Sebelum Waktu Berhenti

Tasya Syafitri
Chapter #12

Bab 11 - Sebelum Semuanya Terlambat

Perjalanan panjang dari Jakarta menuju RS Azra Bogor kali ini terasa seperti tak berujung. Setiap detik yang mereka lalui justru menambah kepanikan yang mencengkeram di dada Nina. Rekan kerjanya—Danu, Sarah dan Amel, berusaha keras menenangkan Nina dan menghantarkannya untuk bertemu dengan Ayah Ali yang kini terbaring lemah di ruang perawatan ICU.

Mobil dinas itu melaju kencang menyusuri Tol Jagorawi. Danu memegang setir dengan kedua tangannya yang berkeringat. Tatapannya fokus pada jalanan. Sementara itu, Nina tersungkur di pelukan Amel, tubuhnya bergetar hebat, tangisannya tak bisa ia kendalikan.

Meskipun lalu lintas Tol Jagorawi siang ini terpantau lancar, rasa panik tetap mengunci seluruh pikirannya. Setiap jalanan seolah menampar kesadarannya bahwa waktu mereka semakin sedikit.

"HUARRRGGHHHHHH!!!" Nina meraung. Suaranya pecah, menggema di dalam kabin mobil.

Amel segera meraih kepala Nina, mengusapnya lembut dengan telapak tangan yang dingin karena panik, "Sabar ya, Nin. Sabar.... Ayah lo pasti baik-baik aja kok. Percaya sama gue, Nin... Bentar lagi kita nyampe."

Nina semakin tersedu, suaranya terputus-putus.

"Mel... gue takut... gue takut banget..."

Sarah yang duduk di samping Amel tak bisa menahan diri. Ia menoleh cepat ke depan, suaranya meninggi.

"Danu! Ayo dong, ngebut yang lebih kenceng lagi! Ya Allah! Ini jalanan Jagorawi luas banget lhooo... masa enggak bisa lebih cepet?!"

Danu menggertakkan giginya, kedua tangannya mencengkeram setir lebih kuat. "Aku udah ngebut, Mbak Sarah. Ini kecepatan mobilnya udah maksimal! Bentar lagi keluar tol Jagorawi... sabar...sabar..."

Tapi raungan baru Nina lebih pecah, lebih menyayat, hingga Danu hampir kehilangan fokus menyetir.

"YA ALLAHHH... JANGAN AMBIL AYAHHHH... JANGAN AMBIL AYAH DARI SAYAAAA..."

Nina memukul-mukul pahanya sendiri, mencoba meluapkan rasa panik yang menyumbat napasnya.

Amel langsung memeluk Nina sekuat-kuatnya agar tubuh Nina tidak terjatuh dari bangku mobil karena teriakan histerisnya.

"Nina... Hei... Hei..." Amel meraih kedua pipi Nina, memaksanya menatap lurus.

"Dengerin gue. Ayah lo masih nungguin lo di sana. Dia masih kuat. Lo harus kuat juga, Nin. Kita bentar lagi sampe... tahan sedikit lagi, ya... please."

Mobil akhirnya keluar dari Tol Jagorawi dan memasuki kawasan Pasar Ciawi. Namun bukannya lancar, justru gelombang kendaraan dari segala arah menyambut mereka—motor, angkot, mobil pribadi, dan bus pariwisata yang saling bertubrukan dalam simpul kemacetan yang kacau.

Laju mobil langsung berhenti.

"ARRRGGGGHHH!!!!" Danu menghantam setir dengan telapak tangannya. Suara pukulannya menggetarkan seluruh kabin.

"Kebiasaan deh Ciawi ini selalu macet. Mana bukan lampu merah lagi."

Sarah menutup wajah dengan kedua tangan, lalu membanting tubuhnya ke sandaran kursi, frustasi sampai hampir menangis, "ASTAGHFIRULLAHHH... STRESS GUE SAMA MACETNYA CIAWIIII!!!!! INI LAGI BURU-BURU BANGETTT!!!!!"

Suara klakson dari berbagai kendaraan sekitar membuat situasi semakin sesak. Hawa panas dan bising menekan dari segala arah. Keringat dingin membasahi pelipis Nina, sementara napasnya mulai menjadi cegukan kecil.

"Mel..." suara Nina terputus-putus, "kalau... gue... kesana... Ayah... Ayah... gue... masih... ada... kan?"

Amel langsung kembali menarik Nina ke dadanya, memeluknya lebih kuat daripada sebelumnya.

"Enggak. Beliau masih menunggu. Dan lo gak bakal telat, Nin. Gue janji. Kita akan bawa ke Ayah lo secepatnya."

