Sejak kejadian beberapa hari yang lalu, aku sengaja tidak berinteraksi dengan Damian. Dia sepertinya sudah tahu peristiwa malam itu. Entah dia ingat atau diingatkan oleh Jordan, aku tak tahu. Damian pun seperti menjaga jarak denganku. Aku kini lebih hati-hati dengannya.
Aku masuk ke dalam ruang setrika untuk mencari pakaianku yang belum Ira setrika. Aku pun segera menyetrika pakaianku setelah aku menemukannya. Aku menoleh ketika mendengar sebuah deheman. Aku tak mengangkat kepala. Sudah kupastikan itu Damian. Bisa kulihat dari sepatu yang ia kenakan. Aku masih sibuk pada setrikaan. Damian meletakkan pakaiannya di dalam keranjang pakaian. Setelah itu dia pun pergi.
Apa Damian ingin kemejanya disetrika? Ira sedang sibuk di dapur. Apa lebih baik aku setrika saja kemeja Damian.
Aku pun mulai menyetrika kemeja Damian. Aku ingin meringankan pekerjaan Ira. Kasihan dia jika harus mengerjakan banyak tugas sedangkan dia pasti lelah.
Aku melangkah keluar setelah selesai menyetrika pakaianku dan pakaian Damian. Aku pun masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian. Setelah mengganti pakaian, aku berjalan menghampiri Dania yang sedang sarapan bersama ayahynya. Aku mendengar Damian marah-marah dari arah dapur. Apa Marina atau Ira membuat kesalahan?
"Ada apa?" tanya Jordan padaku.
"Aku kurang tau." Aku pun berjalan menuju dapur.
"Aku memberikan pekerjaan itu pada kalian, bukan pada Sabrina!!!" bentak Damian pada Ira.
"Ada apa dengan aku?" Aku memotong.
"Jika itu bukan pekerjaanmu, jangan lakukan apa pun yang bukan pekerjaanmu!" Damian menatapku garang. Tangannya menggenggam kemeja yang sudah kusetrika. Aku mulai paham alur ini.
"Aku hanya membantu mereka. Aku tahu mereka sudah lelah bekerja, maka dari itu aku membantunya menyetrika kemejamu. Apa kemejamu rusak? Apa aku salah menyetrika? Jika ada kesalahan, seharusnya kamu menegur aku, bukan mereka." Aku menanggapi.
"Kamu bukan siapa-siapa di sini, jadi jangan ikut campur dan jangan menyentuh apa pun di wilayah yang seharusnya tidak kamu sentuh!"
"Damian! Jaga ucapanmu!" Jordan angkat suara.
"Aku minta maaf. Aku memang tidak berhak di dalam rumah ini. Tapi jangan memarahi mereka jika kesalahan itu terjadi dari aku."
"Setrika ulang!!!" Damian melempar kemeja yang ada di tangannya ke atas meja. Setelah mengatakan hal itu, Damian pun pergi meninggalkan dapur.
Aku menghela napas sabar.
"Kalian nggak apa-apa?" tanyaku pada Ira dan Marina.
Mereka menggeleng.
"Aku minta maaf atas nama Damian jika dia telah berkata kasar pada kalian. Aku nggak tau kalau kejadiannya akan seperti ini." Aku mewakili permintaan maaf dengan nada penyesalan. Aku memang menyesal telah ikut campur dalam rumah ini.
"Tidak, Sabrina. Aku yang harusnya mewakili Damian memintaan maaf pada kalian. Aku bertanggung jawab atas kalian semua." Jordan menimpali.
"Kalian lanjutkan saja pekerjaannya. Bekerjalah seperti biasa. Dan anggap tadi hanya kejadian kecil," kataku pada Ira dan Marina.
Ira meraih kemeja Damian, lalu pamit untuk menyetrika pakaian Damian. Marina pun kembali bekerja di dapur. Aku dan Jordan menuju ruang makan untuk memastikan Dania. Ini terakhir kalinya aku mengerjakan pekerjaan rumah ini yang menyangkut Damian.
