Strategi Nina
Hari yang menegangkan akhirnya berlalu. Lima sekawan Divisi Finance, akhirnya bisa bernapas sedikit lebih lega, meski ketegangan belum sepenuhnya hilang dari raut wajah mereka. Semua kerja keras yang dilakukan kemarin—dari menyalin dokumen, mencocokkan data, hingga menyusun laporan, selesai dengan tepat waktu. Walaupun harus mengorbankan setengah jam dari jam pulang kantor biasanya.
Pagi itu, suasana kantor Menara Sinarmas terasa lebih hangat dari biasanya. Sinar matahari menembus tirai jendela, menimpa meja kerja yang masih dipenuhi dengan tumpukan dokumen fotokopi lembaran PO dan map biru yang belum diserahkan ke ruangan procurement—Pak Arya. Aroma kopi, teh dan wangi kertas menggantung di udara pendingin, menciptakan perpaduan pagi dengan suara ketikan keyboard yang menggambarkan aktivitas karyawan yang semakin sibuk.
Nina datang lebih awal saat memasuki ruangan pribadinya. Langkahnya cepat dengan sepatu heels yang terdengar nyaring di lantai, seiring dengan deadline yang harus mereka kerjakan pagi ini. Di tangan kanannya, ia menenteng tas kerja dan memegang tumbler berisi kopi hitam. Lalu, di tangan kirinya ia meletakkan kertas roti berisi croissant coklat yang ia beli di kedai roti langganannya dekat lobi.
Sorot matanya nampak sedikit sayu. Tetapi, semangat di wajahnya tetap terasa tegak.
"Hallo... good morning semuanya!" sapa Nina riang dan penuh semangat, mencoba memecahkan kesunyian yang masih tersisa di ruangannya.
Rudi yang sedang bersandar di kursinya sambil menguap lebar, "Hallo, Nin. Cerah banget hari ini. Meskipun kantong mata lu udah bisa nyimpen duit receh," godanya sambil tertawa kecil.
Nina ikut tertawa lirih, "Gue begadang dikit, demi kalian. Lagian, laporan ini kan kudu beres sebelum kita lapor ke Bu Fitri."
Sarah yang berdiri di samping Rudi langsung tepuk tangan kecil, "Gokil Bos kita satu ini. Meskipun kita udah bantuin, tapi tetap berkorban demi anak buah, ye."
Namun, tawa Sarah cepat meredup ketika memperhatikan wajah Nina. Meskipun make-up diwajahnya menutupi sedikit kelelahan, lingkar hitam di bawah matanya tetap terlihat.
"Tapi, loe yakin kondisi kayak gini bisa meeting? Udah gitu minum Americano sama sarapan croissant lagi. Mau nyari penyakit?"
Nina berdecak kesal, "Ccckkk... Gue udah sarapan nasi, kok. Jadi tenang aja. Ini sebagai ganjalan gue biar tetap isi perut dan tetap waras untuk menghadapi masa depan yang belum terjadi. Hahahaha..." jawab Nina sambil berusaha menyembunyikan rasa pusing yang perlahan menekan pelipisnya.
Shanti menghampiri Nina dengan raut wajah khawatir sambil membawa setumpuk map kecil, "Bener lho, Nin. Kalau loe pingsan pas meeting nanti, gimana? Yang ada kita yang panik, Nin."
Nina menatap wajah mereka satu per satu dan mengangkat alis, pura-pura kesal, "Lebay banget kalian! Tenang aja kok, gue belum sejauh itu, kok. Nih buktinya gue masih bisa bercanda sama kalian."
Belum sempat ia melanjutkan kalimat, ponsel di saku celananya tiba-tiba bergetar. Ketika Nina membuka kunci layar, jantungnya membuat berdetak sedikit lebih cepat ketika menampilkan suatu nama kontak yang familiar: Bu Fitri - Finance Deputy Director.
"Siapa, Nin?" tanya Sarah, refleks menoleh.
"Bu Fitri," jawab Nina sambil membuka pesan di Whatapps.
Pesan itu terbaca jelas.
Nina menarik napas panjang, lalu menjawab dengan cepat.

Begitu pesan dari Bu Fitri sudah dibalas, ia menatap rekan-rekannya.
