Setelah lima hari menjalani rawat inap di RS Azra Bogor, kini Ayah Ali sudah tiba di rumahnya sejak dua hari lalu. Pagi ini, ia sedang duduk di ruang makan sambil menemani Pak Jaya yang sedang memasak nasi goreng kampung untuk sarapan.
Ini adalah permintaan kecil darinya. Selama lima hari dirawat inap, ia hanya disuguhi bubur dan nasi tim dengan lauk pauk yang hambar. Tidak ada selera, tidak ada rasa. Paling banyak hanya lima suap, sisanya dibiarkan dingin begitu saja. Maka, saat masih di rumah sakit, ia sempat berpesan dengan Pak Jaya.
"Jay, kalau sudah balik ke rumah, tolong buatkan saya nasi goreng, ya? Saya bosan dengan lauk rumah sakit. Eneg, enggak ada rasa."
Dan pagi ini, janji kecil itu sedang ditepati.
Pak Jaya tampak sibuk di dapur, menggenggam spatula dengan cekatan. Suara cessss terdengar setiap kali bawang merah, bawang putih, cabai dan terasi bertemu dengan minyak panas di wajan. Aroma tumisan itu perlahan memenuhi ruang makan, menembus dinding kayu dan jendela yang sedikit terbuka. Udara pagi di Bogor yang masih basah oleh embun, menyatu dengan aroma harum nasi goreng yang baru ditumis—hangat dan menyenangkan.
Ayah Ali tersenyum kecil, sambil memandang Pak Jaya yang terlalu bersemangat menggoreng nasi.
"Aromanya harum luar biasa, Jay... Saya jadi ingat dulu almarhumah Laras sangat bersemangat memasak pagi-pagi begini."
Pak Jaya menoleh sebentar, lalu tersenyum tanpa banyak kata. Ia tahu, setiap aroma dapur mempunyai kenangan tersendiri bagi Ayah Ali.
"Yang penting Pak Ali mau makan banyak hari ini. Biar sembuhnya lebih cepet." jawabnya sembari menaburkan irisan daun bawang. "Nasi goreng kampungnya sedikit lagi matang nih, Pak."
Ayah Ali mengangguk. Namun, pandangannya beralih pada meja makan di depannya—di sana tergeletak lembaran hasil laboratorium darah dan surat rujukan pemeriksaan lanjutan—USG Abdomen, CT Scan, Biopsi dan Endoskopi. Di sampingnya, terdapat toples kaca yang berisi obat-obatan penunjang fungsi hati dengan warna kapsul yang mencolok—bahkan belum sempat disentuh.
Ia menatapnya lama, napasnya sedikit berat—seperti sedang menimbang sesuatu yang tak ingin ia percayai.
"Perasaan saya hanya sakit maag biasa, deh," gumamnya pelan. "Tapi, kenapa tiba-tiba diagnosanya... sampai ke kanker hati, ya?"
Pak Jaya yang sejak tadi berdiri di dekat kompor terdiam. Ia menurunkan api kompor, menoleh dengan raut wajah cemas. "Iya, Pak? Kunaon eta?" tanyanya perlahan, setengah tidak percaya dengan apa yang barusan didengar.
Ayah Ali menarik napas panjang, lalu tersenyum getir.
"Dokter Shinta enggak salah diagnosa, kan? Masa gara-gara perut nyeri, saya langsung dibilang kena kanker hati? Kadang saya masih belum percaya, Jay..."
Pak Jaya tidak segera menjawab. Ia hanya mematikan kompor sepenuhnya, lalu menoleh. Tatapannya jatuh pada wajah Ayah Ali yang kini tampak lebih letih dari biasanya. Garis halus di pelipisnya semakin jelas, kulitnya agak menguning dan pucat, serta matanya yang sayu. Tapi di balik senyumnya, ada sesuatu yang menekan—semacam ketakutan yang diam-diam tumbuh dan sulit diakui.
Perlahan, ia menghampiri meja makan membawa sepiring nasi goreng hangat dan segelas air putih. Aroma bumbunya menyeruak di ruangan, namun tidak serta-merta membuat suasana terasa ringan.
