya sebagai Direktur disini," suaranya bergetar menahan emosi. "Kamu memalukan vendor wilayah Indonesia Timur yang sudah menunggu kepastian anggaran yang kita rancang, dan sekarang mereka marah-marah ke saya. Dan yang paling parah, kamu memalukan tim Finance yang bekerja keras menjaga nama baik departemen ini."
Ruangan itu mendadak terasa semakin sempit. Jantung Nina semakin berdegup kencang. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
"Baru empat bulan kamu jadi Supervisor..." Bu Fitri mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Nina tajam dari balik meja, "... kok sudah begini hasilnya?"
"Dulu pas kamu jadi karyawan biasa, tidak ada kesalahan fatal seperti ini. Hasil kerjaanmu rapi, teliti, bahkan saya sering menjadikan kamu sebagai contoh teladan kepada karyawan lain. Sekarang kenapa? Ada apa denganmu, Nina?"
Kedua tangan Nina bergetar hebat. Ia berusaha mengenggam ujung blazernya lebih erat agar tidak terlihat lemah dihadapan Bu Fitri. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia tundukkan kepala sedalam mungkin, menahan perasaan campur aduk dan air mata agar tidak jatuh.
Suara Bu Fitri masih bergema di telinganya, menusuk hingga ke dada. Pernyataan dengan kata Memalukan, Fatal, Menghancurkan bahkan perkataan sengit Baru empat bulan jadi Supervisor sudah begini hasilnya? seperti belati kecil yang dihunus berkali-kali.
"Saya menyadari hal ini adalah murni kesalahan saya sendiri. Saya mohon maaf sebesar-besarnya... Saya akan perbaiki secepatnya." ucap Nina lirih, nyaris tak terdengar.
Bu Fitri tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas berat, sebelum akhirnya meletakkan dokumen lain di atas tumpukan berkas yang sudah berantakan.
"Kerjakan ulang sekarang juga. Saya ingin semuanya revisi selesai hari ini juga, sebelum kita masuk rapat dengan klien di NTB dan NTT minggu depan. Saya tidak ingin ada alasan klasik seperti sebelumnya."
Bu Fitri terdiam sejenak, lalu menatap Nina dengan sorot mata tajam.
"Dan tolong satu hal lagi..."
Nada suaranya menurun, tapi justru semakin menusuk, "Kalau kamu ingin tetap profesional dalam peran barumu, fokuslah. Bekerjalah sebaik mungkin, seperti saat kamu masih jadi staf biasa dulu. Jangan pernah mencampurkan masalah pribadimu dengan pekerjaanmu."
Nina mengangguk cepat, "Baik, Bu..."
Ia membalikkan badan dengan langkah berat. Begitu pintu ruang Direktur ia tutup perlahan, rasa sesak di dada yang ia tahan akhirnya meledak. Bahunya bergetar hebat, dan satu tetes air mata jatuh hingga deras begitu saja. Ia buru-buru menyekanya dengan punggung tangan. Berharap tidak ada satu orang pun yang melihat.
Dalam pikirannya yang runtuh, wajah teduh sang ayah kembali hadir—seakan mencoba menenangkan hatinya. Firasat yang tak terlihat mengenai Ayah Ali muncul. Semakin kuat, semakin nyata. Seakan ada sesuatu yang sedang menunggu dirinya untuk pulang ke kota kelahirannya.
Ayah...
Aku enggak tahu, kenapa tiba-tiba perasaanku enggak enak...
Aku enggak tahu, pikiranku melayang ke Ayah sampai menghancurkan pekerjaanku...
Ayah...
Nina enggak tenang. Nina mau pulang. Mau ketemu Ayah...
Ia menarik napas panjang, lalu melangkah menuju ruangannya yang terletak di Divisi Finance, membawa beban pekerjaan sekaligus keresahan yang tidak kunjung hilang.
*****
Langkah Nina terseok-seok begitu ia meninggalkan ruangan Bu Fitri yang terasa dingin dan mencekam. Seketika badannya terasa lemas dengan pikiran yang nampak hampa, beriringan dengan raut wajah yang masih dipenuhi bercak air mata dan rambut yang mulai acak-acakan.
