Aku menatapi bangunan yang ada di depanku saat ini. Setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, hari ini Dania sudah dibolehkan pulang. Saat ini aku sudah tiba halaman rumah milik Jordan. Aku merasa kagum dengan halaman rumahnya. Sangat luas. Aku pun merasa penasaran dengan isi rumahnya.
"Bunda. Dania nggak mau pulang ke rumah Ayah. Dania mau pulang ke rumah Bunda. Dania nggak mau di sini." Dania merengek padaku. Sejak di rumah sakit, dia sudah berkata seperti itu. Kini kata-kata itu kembali kudengar.
Aku mengulas senyum padanya. "Ada Bunda di sini, Sayang. Bunda akan jaga Dania. Kalau Ayah marah-marah, nanti Bunda akan hukum Ayah. Gimana?" Aku membujuk Dania.
"Beneran?" Dania menatapku.
Aku mengangguk antusias.
Aku menggendong tubuh Dania. Kami pun masuk ke dalam rumah Jordan. Aku takjub melihat interior rumahnya.
"Letakkan koper Dania di kamarnya. Suruh Marina merapikan pakaian Dania pada tempatnya. Pakaian Sabrina, letakkan di kamar yang sudah disiapkan untuknya."
Aku mengalihkan pandangan ke arah Jordan yang sedang memberi tugas pada Alex. Aku bergegas duduk di sofa karena tubuhku mulai terasa lelah menggendong Dania. "Dania mau langsung ke kamar atau masih mau tetap di sini sama Bunda? Bunda mau bicara dulu sama Ayah," kataku pada Dania.
"Dania mau sama Bunda saja. Dania nggak mau di kamar." Dania memeluk tubuhku erat.
Aku hanya mengangguk. Kuusap rambut Dania untuk membuatnya nyaman.
"Apa tidak lebih baik Dania istirahat saja?" Jordan menghampiri kami.
"Dania belum mau ke kamarnya. Dia masih trauma. Biarkan dia bersamaku untuk sementara ini. Ada yang ingin kubicarakan denganmu." Aku memulai obrolan serius.
"Iya. Aku mengikuti apa saja untuk kesembuhan anakku dan membuat anakku kembali seperti sebelumnya." Jordan membalas.
"Untuk tidur, biarkan Dania tidur bersamaku sampai aku membuatnya tenang. Untuk makan, aku yang akan mengatur apa saja yang akan ia makan. Untuk sekolah, kurasa Dania sudah siap." Aku mengulas.
"Baik. Saya serahkan semua urusan Dania padamu. Apa saja yang kamu butuhkan mengenai uang, cepat kabari aku. Masalah kebutuhan rumah, kamu bisa berkordinasi dengan Marina. Jika aku tidak merespon telepon, maka kamu bisa hubungi Damian atau Alex. Untuk transportasi, kamu pun bisa hubungi Alex atau sopir cadangan. Semua keperluan Dania ada di kamarnya. Kamarmu pun sudah siap. Beritahu jika ada yang kurang menurutmu." Jordan menjelaskan.
"Terima kasih." Aku tersenyum tipis dan mengangguk. Itu tanda jika aku paham.
Konsentrasiku terpecah ketika mendengar langkah seseorang. Alex dan Damian menghampiri kami.
"Pak. Ada yang ingin saya bicarakan." Alex berkata pada Jordan.
"Saya akan ke kamar." Aku beranjak dari tempat duduk. Dania sudah tertidur. Lebih baik aku membawanya ke kamar.
"Damian. Antar Sabrina ke kamarnya." Jordan menginstruksi adiknya untuk mengantarku.
"Kenapa harus aku?" Damian menolak.
Tak ada jawaban yang kudengar dari Jordan. Damian menghampiriku. Ia melangkah lebih cepat agar di depanku. Bahkan untuk menolongku pun tidak.
"Ini kamarmu." Damian berhenti di sebuah pintu warna coklat terbuat dari kayu jati.
Aku mengangguk singkat.
"Kakakku sudah menjelaskan semua yang ada di rumah ini bukan? Jadi aku tak perlu lagi jelaskan padamu."
Aku kembali mengangguk.
Damian akan berlalu, tapi aku menghentikannya, "Tunggu!" seruku.
Damian menghentikan langkahnya.
"Bisa tolong panggilkan pembantu untuk menemuiku? Aku ingin mereka membantuku mengambil pakaian Dania dan membawanya ke kamarku." Aku meminta tolong.
"Ada lagi?" tanyanya tanpa membalikkan tubuh.
"Tidak ada." Aku tersenyum getir. Dia sangat berbeda, tidak seperti ketika pertama kali kita bertemu.
Aku segera masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuh Dania di atas tempat tidur. Aku pun meraih koper berisi pakaianku yang Alex ambil dari rumahku. Sambil menunggu Dania bangun dari tidurnya, lebih baik aku mandi. Selama di rumah sakit, aku tak puas mandi karena Dania tak memberiku waktu lama untuk mandi.
Setelah mandi pun Dania belum terbangun. Aku pun menunaikan salat asar. Selama di rumah sakit, dia merengek minta pulang sedangkan dokter masih melarang untuk pulang karena hasil medis belum menunjukan titik baik. Setiap malam dia bangun dan meminta pulang. Aku berusaha membujuknya agar bertahan sampai kakinya membaik.
"Bunda."
Aku menoleh. Kulihat Dania beranjak duduk. Aku menutup lemari setelah meletakkan pakaianku ke dalam sana. "Iya, Sayang." Aku menghampirinya.
"Kita di mana?" tanyanya. Dania menatap isi kamar ini.
"Kita di kamar Bunda. Eum ... lebih tepatnya kamar kita." Aku meralat.
"Di rumah Bunda?" Dania menatapku.
"Bukan. Masih di rumah Ayah." Aku tersenyum.
Ekspresi wajah Dania berubah murung. Aku memahami jika dia masih takut tinggal di sini. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya mendengar kejadiannya dari Jordan. Apa kejadian itu sangat parah sehingga membuat Dania merasa takut seperti ini? Tidak biasanya Dania merasa takut seperti ini dan merasa tertekan.
"Kapan Dania ketemu Mami lagi, Bunda?"
Aku menatap Dania. Aku lupa, Dania belum mengetahui jika Kak Diana meninggal. Terakhir, Dania melihat Kak Diana ketika di rumah sakit. Aku selalu mengatakan padanya jika Kak Diana sakit. Seketika mataku berkaca.
"Bunda kenapa diam terus?"
"Nanti, ya. Dania sekarang mandi. Habis itu Dania makan. Dania mau makan pakai apa?" Aku mengalihkan obrolan.
"Dania mau makan nasi goreng pakai sosis sama telor."
"Okey. Sekarang Dania mandi." Aku membantu Dania membuka pakaian.
Sudah lama Dania tidak mandi. Selama di rumah sakit, dia hanya dilap saja. Aku pun menggendong Dania dan memandikannya di kamar mandi.