.....

"Lo enggak sendirian, Nin. Enggak sendirian. Lo ada kita. Okay?"

Danu memicingkan mata, mencari celah dari spion depan, berusaha membaca arus kendaraan yang padat, namun mulai terurai, "Kayaknya jalan sekitar Pakuan tidak terlalu macet. Kalau bisa masuk ke sana, aku bisa ngebut lagi."

Amel mengangguk cepat. "Gas, Nu!"

Ia merogoh saku celana, menarik iPhone dengan tangan gemetar, lalu membuka aplikasi Google Maps. Matanya menyapu layar, mencari jalur alternatif secepat mungkin.

"Ini nih..." gumamnya terburu-buru. "Jalanan sekitar sini masih aman. Tapi, kita harus cari jalan tikus. Jangan lewat Kebun Raya Bogor. Kalau kita ngikutin maps, yang ada kita bakal kejebak lampu merah lagi, Nu. Muter dari arah Pakuan yang langsung ke jalan Pajajaran."

"Siap, Mbak!"

Danu memutar setir ke kanan, mengambil celah kecil di antara mobil Avanza dan motor yang berhenti mendadak.

Mesin meraung saat ia menekan gas lebih kencang, membuat tubuh semua orang yang di belakang sedikit terdorong.

Sarah memegang handle pintu sambil memejamkan mata, menahan degup jantungnya.

"Bismillah, ayok... cepet sampe... cepet... cepet..."

Di sampingnya, Nina meremas tangan Amel sangat erat. Wajahnya penuh dengan keringat, entah karena terik panas di Kota Bogor yang tinggi atau kepanikan masih melanda dirinya?

"Mel... berapa lama lagi sampe?" tanya Nina. Suaranya serak, hampir tak terdengar.

Amel mencoba tersenyum meski bibirnya ikut bergetar, "Sebentar lagi ya, Nin. Paling lima belas menit. Tahan, ya?"

Nina mengangguk lemah, rapuh. "Iya... tapi gue harus ketemu sama Ayah."

Mobil meliuk cepat melewati deretan warung makan, toko oleh-oleh dan kue, hingga pepohonan besar yang menaungi sebagian jalan. Klakson kembali terdengar bersahutan di belakang dan samping mereka, tapi Danu tak mengendurkan gas sedikit pun. Ia mengambil jalur kecil—hanya muat satu mobil, dengan kecepatan meninggi.

"NU! HATI-HATI!" teriak Sarah saat sebuah motor muncul dari tikungan.

"Aman, Mbak! Aku lihat tadi." jawab Danu datar, meski terengah karena tegang.

Tak lama kemudian, jalanan mulai terbuka. Mereka memasuki kawasan Jalan Raya Pajajaran yang siang ini terasa lebih terik dari biasanya. Tanpa ragu, Danu menekan tekanan gas.

Kecepatan meningkat.

Rumah-rumah warga, kantor-kantor kecil, dan pepohonan besar melintas cepat di luar kaca.

"Nu, lurus terus sampe patokan Indomaret, abis itu belok kiri, ya," ujar Amel sambil terus mengawasi Google Maps.

"Siap, Mbak!"

Satu belokan tajam. Satu kilometer lurus.

Bangunan besar berwarna krem itu akhirnya muncul di ujung pandangan—plang hijau yang begitu familiar:

RS AZRA.

Jantung Nina terasa tersambar. Panas dan perih.

Napasnya patah, seperti ada yang menahan di tenggorokan.

Begitu mobil masuk di area drop off, Danu baru saja memutar setir untuk mencari parkiran kosong ketika...

KLEK!

Nina sudah membuka pintu dengan kasar.

"NINA! TUNGGU—," seru Amel memekik.

Tapi Nina tak mendengar apapun.

Ia sudah berlari kencang menuju pintu lobi.

Udara di depan lobi rumah sakit terasa langsung menamparnya—dingin, menekan dan bau antiseptik yang menusuk hidung. Langkahnya sempat goyah, namun melaju kembali ketika ia melihat sosok-sosok yang dikenalnya sangat baik oleh Ayah Ali.

Pak Rahmat.

Pak Indro.

Ceu Ratih.

Ceu Siti.

Terakhir, asisten pribadi Ayah Ali, Pak Jaya—berdiri mematung, wajahnya pucat seperti kehilangan kata-kata.

Seorang pria tua berbaju koko biru muda melambaikan tangan panik.

"Nah itu anaknya Pak Ali datang! Sini, Nak! Sini!" seru Pak Indro.

Lalu matanya menangkap seseorang berdiri tepat di depan pintu IGD—

Ceu Ratih.

