Dania adalah keponakanku satu-satunya. Dia adalah anak dari kakak perempuanku satu-satunya. Aku dan kakakku terlahir dari keluarga berkecukupan. Sayangnya, kedua orang tuaku harus lebih dulu dipanggil Allah karena mengalami kecelakaan. Saat itu aku dan kakakku masih kecil. Aku masih duduk di bangku TK dan kakakku di bangku SD. Aku ikut dengan bibi, saudara dari ibu. Kakakku ikut dengan saudara dari ayah. Kami berdua terpisah sejak kecil. Kami kembali bertemu ketika kami sudah belajar mandiri. Aku membutuhkan pekerjaan, lalu bibi menyarankan aku agar meminta pekerjaan dari kakakku. Aku tak tahu jika kakakku sudah menikah, bahkan ia sudah dikaruniai seorang putri yaitu Dania. Aku sempat tinggal di apartemen kakakku selama beberapa hari ketika aku baru di kota ini.
Kakakku sangat baik. Dia mencarikan aku pekerjaan dan ia mendapatkan pekerjaan untukku di sebuah butik. Aku banyak berterima kasih padanya. Kini aku sudah tinggal di sebuah kost dekat dengan tempat kerjaku. Kakakku pun sudah memiliki rumah sendiri hasil dari jerih payahnya sebagai seorang model majalah. Terkadang, kakakku menitipkan Dania padaku ketika ia sedang ada pekerjaan di luar kota. Aku senang ketika Dania ada bersamaku. Dia seakan pelipur hati ketika aku kesepian.
"Bunda. Kapan Mami pulang?"
Aku menoleh ke arah Dania. Senyum kuukir ketika gadis kecil di hadapanku memasang raut meminta jawaban. "Mami sedang ada pekerjaan di luar kota, Dania. Kalau nggak besok, mungkin Lusa. Sabar, ya. Dania kan anak pintar." Aku mengusap kepalanya lembut.
"Tapi kok Mami lama?" Dania masih meminta jawaban.
Memang tidak seperti biasanya Kak Diana lama seperti ini di luar kota. Biasanya hanya dua atau tiga hari. Ini sudah lima hari, tapi dia masih belum pulang. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan dia di sana.
"Bunda kok diam."
Aku terkesiap, menatap Diana. "Mungkin Mami sedang di jalan. Dania habiskan susunya, lalu tidur."
"Nia mau telepon Mami."
Aku meraih ponsel untuk menuruti permintaan Dania. Sejak kemarin Kak Diana susah dihubungi. Semoga saja kali ini nomor dia aktif.
Beberapa kali aku menghubunginya, tapi nomornya tidak aktif. Aku merasa khawatir dengan keadaannya.
"Mami mana, Bunda?" Dania masih merengek.
"Nomor Mami nggak aktif, Sayang. Mungkin Mami sedang di dalam pesawat. Dania tidur saja, ya. Nanti kalau nomor Mami sudah Aktif, Bunda kasih tau Dania." Aku menenangkannya.
Tidak seperti biasanya Dania seperti ini. Biasanya dia tidak banyak bertanya mengenai Kak Diana.
Dania hanya mengangguk. Dia beranjak naik ke atas ranjang dan merebahkan tubuh di atasnya. Aku pun mengikutinya, tidur samping Dania. Tak lama, kulihat Dania sudah tertidur. Aku bergegas mengambil ponsel untuk menanyakan keadaan Kak Diana pada asistennya.
To Kak Elin :
Kak. Apa pekerjaan Kak Diana belum selesai. Tumben Kak Diana lama di luar kota. Ini Dania tanya Kak Diana, kenapa belum pulang-pulang? Aku juga sudah telepon Kak Diana, tapi nomornya nggak aktif sejak kemarin.
Setelah mengirim pesan itu, aku kembali merebahkan tubuh. Lama sekali tak ada balasan dari Kak Elin. Aku pun memejamkan mata karena mengantuk.
Aku mengerjapkan mata ketika mendengar deringan ponsel. Segera kuraih benda itu dan kutatap layarnya. Kak Elin menghubungiku.
"Halo," sapaku.
"Sabrina. Cepat kamu ke rumah sakit sekarang. Diana kritis."
"Apa?!" Aku membulatkan mata.
"Cepat, Sabrina. Diana mencari Dania. Aku Sms alamat rumah sakitnya."
Aku bergegas turun dari ranjang. "Kak Elin nggak bercanda kan, Kak?" Aku meminta kepastian.
"Ya Tuhan. Aku serius, Sabrina!"
"Tapi-"
"Cepat ke rumah sakit! Kamu akan tau semuanya di sini!"
Aku menatap ponselku ketika panggilan terputus. Kak Elin memutuskan panggilan sepihak. Aku bergegas mengenakan jilbab dan meraih tas yang biasa kupakai. Aku pun segera menggendong Dania dan keluar untuk menuju alamat rumah sakit yang sudah Kak Elin kirim melalui pesan.
Aku segera naik ke dalam taksi daring yang sudah kupesan. Hatiku masih bertanya-tanya mengenai keadaan Kak Diana. Kenapa aku tidak merasa curiga sebelumnya jika Kak Diana sakit. Saat dia akan pergi memang kulihat dia sedang kurang sehat. Tapi aku tidah menaruh curiga padanya. Semoga dia baik-baik saja dan tidak terjadi apa-apa.
Taksi yang kunaiki tiba di rumah sakit tujuanku. Aku bergegas tanya pada suster di mana kakakku dirawat setelah membayar taksi. Aku pun masuk ke dalam rumah sakit itu untuk menuju ruang perawatan kakakku.
"Kak Elin," panggilku pada Kak Elin yang sedang gelisah di depan ruang intensif.