Dengan hati-hati, ia letakkan piring dan gelas itu di hadapan Ayah Ali.
"Sudahlah, Pak Ali..." ucapnya lembut, berusaha tidak terdengar cemas. "Jangan terlalu dipikirin. Yang penting makan dulu. Minum obat, terus istirahat, deh. Biar tenaganya balik."
Ayah Ali menatap nasi goreng itu sejenak, lalu tersenyum kecil, "Iya Jay... Iya... saya makan nasi goreng buatan kamu, ya. Awas aja kalau enggak seenak buatan Laras."
Pak Jaya terkekeh pelan, sedikit lega mendengarkan gurauan itu, "Wah, kalau dibandingkan sama Bu Laras yang ada saya kalah saing, Pak."
Ayah Ali mengambil sendok yang terletak di tengah meja. Ia mengaduk nasi goreng itu perlahan, membiarkan uap panasnya menguar dan menyentuh wajah. Sempat ada jeda kecil sebentar—seolah ia sedang mempersiapkan diri yang tidak terduga. Bukan hanya untuk makan, tetapi juga menerima kenyataan yang sulit dihadapi.
"Saya makan, ya," ucapnya pelan.
Ia mengangkat sendoknya, mendekatkan ke bibirnya.
"Bismillah."
Akhirnya, suapan pertama masuk ke mulutnya dan kunyah perlahan. Rasa gurihnya bawang, pedasnya cabai, dan aroma terasi itu langsung membawa ingatannya ke waktu pagi beberapa tahun silam—ketika almarhumah Ibu Laras masih hidup dan Nina yang berusia tujuh tahun duduk di kursi sambil mengayunkan kaki, menunggu sarapan sebelum berangkat sekolah. Suasana hangat dahulu yang begitu sederhana, kini terasa sangat jauh.
Suapan kedua ia makan dengan mantap, lidahnya mulai menerima bumbu yang telah lama dirindukan. Namun saat suapan ketiga menyentuh bibirnya, ada sesuatu yang berubah di dalam tubuhnya. Rasa nyeri halus—di bagian perut, atas kanan—tiba-tiba mencengkeram kuat, seperti ada tangan yang tak terlihat menekan dari dalam.
Ia berhenti mengunyah.
Pak Jaya yang sedang berada di dekat kompor memperhatikan gerakan itu. Raut wajahnya langsung berubah.
"Lho, Bapak kenapa? Kepedesan?" tanyanya, berusaha terdengar biasa saja, meski ada kekhawatiran yang jelas.
Ayah Ali menelan nasi goreng itu perlahan. Dengan susah payah, ia menahan desakan itu di tenggorokan dan memaksa tersenyum.
"Enggak... Enggak apa-apa, Jay. Nasi goreng kamu... enak... kok..." jawabnya terputus-putus.
Tatapannya beralih ke kamar mandi, "Saya ke toilet sebentar, ya?"
Pak Jaya mendekat sedikit, "Lho, mau kemana, Pak?"
"Buang air kecil."
Dengan perlahan ia bangkit dari kursinya. Tubuhnya sedikit goyah, tangan kirinya refleks memegang sandaran kursi agar tidak kehilangan keseimbangan. Pak Jaya hampir saja maju untuk memapah, namun Ayah Ali mengibaskan tangannya pelan, mengisyaratkan bahwa ia masih ingin terlihat kuat, setidaknya untuk dirinya.
Pak Jaya menahan langkahnya, hanya berdiri di tempatnya, memperhatikan punggung sahabatnya yang semakin kurus, berjalan pelan menuju kamar mandi—dengan tenaga yang tersisa.
Ayah Ali berjalan dengan langkah-langkah yang pendek dan hati-hati. Napasnya mulai terdengar berat, seperti ada sesuatu yang menekan dari dalam. Setiap langkah menambah sensasi perih yang menyeruak di bagian atas perutnya, tepat di bawah tulang rusuk.