Dan saat itu juga, seluruh pertahanan Nina runtuh.

Sekuat apa pun ia mencoba tegar di perjalanan, semuanya pecah hanya dalam satu detik.

"Bi..." suara Nina tercekat, nyaris tak terdengar.

Ceu Ratih mengulurkan tangan, "Neng..."

Dalam satu langkah panjang, Nina langsung merangkulnya. Pelukan itu bukan hanya sekedar pelukan biasa, sebelum ia terjatuh di dada Ceu Ratih dan tangisannya pecah.

"Ayaaaaahhhhh..." jeritnya histeris, memecahkan dinginnya lobi rumah sakit.

"Nina takut, Bi... Nina takut banget..."

Ceu Ratih memeluknya makin erat, membelai rambutnya seperti anak sendiri.

"Neng geulis... tahan ya, Neng... tahan, ya... Pak Ali masih kuat nungguin kamu, sayang."

Tubuh Nina limbung. Napasnya tersengal. Ia hampir jatuh jika Ceu Ratih tak sigap menopangnya.

Amel, Sarah, dan Danu baru tiba di depan lobi, napas mereka terengah-engah. Wajahnya berubah panik melihat Nina hampir kehilangan kendali.

"Bi, maaf... kami teman kantornya Nina." Amel menelan ludah, suaranya pelan namun gemetar. "Gimana kondisi Ayahnya sekarang?"

Ceu Ratih menatap mereka satu per satu, sebelum akhirnya menghela napas panjang.

"Ayahnya dalam kondisi kritis... Kita doakan saja yang terbaik, ya."

Mendengar kata 'kritis' membuat tubuh Nina terhuyung ke samping.

Sarah dan Danu buru-buru memegang lengannya.

"Nin! Hei, sadar... Sadar, Nin!" seru Sarah sambil menepuk pipinya agar kembali fokus.

Nina menggeleng lemah, pucat, suaranya hampir tak terdengar.

"Enggak mungkin... Sar... Enggak mungkin..."

Air matanya jatuh tanpa kendali.

Namun tiba-tiba, tatapan Nina berubah menjadi tajam dan sinis. Pandangannya berhenti tepat pada satu sosok.

Pak Jaya.

Berdiri dengan kepala tertunduk, kedua tangannya saling menggenggam gugup.

Nina menatapnya dengan mata memerah, napasnya naik turun tak beraturan.

Perasaan sedih berubah menjadi marah yang membara.

Perlahan, Nina melepaskan diri dari pegangan teman-temannya.

"Pak..." suaranya serak, rendah. "Kenapa Pak Jaya enggak bilang dari awal kalau Ayah sakit?"

Pak Jaya menelan ludah, tak berani mengangkat kepala.

Namun amarah Nina sudah pecah.

Dalam langkah gemetar, ia meraih kerah baju Pak Jaya.

"KENAPA PAK JAYA NUTUPIN SEMUA INI DARI NINA?!" teriaknya, membuat orang-orang di lobi rumah sakit menoleh.

Pak Jaya tersentak, "Neng.... Pak Jaya, cuman—"

"JAWAB, PAK! JAWAB!" Nina mendorong tubuh Pak Jaya ke dinding. Air matanya jatuh semakin deras.

"PAK JAYA KOK TEGA SAMA NINA?!" suaranya pecah, patah, hampir pingsan oleh emosinya sendiri.

"Neng... maafin Pak Jaya, ya...Pak Jaya—"

"PAK JAYA SENGAJA, YA?!" Nina kembali menarik kerahnya, semakin kencang.

"SENGAJA NGUMPETIN INI SEMUA DARI NINA?!"

Ceu Ratih berusaha mendekat, hendak menenangkan, "Neng... sabar sayang... sabar..."

Tapi Nina sudah tak bisa mendengar siapa pun.

“BIAR NINA JADI ANAK YATIM PIATU, KAN?!” jeritan itu menggema, membuat Ceu Siti memekik kecil dan menutup mulut.

Semua wajah di sana berubah pucat.

"Kalau sampai terjadi apa-apa sama Ayah. Demi Allah, Nina enggak bisa maafin Pak Jaya lahir batin..."

Pak Jaya akhirnya mendongak. Wajah lelaki tua itu sudah basah oleh air mata yang sejak tadi ia tahan.

"CUKUP, NENG! CUKUP!"

Bentakan itu bukan marah.

Bukan pula membentak Nina.

Tapi lebih seperti jeritan seseorang yang sudah terlalu lama menahan beban sendirian.

Nina terhenti.

Amel, Sarah, dan Danu menahan napas, mematung.