"Guys," ucapnya perlahan, namun lantang. "Bu Fitri sudah tahu permasalahan ini. Beliau minta kita pagi ini untuk ke ruangannya."
Rudi spontan bangkit dari kursinya, "Wah, cepat juga bocornya dari Pak Arya."
"Jadi, kita harus kesana?" tanya Shanti dengan nada cemas.
Nina mengangguk mantap. Meskipun dalam dirinya ada getaran kecil yang sulit di kendalikan, ia tetap berusaha terdengar tegas. "Iya, Shan. Tapi sebelum itu, kita harus susun strategi."
Sarah meletakkan pulpen di atas meja, menatap Nina dengan dahi mengkerut. "Strategi? Maksudnya?"
Nina menarik satu kursi kosong yang terletak di sudut ruangan. Lalu, mendekatkan ke meja kerja Sarah. Ia duduk, membuka tas kerjanya, dan mengeluarkan laptop yang sejak tadi ia belum sempat sentuh. Begitu layar menyala, jemarinya langsung bergerak cepat menyentuh keypad, membuka folder yang berisi arsip pekerjaan dengan judul Nina - File Kerjaan, lalu membuka file baru berupa draft presentasi yang sudah dibuat semalam.
"Semalam, sudah gue siapkan file presentasinya," ucap Nina tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Nanti, ada yang tinggal ditambahin aja. Kayak file PO yang sudah di scan sama Shanti kemarin."
Rudi yang sedari tadi duduk santai sambil menyesap kopi instan di gelas plastik ikut menimpali, "Saat Nina presentasi nanti, gue akan ikut bantu dia untuk bicara depan Bu Fitri. Biar enggak sendirian."
"Siap, Bang Rudi. Aku juga akan ada sedikit kerjaan tambahan untuk scan kontrak kerja vendor Global-Net wilayah NTB dan NTT. Buat tambahan file presentasi," sahut Danu yang sudah bergegas menuju mesin printer sambil membawa berkas kontrak kerja.
"Hasil scan PO kemarin, sudah gue arsip di flashdisk," ujar Shanti sambil membuka laci lemari dan merogoh sesuatu. Lalu, ia menemukan flashdisk biru dan menyerahkan ke meja kerja Sarah. "Nih, Sar. Tolong colokin ke laptop Nina."
Sarah langsung berdiri dan memungut flashdisk dari meja kerja Shanti, "Nih Nin. Biar cepat kelar."
Nina mengangguk, matanya tetap fokus dilayar sambil mengetik sesuatu. "Makasih, guys. Nanti kita rapikan dulu sebelum jam sepuluh. Kita harus pastiin, saat presentasi ke Bu Fitri, enggak ada yang ketinggalan."
Suasana pagi hari di ruang Finance perlahan berubah semakin hidup. Layar laptop yang menyala dan suara keyboard yang berdenting cepat, beriringan dengan suara mesin fotokopi dan aroma kopi bercampur menjadi satu dalam atmosfer yang menegangkan. Meski di raut wajah mereka masih ada lelah yang tersimpan, kali ini yang tampak lebih dominan adalah semangat dan kerjasama tim—sebuah energi baru yang muncul dari rasa tanggung jawab yang sama.
*****
"Haahh... akhirnya selesai juga," desah Nina sambil bersandar di kursi. Ia menekan tombol save di layar, memastikan file PowerPoint itu tersimpan aman di folder yang sama.
Di layar laptopnya, file terakhir yang ia simpan bertuliskan Summary of Financial Findings - GlobalNet NTB/NTT 2025.
Rudi mengangkat tangan ke udara, sambil meregangkan tubuhnya, tiba-tiba punggungnya berbunyi krek, "Kerja bareng dengan Bos Nina memang selalu gercep dan detail, ya. Panteslah dia cepat naik jabatannya."
Sarah tertawa kecil, menutup laptopnya yang dipenuhi lembaran sticky notes warna-warni, "Ha'ah. Enggak sia-sia kita punya rekan kerja kayak Nina. Udah cantik, pinter, strateginya selalu cepat." Ia menatap Nina sebentar, lalu menambahkan dengan nada menggoda, "Minusnya gampang cengeng aja."
Nina yang sedang fokus memindahkan file dari flashdisk Shanti, menatap Sarah dengan tajam, tapi bibirnya tersungging geli, "Ih jahat amat congornya, Sar. Gue juga nangis karena tekanan kerja tahu, bukan drama perusahaan."
