Aku menatapi ruangan yang kupijak saat ini. Rumah ini milik orang tuaku yang mereka tinggalkan. Aku sudah membersihkannya sejak kemarin. Setidaknya, tempat ini layak untuk kuhuni bersama Dania. Rumah, mobil, dan semua harta milik Kak Diana sudah dijual untuk menutupi hutang Kak Diana. Hanya tersisa sedikit dari hasil penjualan semua aset milik Kak Diana. Aku terpaksa melakukannya karena hutang Kak Diana menumpuk untuk membayar pengobatannya selama ini. Hanya ini jalan satu-satunya untuk melunasi semua hutang Kak Diana.
Sampai sekarang pun aku masih belum tahu siapa ayah kandung Dania. Kak Diana tak pernah menceritakan identitas suaminya padaku. Yang kutahu, Kak Diana sudah bercerai dengan suaminya.
"Bunda."
Aku terkesiap, menoleh ke sumber suara. Senyum kuukir ketika menatap Dania yang sudah terbangun dari tidurnya. Aku menghampirinya. "Anak Bunda sudah bangun." Aku meraih tubuhnya, memangkunya.
"Nia mau ketemu Mami." Dania merajuk.
"Hari ini Dania mau ke sekolah, 'kan? Dania mandi dulu, ya. Atau mau sarapan dulu? Nanti habis dari sekolahan yang baru Bunda ajak jalan-jalan ke mal. Dania mau apa?" Aku mengalihkan topik permintaan Dania.
"Dania nggak mau sekolah. Dania nggak mau mandi. Dania nggak mau makan. Dania mau ketemu sama Mami." Dania masih merajuk.
"Bunda janji akan ajak Dania ketemu Mami, tapi Dania mandi dan makan dulu. Insya Allah, lusa Bunda ajak ketemu Mami." Aku berjanji.
"Janji?" Dania mengulurkan jari kelingkingnya.
Aku pun menautkan jari kelingkingku. "Janji."
Dania tersenyum. "Dania mau makan nasi goreng seperti buatan Mami. Dania nggak mau pakai telor sama sosis."
"Sayang. Bunda belum belanja. Adanya telor sama sosis. Kita sarapan pakai itu saja dulu, ya. Besok kita sarapan pakai nasi goreng seperti yang dibuat Mami."
Dania mengangguk dengan raut sedih.
Maafkan Bunda, Dania. Bunda belum bisa memberikan yang terbaik seperti Kak Diana. Tapi Bunda yakin, Bunda akan kasih kamu yang terbaik. Hanya Bunda yang kamu miliki saat ini.
***
Aku dan Dania tiba di sebuah mal terkenal di kota ini. Niatku mengajaknya ke tempat ini untuk membeli peralatan sekolah Dania. Aku sengaja memindahkan sekolah Dania dari sekolah lamanya ke sekolah yang dekat dengan tempat tinggal kami sekarang. Ada alasan lain kenapa aku memindahkan sekolah Dania. Yang pertama karena biaya. Kak Diana memang memberikan pendidikan terbaik untuk Dania, tapi aku tidak sanggup jika aku harus meniru kehidupan Kak Diana.
"Bunda, Dania mau boneka itu." Dania menunjuk boneka besar di salah satu etalase toko.
"Sayang, kita beli buku dulu, ya. Nanti kalau Bunda ada uang lebih kita beli boneka itu." Aku menasehatinya.
"Tapi Nia mau boneka itu. Coba saja ada Mami, pasti Mami beliin boneka itu buat Dania."
Mataku seketika berkaca. Kak Diana benar-benar mencukupi kebutuhan Dania. Aku segera mengusap air mata yang hampir jatuh di pipi. "Kita beli es krim saja, yuk? Dania mau es krim rasa apa?" Aku mengalihkan.
"Tapi Bunda janji ya, nanti beliin boneka itu."
"Iya. Insya Allah, nanti Bunda belikan kalau sudah ada rezeki."
Dania mengangguk. Aku mengajaknya menuju kedai es krim.
"Dania duduk di sini. Jangan ke mana-mana. Bunda mau pesan es krim dulu di sana." Aku menunjuk ke pelayan es krim yang sedang bekerja.
"Iya, Bunda." Dania menurut.
Aku mengusap kepala Dania, lalu bergegas meninggalkannya untuk memesan es krim yang kami inginkan. Aku segera memesan dua cup es krim kesukaanku dan kesukan Dania. Sesekali aku menoleh ke arah Dania. Kulihat seorang laki-laki mendekati Dania dengan membawa boneka yang Dania inginkan.
"Mas, bisa cepat nggak?" kataku pada pelayan.
"Sebentar, Mbak," kata pelayan itu.
"Bisa nanti antarkan ke meja itu?" Aku menunjuk ke arah Dania.
"Baik, Mbak." Pelayan itu mengangguk.
Aku bergegas meninggalkan pelayan itu untuk memastikan keadaan Dania.
"Maaf, Anda siapa?" kataku pada laki-laki yang ada bersama Dania.
Laki-laki itu menoleh. "Oh, maaf. Perkenalkan, saya Damian. Tadi saya lihat Dania menginginkan boneka ni. Saya hanya ingin berbagi dengan Dania," tukasnya.
"Tapi saya tidak kenal dengan Anda." Aku mendekati Dania.
"Tapi Om Damian baik Bunda." Dania membuka suara.
"Tapi kita tidak kenal dengan dia, Dania. Danita tidak boleh sembarangan menerima pemberian dari orang lain." Aku menasehati Dania dengan nada pelan.
"Saya tidak memiliki maksud lain memberikan boneka itu pada Dania. Saya hanya merasa empati saja pada Dania. Saya teringat dengan keponakan saya yang hilang entah di mana. Usianya persis dengan Dania." Laki-laki bernama Damian itu kembali bekata.
"Maaf ini pesanannya." Seorang pelayan menghampiri kami sambil membawa pesananku.
"Makasih, Mas," kataku pada pelayan itu.
Setelah kepergian pelayan, aku dan Dania duduk.
"Apa aku boleh duduk di sini?" pinta laki-laki itu.
Aku hanya mengangguk. Aku tidak mungkin menolaknya. Dia sudah baik pada Dania.
"Bunda. Om Damian baik, loh. Katanya Om Damian juga punya keponakan seperti Dania. Tapi Om Damian nggak tahu keponakannya di mana."
Aku menoleh ke arah Dania. "Iya, Sayang." Aku membersihkan sudut bibir Dania yang terkena es krim.
"Apa Dania mau nambah lagi es krimnya?" Damian menawarkan.