Ceu Ratih mengusap matanya yang ikut berkaca-kaca.

Pak Jaya menarik napas panjang, tapi suaranya tetap bergetar.

"Pak Ali yang minta semuanya disembunyikan dari kamu, Neng...." katanya lirih.

"Bukan saya. Bukan yang lain. Tapi itu permintaan dari Ayah kamu sendiri..."

Nina menggeleng. Hatinya menolak, walaupun pikirannya tahu itu mungkin benar.

Pak Jaya melanjutkan, suaranya parau.

"Beliau mau... kamu fokus sama pekerjaan kamu... sama masa depan kamu..."

Air matanya kembali jatuh.

"Beliau enggak mau kamu kecapekan. Enggak mau lihat kamu bolak-balik dari Jakarta ke Bogor buat jagain orang tua yang sakit-sakitan..."

Suara itu akhirnya pecah.

"Saya cuman jaga amanah, Neng... dari Pak Ali."

Ia menutup wajahnya dengan satu tangan, menahan isak.

"Beliau bilang sama saya, Neng. Selama masih bisa nahan sakit, jangan kasih tahu Nina, Jay.

Biar saya siapkan hatinya untuk dia tahu kalau Ayahnya berjuang..."

Nina terpaku.

Tubuhnya melemas.

Genggamannya pada kerah baju Pak Jaya perlahan-lahan terlepas.

Air matanya jatuh lebih deras—bukan karena marah.

Tapi karena hatinya sedang runtuh.

"Jadi..." Nina tersedu, suaranya terputus-putus. "Jadi... yang selama ini Ayah bilang lagi video call sama Nina minggu kemarin... yang katanya main dokter-dokteran di rumah Pak Jaya itu adalah bohong, Pak?"

Pak Jaya menunduk dalam.

"Iya, Neng… maafin Pak Jaya…"

Nina menutup mulut dengan kedua tangan. Tubuhnya bergetar hebat.

Pak Jaya melanjutkan dengan suara pelan, seperti menahan sesak di dadanya sendiri.

"Pak Ali sudah merasakan sakit sejak lama. Sudah beberapa kali pingsan... muntah darah... badannya makin kurus dan kuning... bahkan sampai rawat inap kemarin, semua itu benar-benar dia tahan, Neng."

Matanya memerah.

"Beliau… beliau cuma enggak mau kamu khawatir."

"Ayah…" suara Nina pecah, hampir tidak terdengar.

"Pak Ali lebih memilih diam," sambung Pak Jaya lirih.

"Karena beliau takut bikin kamu sedih…"

Nina menunduk. Lututnya goyah.

Amel refleks memeluknya dari belakang.

"Nina… tahan, ya…"

Tapi air mata Nina sudah mengalir deras tanpa bisa dihentikan.

"Lalu…" Nina mengangkat wajah, matanya basah, merah, dan penuh luka.

"Kalau semuanya Ayah tahan sendiri…"

Ia menarik napas patah.

"Kenapa bisa separah ini, Pak?"

Pertanyaan itu menggantung di udara. Tak ada yang bisa menjawab.

Hening menampar seluruh lobi rumah sakit.

Namun saat itu juga, suara 'ting' halus dari lift memecah keheningan.

Pintu lift terbuka perlahan.

Muncul seorang dokter muda turun darinya—jas putih rapi, hijab merah muda yang tertata, stetoskop tergantung di leher. Wajahnya tenang, namun matanya tegas dan serius. Ia menghampiri rombongan itu dengan langkah cepat.

"Selamat siang," ucapnya formal namun lembut.

"Siapa di sini keluarga dari Bapak Ali Hamdani Rachman?"

Semua kepala serempak menoleh ke arahnya.

Napas Nina langsung tersangkut di tenggorokannya.

Tangannya yang bergetar digenggam erat oleh Amel di sampingnya.

“Saya… anaknya, Dok.”

Nina maju selangkah, meski lututnya hampir tak bisa menopang tubuhnya.

Dokter itu mengangguk kecil.

“Nama saya Dokter Shinta. Dokter yang merawat ayahmu. Ada yang perlu saya bicarakan langsung dengan Mbak Nina."

.....

"Mari ikut saya ke ruangan saya, ya.”

Nina sempat menatap Amel, Sarah dan Danu yang terlihat hampir sama pucatnya dengan dirinya.

Lalu Amel segera bersuara cepat, “Dokter, saya temannya Nina, anak dari Pak Ali. Boleh saya ikut ke ruangannya? Biar Nina ada yang nemenin.”

Dokter Shinta tidak ragu.

“Boleh ikut, Mbak. Silakan.”

Lihat selengkapnya