Rudi tertawa keras, sampai kursinya berdecit keras. "Itu namanya lo manusiawi, Bos Ninaaa... Hati lo masih selembut Rinso, belum kena bilasan hidup..."
Tawa meledak dalam ruangan Finance yang terasa mendebarkan, tapi cepat teralihkan ketika Danu yang sedari tadi sibuk mengatur berkas kontrak kerja ikut bicara tanpa menoleh, "Udah weh, jangan pada ngegosip, Mas-Mas, Mbak-Mbak. Bentar lagi kita meeting nih sama Bu Fitri... Hati-hati, mood dia suka berubah."
Ketika mendengar nama Bu Fitri yang dilontarkan santai namun ketus oleh Danu, situasi sedikit memanas. Rudi dan Sarah saling berpandangan, sementara Shanti menelan ludah pelan. Nina menarik napas panjang, menatap layar laptopnya yang kini telah menampilkan ikon file PowerPoint yang sudah dilengkapi dengan scan berkas PO, mutasi Bank BCA, dan kontrak kerja yang baru saja disimpan.
"Oke, berarti strategi kita begini untuk menghadapi Bu Fitri, guys," ucap Nina, sambil merapikan rambutnya dengan dikuncir ke belakang, wajahnya di layar laptop memantulkan bayangan dirinya. Shanti, Sarah, Rudi dan Danu langsung menghampiri meja kerja Nina.
"Gue, Rudi dan Shanti bakal handle presentasi utama depan Bu Fitri, terus Danu sama Sarah," tatapannya beralih ke Danu dan Sarah, "Gue minta untuk bawa berkas fotokopi PO, mutasi Bank BCA, faktur pajak dan kontrak kerja antara vendor GlobalNet dan perusahaan kita."
"Oke, Noted Boss," jawab Rudi cepat.
Sarah mengangguk, meski wajahnya tampak tegang, "Loe yakin, Nin? Soalnya kalo Bu Fitri tahu ada angka yang berasal dari dokumen yang belum disahkan Pak Arya bisa gawat."
Nina menatap rekan kerjanya satu per satu. Tatapannya tajam, tapi menyiratkan kelelahan, "Gue tahu ini resikonya. Tapi... kita engga bisa diam aja. Kalau kita biarkan masalah ini, yang ada vendor Indonesia Timur—GlobalNet semena-mena dalam budgeting anggaran internet, bisa semakin bahaya untuk perusahaan kita. Yang penting kita ada bukti."
Rudi menatap Nina lama, lalu tersenyum kecil, "Benar apa kata Nina. Engga ada yang perlu kita takuti. Kita ini kan tim Finance. Mata elang kita banyak, jadi buat apa takut?"
"Copy that," sahut Shanti dengan nada ceria sambil mengacungkan jempol, mencoba mencairkan suasana.
Nina menutupkan laptopnya dan memeluknya erat. Ada sesuatu yang ia simpan di raut wajahnya—perpaduan antara gugup, tegas, takut dan... rindu. Di sela tekanan pekerjaannya hari ini, entah mengapa pikirannya mengenai Ayah Ali masih terus terlintas. Perasaan yang tidak sedap hati itu, membuat Nina semakin gelisah. Ia menarik napas dan menutup mata sejenak, berusaha menepiskan bayangan Ayah Ali dari benaknya.
Yang harus ia selesaikan hari ini adalah : Rapat genting dengan Deputy Director of Finance—Bu Fitri.
Fokus Nina, Fokus...
Ayahmu hari ini masih baik-baik saja...
Yah, doa dan cinta Nina akan selalu menyertai Ayah...
Doain, Yah. Semoga semuanya berjalan lancar...
Begitu membuka matanya, ia kembali menjadi Nina sang Finance Supervisor yang gagah dan tegas.
"Let's go guys. It's a brand new day for us," katanya mantap sambil berdiri dari kursi. Dengan langkah pasti, ia meninggalkan ruang Divisi Finance menuju ruang Deputy Director of Finance, diikuti dengan Rudi, Sarah, Shanti dan Danu, meskipun suasana hati mereka masih diselimuti sedikit ketegangan.
