Aku masih memikirkan antara ikut ke Bali ikut Dania dan Jordan, atau tetap di sini melanjutkan kehidupanku tanpa Dania. Jika aku ikut ke Bali, bagaimana dengan pekerjaan dan hutang-hutangku dengan butik? Jika aku tak ikut, bagaimana dengan Dania di sana? Aku masih belum percaya pada Jordan dan Damian sepenuhnya. Tapi bukti-bukti itu dan penelusuranku di media sosial tentang mereka menguatkanku. Aku yakin jika Dania ikut dengan Jordan masa depan dia akan lebih baik. Dan keputusanku adalah, aku tidak ikut ke Bali. Aku akan tetap di Jakarta untuk melanjutkan hidupku. Dania sudah bertemu dengan ayahnya. Semoga dia bahagia dengan kehidupannya bersama sang ayah.
Aku memasuki rumah. Kurapikan semua keperluan Dania yang akan dibawa. Semua sudah kusiapkan dan tinggal memasukannya ke dalam tas. Aku tinggal menunggu Jordan datang. Dia sudah mengabariku jika akan menjemput Dania pagi ini.
Aku mengalihkan perhatian ketika mendengar ketukan pintu. Aku bergegas menuju pintu utama karena kuyakin itu Jordan. Aku membuka pintu.
"Selamat pagi," sapanya ketika aku sudah membuka pintu.
Aku tersenyum. "Tunggu sebentar. Aku sudah menyiapkan keperluan Dania." Aku akan berlalu masuk.
"Tunggu!"
Langkahku terhenti. Aku membalikan tubuh.
"Aku ingin bicara denganmu sebentar," tukasnya.
Aku berjalan menghampirinya, lalu duduk tak jauh darinya.
"Kamu yakin tak ingin ikut aku dan Dania ke Bali?" Jordan memastikan.
"Iya." Aku tersenyum hambar.
"Apa alasanmu tidak mau ikut denganku dan Dania?" tanyanya lagi.
"Aku tidak bisa menjelaskan alasan itu pada Anda. Aku percaya dengan Anda. Aku yakin, Dania akan bahagia bersama ayahnya." Aku mantap dengan keputusanku.
"Apa kamu ada masalah di sini?"
Aku menggeleng. "Aku akan baik-baik saja di sini. Jika Dania ingin bertemu denganku sedangkan aku tidak bisa ke Bali, Anda bisa datang ke tempat kerjaku. Ini alamat butik tempat kerjaku." Aku menyodorkan kartu nama atas nama butik tempatku bekerja.
Jordan menerima kartu nama yang kuberikan. "Baiklah. Aku tidak bisa memaksamu." Jordan memasukkan kartu nama itu di saku, lalu ia meraih sesuatu dari balik jasnya. "Ini untukmu." Amplop coklat ia sodorkan padaku.
"Apa ini?" tanyaku tak mengerti.
"Anggap saja ini rasa terima kasihku karena kamu sudah merawat putriku dan mengajarkannya banyak hal. Aku berterima kasih banyak padamu karena sudah percaya padaku. Sabrina-, maksudku Diana. Dia tak sepertimu. Dia keras kepala dan tidak mudah percaya pada orang lain."
"Aku ikhlas merawat Dania. Aku tidak berhak menerima uang ini. Mengenai Kak Diana, dia memang seperti itu. Mungkin dia trauma." Aku kembali tersenyum.
"Tolong, terimalah." Jordan membujuk.
"Maaf aku tidak bisa." Aku masih menolak. "Akan kuambil yang akan Dania bawa." Aku beranjak dari tempat dudukku. Aku pun masuk ke dalam.
Kuraih semua keperluan Dania. Pakaian kesukaan Dania, mainan, boneka, dan semua yang Dania sukai kukemas dan akan mereka bawa ke Bali. Semoga Dania betah di sana. Setelah selesai mengemas, aku keluar sambil menarik dua koper.
"Ini semua barang kesayangan Dania." Aku meletakkan dua koper berisi keperluan Dania di depannya.
"Masih ada lagi?" tanya Jordan.
"Masih. Tinggal satu koper dan beberapa boneka kesayangan dia." Aku membalas.
"Apa butuh bantuan? Biar kusuruh Alex membantumu." Dia menawarkan.
Aku menggeleng. "Tidak perlu. Aku masih bisa sendiri." Aku kembali masuk ke dalam.
Semua barang-barang kesukaan Dania sudah ku keluarkan. Jordan pun sudah memasukannya ke dalam mobil.
"Dania sudah dijemput Damian. Kita akan langsung ke Bali. Aku tunggu kamu di sana. Dania pasti akan mencarimu." Jordan berpamitan padaku.
"Doakan saja semoga aku bisa menjenguk Dania di sana. Bilang saja padanya jika aku sedang sibuk kerja," kataku.
"Aku pamit. Jaga dirimu baik-baik. Jika kamu perlu apa-apa, segera hubungi aku." Dia menatapku.
Aku mengangguk.
Jordan pun berlalu dari hadapanku. Aku hanya menatap kepergian mobilnya dari halaman rumah ini.
Dania. Maafkan Bunda, Nak. Maaf jika Bunda tidak bisa ikut bersamamu. Semoga kamu betah di sana.
***
Dua minggu kulalui tanpa Dania. Hidupku terasa hampa tanpa adanya Dania dan Kak Diana. Aku pun masih belum berniat untuk mencari pendamping hidup.
"Sabrina. Ada orang ingin bertemu denganmu."
Aku menoleh ke sumber suara.
"Tamu?" tanyaku pada Rio, temanku di butik ini.
"Bukan. Dia laki-laki. Apa dia calonmu?" tanya Rio.
Aku tersenyum lebar. "Aku belum punya calon." Aku berlalu dari hadapan Rio.
"Lalu kenapa kamu menolakku?" Dia menggodaku.
"Jangan bercanda Rio. Aku ke depan dulu sekalian pulang. Bye." Aku melambaikan tangan pada Rio.
Rio sering mengatakan hal itu padaku. Aku tahu dia suka padaku, tapi ada wanita lain yang menyukainya dan dia adalah teman kita.
Langkahku terhenti ketika aku mengenali sosok yang kini berdiri tak jauh dariku.
"Mas. Itu Mbak Ana." Salah satu karyawati butik berkata pada Damian.
Ya. Damian yang mencariku. Aku segera menghampirinya. Ada apa Damian mencariku? Apa ada masalah dengan Dania? Semoga Dania baik-baik saja.
"Ikut denganku." Damian menarik tanganku.
Aku menghempaskan tangan Damian. "Ada apa ini?" tanyaku.
"Ikut denganku ke Bali sekarang!" Damian membentakku.
"Bisakah pelankan suaramu?" dengusku. Cekalannya menimbulkan rasa nyeri pada lenganku.
"Dania-"
"Ada apa dengan Dania?" tanyaku memotong.
"Dania sedang dirawat di rumah sakit. Sejak pagi dia memanggil namamu." Dia mengungkapkan.
Mataku sontak membulat. "Dania sakit? Dia sakit apa? Apa dia merindukanku? Apa dia-"
"Cepat ikut aku." Damian berlalu dari hadapanku menuju pintu keluar.
"Bagaimana dengan pekerjaanku, Damian?" Aku mengikuti Damian.
Damian mengentikan langkahnya. Aku pun tak sengaja menabraknya. Kusentuh keningku karena refleks.
Damian membalikkan tubuh. Aku menatapnya. Dia menatapku tajam.