Tangisnya masih pecah, meskipun sudah beberapa kali ia menyeka air mata agar tidak ada orang lain yang melihatnya. Tapi sayangnya, saat ia berjalan menuju ruang Divisi Finance, ia bertemu dengan Rudi yang baru saja keluar dari ruang arsip langsung menghampirinya.
"Nin?" panggilnya pelan. Namun dihiraukan oleh Nina yang buru-buru masuk ke ruangan Supervisor, berusaha menghindari pertanyaan.
Tak lama, Sarah dan Shanti yang sedang asyik berbincang santai di meja kerja, menatapnya dengan heran melihat kondisi sahabatnya yang terlihat tidak biasa. Mereka segera berdiri dan masuk ke ruangan Nina.
Sarah menoleh ke arah Rudi, alisnya menyerngit, "Rud, kenapa si Nina?"
Rudi menoleh ke kiri, mengangkat tangannya setengah di pundaknya, ekspresinya bingung, "Enggak tahu, Sar. Tiba-tiba aja dia masuk ke ruangan langsung nangis."
Sarah menatap Danu yang berdiri tak jauh dari mereka, "Nu!"
Danu yang sedang memainkan ponselnya langsung terkejut, ia menaruhkannya di saku celana, "Apa, Mbak?"
Sarah mendekat sedikit, menatap tajam, "Supervisor kita dibuat nangis sama loe. Ada apa emangnya?"
Danu menggeleng cepat, wajahnya mulai memerah, "Eh, aku enggak tahu, Mbak Sarah..."
"Sebetulnya, sebelum aku ke ruangan Mbak Nina, tadi aku sempat ke pantry dan bertemu Bu Fitri. Beliau bilang, aku disuruh manggil Mbak Nina ke ruangannya. Aku sama sekali enggak nyangka dia bakal nangis."
Rudi menepuk bahu Danu dengan lembut, "Santai, Nu. Aku rasa, dia bukan kesal sama kamu. Mungkin sama Bu Fitri."
Sarah mengangguk cepat, "Tapi, pastikan dulu dia tenang. Beri dia ruang sendiri. Setelah tenang, baru kita samperin."
*****
Keadaan di ruang Divisi Finance akhirnya kembali tenang, tanpa lagi terdengar isakan Nina. Saat suasana benar-benar reda, Sarah melangkah menuju ruang Finance Supervisor, diikuti dengan Rudi, Shanti dan Danu.
Sesampainya di ambang pintu, Sarah mengetuknya perlahan, "Nin... are you okay? Boleh kita masuk?"
Di dalam ruangan itu, Nina yang masih terisak, segera menegakkan tubuhnya, ia buru-buru menegakkan tubuhnya, menghapus air mata yang masih basah di pipinya, lalu berkata "Masuk, Sar..."
Setelah mendapatkan izin dari Nina, mereka berjalan perlahan masuk ke ruang Finance Supervisor. Langkah mereka saat masuk ke ruangan itu terasa berat, seolah harus menembus hening yang menyelimuti sisi koridor.
Saat mereka masuk ke ruangan sahabatnya, terlihat meja kerja Nina yang tampak berantakan. Lembaran kertas demi kertas berserakan, laptop yang masih terbuka. Tetapi, yang sedikit mengenaskan ialah, Nina duduk dengan wajah yang masih menyisakan bercak air mata. Rambutnya yang masih terlihat acak-acakan, seakan tak sempat ia rapikan.
"Nin..." panggil Sarah pelan. Ia mendekat, lalu menepuk bahu Nina hati-hati, "Kamu jangan merasa sendiri, ya. Ada apa denganmu? Cerita sama kita."
Pertanyaan yang dilontarkan Sarah dengan santainya, membuat ia tak sadar jika Nina kembali menangis terisak, pecah. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, bahunya bergetar, hanya terdengar isakan yang tertahan. Suasana ruangan Finance Supervisor terasa hening sementara, hingga Rudi dan Danu saling berpandangan, bingung harus berbuat apa.
Tiba-tiba, Shanti yang baru saja membereskan meja kerjanya di luar, mendengar suara isakan tangis kecil itu. Ia segera masuk ke ruangan Finance Supervisor, langkahnya cepat, menatap Nina dengan raut wajah khawatir.