*****
Langkah mereka menuju ruang Deputy Director of Finance, terasa semakin menggentarkan, meskipun terlihat tegar. Setiap ketukan dari sepatu heels dan pantofel yang berpadu dengan lantai marmer yang dingin terdengar jelas, memecahlan keheningan di setiap sudut koridor kantor di pagi itu.
Beberapa staf yang melintas di ruangan sempat menoleh sekilas, lalu segera menunduk kembali dan fokus menatap layar komputer dan laptop masing-masing. Aura serius mulai terpancar dari wajah Nina bersama tim Finance—tanda mereka menghadapi meeting yang tak biasa pada pagi ini.
Tak terasa, langkah mereka tiba di pintu ruangan itu yang di papan arkilik bertuliskan Deputy of Finance Director - Mrs. Fitriana Susanti, B.Sc, M.Sc. Nina menarik napas dalam-dalam sambil memegang gagang pintu. Lalu, ia menoleh ke arah rekan-rekannya dan berbisik pelan.
"Guys, Bismillah. Siap, ya. Kita jawab sejujurnya dan setenang mungkin."
Sarah mengangguk cepat, sementara Rudi sempat merapikan pengait jam tangan kulit yang sempat kendor. Suasana semakin menegangkan beberapa detik sebelum Nina akhirnya mengetuk pintu dengan sopan.
Suara ketukan pintu terdengar pelan.
"Permisi, Bu Fitri... Izin, boleh kami masuk?" ucap Nina setelah mengetuk pintu dua kali.
Dari dalam ruangan, aroma kopi hitam menyeruak dan roti bakar coklat mentega yang dihembuskan melalui pendingin udara yang menusuk. Lalu, balasan singkat terdengar jelas, "Masuk, Nina..."
Nina melangkah masuk ke ruangan itu bersama Sarah, Rudi, Shanti dan Danu. Mereka berbaris rapi di depan meja meeting besar yang berlapis dengan kaca, sementara Bu Fitri menarik kursi dan duduk di depan mereka—menyilangkan tangan di dada, pandangannya tajam tapi tetap tenang.
"Silakan duduk," ucap Bu Fitri datar.
Mereka serempak duduk, mengambil kursi masing-masing. Nina duduk di kursi paling depan, tepat berhadapan dengan atasannya. Tubuh dan kedua tangannya sempat terasa dingin, meskipun dibaluti dengan blazer coklat tua dan ruangannya cukup hangat.
Bu Fitri menatap mereka satu per satu, sebelum akhirnya menatap Nina lama, "Kemarin kamu ke ruangan Pak Arya bersama Danu untuk re-check PO vendor GlobalNet. Kamu menemukan kejanggalan transaksi disana..."
Nada suara sang Deputi Direktur itu terdengar santai dan datar—tidak meninggi, tapi mengandung tekanan yang membuat dada Nina terasa sesak.
"Sekarang saya mau mendengarkan langsung dari kamu, Nina. Jelaskan dari awal mengapa ini bisa adanya kejanggalan dari vendor dan murni bukan salah input dari kamu? Bersama dengan data yang kamu dan tim Finance temukan."
Nina menegakkan duduknya, mencoba menstabilkan nafas. "Baik, Bu."
Ia membuka laptop, memutar layar menghadap Bu Fitri, lalu meng-klik file PowerPoint yang tadi pagi mereka siapkan.
"Ini hasil crosscheck dari tim Finance, Bu... Kami menemukan adanya selisih pembayaran sebesar dua ratus lima puluh juta rupiah untuk vendor GlobalNet cabang NTB dan NTT."
Bu Fitri mengangkat sedikit alisnya, "Selisih sebanyak itu? Dari mana asalnya?"
Nina menggulirkan slide berikutnya, "Dari mutasi bank dan faktur pajak yang kami cocokkan dengan data kontrak kerja asli, ada perbedaan nilai. Nilai di kontrak hanya satu miliar, sedangkan PO dan invoice menunjukkan satu miliar dua ratus lima puluh juta. PPN-nya tidak sinkron, Bu."
Rudi yang duduk di samping Nina menambahkan pelan, "Kami juga menemukan bahwa revisi PO tersebut tidak pernah dikirimkan secara resmi oleh pihak GlobalNet, apalagi disetujui oleh tim Finance. Padahal semua itu, harus ada persetujuan dari kami baru ke divisi procurement.