Sesampainya di kamar mandi, ia memutar kenop pintu dan menutupnya perlahan. Tangan kanannya langsung terulur ke wastafel, meraih tepiannya untuk menahan tubuh yang hampir saja goyah. Kepalanya terasa ringan, berputar. Pandangannya mengabur sesaat.
Ia menyalakan keran air. Bukan untuk mencuci. Tapi agar suara lainnya tersamar.
HUUUEKKK... HUUUEKKK...
Suara muntah menggema di dalam kamar mandi yang sempit. Nasi goreng yang baru ia telan beberapa menit lalu, kembali keluar, bercampur dengan cairan asam yang membakar tenggorokannya. Tubuhnya gemetar. Ia menahan diri dengan sisa tenaga yang ada.
Belum selesai. Gelombang kedua datang lebih kuat.
HUUUEKKK...
Lebih kuat, lebih menyakitkan.
Tiba-tiba, serpihan merah ikut meluruh di antara muntahan itu. Berwarna pekat, menghitam ke arah lantai.
Darah.
Ayah Ali terpaku sejenak. Ia menatap cairan merah itu dengan mata yang membesar perlahan—tidak percaya, tidak siap.
Napasnya mendadak terputus-putus. Dadanya naik turun cepat. Tangan yang mencengkeram wastafel bergetar hebat.
"D-Duh… Jay…" suaranya hampir tidak terdengar.
Ia mencoba berdiri tegak. Gagal.
Keran tersenggol oleh sikunya dan menyala lebih deras, air memercik ke lantai.
Kemudian tubuhnya kalah.
BRAKKKKK
Ayah Ali jatuh menyamping, bahunya menghantam lantai keras. Napasnya berat, tercekat, matanya berusaha terbuka namun pandangannya semakin buram. Suara keran air yang mengalir menjadi satu-satunya bunyi di ruangan itu, seperti deru yang jauh dan dingin.
*****
"Kalau bulan bisa ngomong...
Ngomong... ngomong... ngomong...
Dia jujur tak akan bohong...
Seperti anjing melolong...
Lolong... lolong... lolong..."
Inilah lagu yang kerap kali disenandungkan oleh Pak Jaya setiap pagi saat membereskan pekarangan rumah milik sahabatnya.
Sambil menyapu halaman, merapikan dapur, mencuci piring serta wajan bekas menggoreng nasi yang telah ia buatkan untuk Ayah Ali. Meskipun nasinya masih tersisa porsi yang cukup banyak, tetap ia bersihkan piring tersebut.
Lagu Doel Sumbang itu masih terdengar pelan dari ponselnya yang diletakkan di atas rak dapur. Nada dan liriknya mengalun santai, menyatu dengan suara air yang mengucur dari keran.
Pak Jaya selalu percaya, bahwa musik bisa membuat pekerjaannya terasa lebih ringan. Setidaknya, bisa menenangkan pikirannya—pikiran yang sejak beberapa hari terakhir selepas Ayah Ali pulang dari rawat inap di RS Azra Bogor dua hari lalu yang tidak juga membaik.
Awalnya ia mengira bahwa Ayah Ali hanya sekedar buang air sebentar. Itu hal yang biasa dan tak ada yang perlu dicemaskan.
Namun, kali ini... suasananya berbeda...
Semenit berlalu.
Dua menit.
Tidak ada suara langkah kaki. Tidak ada suara selop pintu yang terbuka. Tidak ada tanda-tanda Ayah Ali keluar.
Pak Jaya berhenti mengeringkan piring yang baru dicuci. Sekali lagi, ia menoleh ke arah pintu kamar mandi, menunggu tubuh Ayah Ali sedetik muncul di permukaan. Mungkin sebentar lagi, pintunya terbuka.
Tetapi tetap sunyi.
Ia menarik napas pelan, mencoba untuk tidak panik. Lalu berjalan perlahan menuju meja dapur, mengambil termos dan menuangkan air hangat ke dalam gelas. Jaga-jaga, jika Ayah Ali merasa mual, air hangat ini bisa membantu.
"Pak Ali, saya buatin air hangat, ya. Buat minum obat," serunya sambil melangkah pelan ke arah kamar mandi.
Tidak ada jawaban.
