Aku bersyukur karena telah mengembalikan rasa percaya Dania pada ayahnya. Memang sulit, tapi bagiku itu tidak masalah. Dania memang tidak mudah dekat dengan siapa pun. Bahkan dekat denganku butuh kesabaran penuh. Aku meminta Jordan agar sabar menghadapi Dania. Seperti yang sudah kukatakan padanya, Dania tidak mau dipaksa apalagi dikasari. Dia lebih mudah dibujuk dengan kelembutan.
"Sedang memikirkan apa?"
Aku terkesiap, menoleh ke sumber suara. Senyum kuukir. "Nggak mikir apa-apa."
"Kekasih?" tebaknya.
Aku mengerutkan dahi. Senyum lebar pun kusungging.
"Apa ucapanku salah?" Jordan pun ikut menatap taman yang sedang kutatap.
"Aku tidak pernah memiliki kekasih. Bagiku itu hanya buang-buang waktu." Aku menanggapinya.
"Aku berterima kasih banyak padamu telah membantuku merawat Dania. Sebagai gantinya, aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan. Kamu mau apa? Kuliah? Kursus? Buka usaha?" Jordan menawariku.
Aku menatapnya. "Aku nggak butuh apa-apa. Saat ini yang kupikirkan adalah Dania. Merawat amanah dari kakakku. Bagiku itu sudah cukup."
"Sabrina. Kamu punya masa depan. Kamu harus ada penghasilan untuk masa depanmu. Untuk persiapan masa depanmu. Aku akan memberimu uang untuk keperluanmu jika kamu ingin beli sesuatu. Kamu pasti memerlukan uang. Aku harap kamu mau menerima uang dariku." Jordan meraih sesuatu dari sakunya dan menyodorkannya padaku.
"Aku bisa tinggal di sini saja sudah bersyukur. Aku ikhlas merawat Dania. Aku nggak mau menerima sesuatu yang bukan hakku." Aku menolak.
"Tapi ini hadiah untukmu. Bukan gaji."
"Aku mengerti. Tapi aku belum membutuhkannya." Aku masih berusaha menolak.
"Bunda!!! Bunda!!!"
Aku bergegas dari tempat dudukku ketika mendengar teriakan Dania. Nadanya seperti takut. "Ada apa, Marina?" tanyaku pada Marina yang sudah berada di kamar Dania.
"Saya juga nggak tau, Mbak. Tiba-tiba saja Dania menangis pas bangun tidur," kata Marina.
Aku masuk ke dalam kamar Dania. Kupeluk tubuhnya dan kupangku. Kubelai kepalanya agar dia tenang.
"Ada apa dengan Dania?" tanya Jordan ketika tiba di kamar Dania.
Aku menggeleng.
"Apa terjadi sesuatu dengan Dania?" tanya Jordan pada Marina.
"Nggak, Tuan. Sepertinya Nona Dania habis mimpi." Marina menimpali.
"Dania mimpi?" tanyaku pada Dania dengan nada pelan.
Dania mengangguk.
"Dania mimpi apa? Cerita sama Bunda." Aku membujuk.
"Tadi Nia mimpi Mami. Mami mukanya seram. Nia takut sama Mami." Dania membenamkan wajahnya di dadaku.
Aku menatap Jordan.
"Kamu keluar," perintah Jordan pada Marina.
Marina pun berlalu dari kamar ini.
"Apa tidak sebaiknya Dania tau?" tanyaku pada Jordan.
"Aku belum siap jika dia tau sekarang. Akan kuatur waktu untuk menziarahi makamnya. Sudah waktunya dia harus tahu tentang ibunya."
Aku mengangguk.
Sampai kapan kita akan menyembunyikan hal ini pada Dania teru? Kasihan dia jika kita menutupi tentang kematian Kak Diana.
***
"Pagi, Ayah. Pagi, Om Damian." Dania menyapa ayah dan omnya.
"Pagi kesayangan Papa." Jordan mengecup pipi Dania.
Tidak biasanya Damian pagi-pagi seperti ini ada di ruang makan.
"Om Damian tumben pagi-pagi sudah bangun?" tanya Dania. Dania mewakili pertanyaan hatiku.
"Uhuk." Damian seperti tersedak.
"Om Damian akan mengantar Dania ke sekolah. Om Damian juga akan menjemput Dania." Jordan memulai obrolan.
Aku hanya mendengar obrolan mereka sambil mengoles selai pada roti untuk Dania.
"Om Alex ke mana?" tanya Dania.
"Om Alex mau antar Ayah ke dokter." Jordan menyahuti.
"Ayah sakit?" Dania menatap Ayahnya.
"Dania makan rotinya, ya. Jangan lupa baca doa." Aku mengingatkan Dania sambil mengalihkan obrolan.
Dia belum waktunya tahu mengenai sakit yang diderita ayahnya. Aku pun masih belum tahu tentang sakit yang diderita Jordan sehingga dia masih menggunakan kursi roda.
"Om tunggu di mobil. Jangan lama-lama." Damian mengakhiri sarapannya dan berlalu dari ruang makan.
"Ayo, Dania habiskan sarapannya. Bunda mau ambil tas Dania dulu di kamar." Aku pun beranjak dari ruang makan.
Setelah meraih tas Dania, aku pun segera keluar rumah untuk memasuki mobil. Dania sudah berada di dalam mobil bersama Damian.
"Jangan bawa mobil dengan kecepatan tinggi. Kamu membawa Dania dan Sabrina." Jordan mengingatkan Damian.
Damian hanya cuek.
"Kami berangkat dulu, Kak." Aku berpamitan.