Pak Jaya mengetuk pintu dua kali.
Tok... Tok... Tok...
"Pak Ali? Sudah selesai, Pak?"
Masih tidak ada sahutan. Hanya suara air keran yang mengalir terus menerus, seperti sengaja dibiarkan terbuka.
Seketika, sebuah firasat buruk merambat dari ujung kaki sampai tengkuknya.
"Pak Ali!" suaranya mulai meninggi, "Tolong jawab, Pak."
Ia menggenggam gagang pintu. Dikunci.
Jantung Pak Jaya berdegup lebih kencang. Tangannya bergetar.
"Pak Ali?! Pak?! Denger suara saya, Pak?!"
Tidak ada balasan.
Kepanikan semakin membuncah. Gelas air hangat yang sedari tadi dipegang olehnya terjatuh dan pecah di lantai. Airnya mengalir di antara keramik.
Pak Jaya berteriak. Kali ini jauh lebih keras.
"PAK ALIII???!!!"
Ia segera berlari menuju halaman depan, membuka pintu selebar-lebarnya, lalu memanggil beberapa warga yang sedang beraktivitas di luar dengan suara yang mengguncang.
"TOLOONGGG!!! SIAPAPUN WARGA DISINI!!! PAK ALI KEKUNCI DI KAMAR MANDIII!!!"
Teriakannya menggema, mengusik pagi hari yang tadinya tenang.
Dalam hitungan detik, Ceu Siti yang sedang melayani pembeli nasi uduk di depan rumahnya, langsung menoleh. Wajahnya berubah panik ketika mendengarkan nama Pak Ali disebut. Ia segera berlari, meninggalkan lapak dan pembelinya begitu saja, bahkan piring yang sedang dipegang, dibiarkan jatuh mengenai meja.
Pak Rahmat dan Pak Indro yang sedang berjalan santai setelah subuh, ikut mempercepat langkah mereka ketika melihat Pak Jaya tampak gelisah di depan pintu rumah.
"Kunaon, Mang Jay?" tanya Pak Indro. Napasnya sedikit terkejar.
"Siapa yang kekunci, Jay?" sambung Ceu Siti, suaranya cemas.
"Mang Ali, Ceu..." Pak Jaya berusaha menjelaskan, tapi suaranya bergetar. "Katanya cuma mau buang air sebentar. Tapi dari tadi saya panggil... enggak nyaut sama sekali."
Keheningan sesaat.
Lalu kecemasan meledak bersamaan.
"Ya Allah... Pak Ali pingsan lagi?"
"Bukannya dua hari yang lalu baru pulang dari RS Azra, Jay?"
"Kok bisa begini lagi, Jaya? Kenapa enggak bilang dari awal???"
Pertanyaan-pertanyaan itu berdatangan tanpa jeda. Namun Pak Jaya hanya menggeleng. Matanya memerah, napasnya memburu.
Ceu Ratih datang paling belakang, lalu menghentikan semuanya dengan suara tegas yang memotong beribu pertanyaan.
"ADUUHHH!!! Jangan banyak nanya, atuh!" serunya, nadanya meninggi karena panik. "Lengah sedikit taruhannya NYAWA Mang Ali, tahu enggak???!!!"
Keempatnya terdiam.
Lalu bergerak.
Pak Indro bergegas masuk ke dalam rumah menuju kamar mandi. Sesampai di ambang pintu, ia menarik gagangnya. Tapi, hasilnya terkunci rapat.
Tok...Tok...Tok...
"Pak Ali!!! Pak!!! Dengar suara saya, enggak??!!"
Tak ada jawaban.
Hanya suara air dari keran yang masih mengalir deras.
"Jangan kelamaan mikir, atuh! DOBRAK SEKARANG!" Ceu Ratih memerintah cepat, tanpa ragu.
"Siap, Hitung!" ujar Pak Rahmat sambil memberikan aba-aba menendang pintu.
"Satu!!!"
"Dua!!!"
"TIGA!!!"
Pintu bergeser, tapi belum terbuka sepenuhnya.
Kakinya terbentur pintu, namun mereka tak berhenti.