***
Semakin hari, Dania sudah bisa beradaptasi dengan rumah, sekolahan, dan teman-teman. Aku senang melihat perkembangannya. Dia kini sudah pandai beberapa hal dalam usianya. Dia mulai mau di tinggal. Sudah mau segala hal sendiri. Dia pun sudah mulai tidur dengan ayahnya.
"Bunda!"
Aku terkesiap ketika Dania menegurku. "Dania sudah selesai?" tanyaku.
"Belum. Itu mainan Dania jatuh di kolam sana." Dania menunjuk kolam.
Aku beranjak dari tempat duduk untuk mengambil mainan Dania. Hari ini hanya ada beberapa anak-anak yang belajar berenang. Satu guru menangani dua sampai tiga anak dalam sekali pertemuan. Di sini hanya ada dua kolam. Satu untuk anak-anak. Yang luas untuk orang dewasa.
Aku pun berusaha mengambil mainan Dania. Aku takut terjatuh ke kolam karena aku tidak membawa pakaian ganti. Lebih tepatnya aku takut karena tidak bisa berenang. Syukurlah, mainan Dania sudah kuambil. Tiba-tiba ada anak-anak lari di tengah-tengah antara aku dan Dania sehingga membuat aku tak bisa seimbang mengakibatkan aku terjerembab masuk ke dalam kolam dewasa. Aku berusaha naik ke atas permukaan, tapi sangat susah. Air pun masuk ke dalam hidungku. Aku masih terus berusaha agar naik ke atas permukaan.
"TOLOONGG!!!" Hanya kalimat itu yang ada dalam pikiranku ketika aku berhasil naik ke atas permukaan. Aku kembali tenggelam. Beberapa kali aku meminta tolong ketika naik ke atas permukaan.
Kudengar seseorang masuk ke dalam kolam ini dan menarik tubuhku. Dia membawaku naik dan menarikku. Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya ketika sudah berada di tepi kolam. Napasku naik turun. Hidungku terasa sakit.
"Di mana Dania?" tanyaku.
"Bunda." Dania memelukku.
Aku pun memeluk Dania erat. Aku khawatir padanya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya orang yang menolongku.
Aku menatapnya, lalu menggeleng.
"Apa dadamu sesak?" Dia kembali bertanya.
Aku hanya mengangguk.
"Aku akan memukul punggungmu agar air yang masuk ke dalam tubuhmu keluar. Kamu tahan. Tidak sakit." Dia beranjak dari hadapanku.
Aku hanya diam. Dania duduk di sampingku.
"Kamu siap-siap. Satu, dua, tiga." Dia memukul punggungku.
Air pun keluar dari mulutku. Aku bernapas lega karena dadaku terasa lebih ringan.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Cukup." Aku mengangkat tangan.
"Lain kali hati-hati." Dia tersenyum padaku.
"Terima kasih banyak." Aku menunduk.
Dia mengangguk dan setelah itu berlalu pergi. Aku pun beranjak menuju kamar ganti bersama Dania. Aku takut Dania kedinginan karena terlalu lama bermain air. Setelah mengganti pakaian Dania, aku dan Dania pun keluar dari area kolam renang. Aku terpaksa memakai kembali pakaianku karena aku tidak membawa pakaian ganti. Aku pun menunggu Alex di tempat biasa.
Tidak seperti biasanya Alex belum sampai. Biasanya, dia sudah menungguku sebelum aku dan Dania keluar dari area kolam renang. Sudah sepuluh menit aku menunggunya, tapi Alex belum sampai.
"Bunda. Kok Om Alex nggak sampai-sampai?" tanya Dania.
"Bunda juga nggak tau Sayang. Bunda coba telepon Om Alex, ya." Aku meraih ponsel untuk menghubungi Alex.
"Iya, Mbak." Alex menyapaku.
"Kamu di mana, Lex?" tanyaku.
"Maaf, Mbak. Mobil Tuan mogok. Saya akan suruh orang kantor untuk jemput Mbak dan Nona Dania."
"Nggak usah, Lex. Aku bisa naik taksi." Aku menolak. Karena akan lama jika menunggu orang kantor sedangkan aku sudah kedinginan.
Panggilan terputus. Aku menatap ponselku. Aku menghela napas karena baterai ponselku habis. Aku pun terpaksa naik taksi karena tidak ada jalan lain.
"Dania. Kita naik taksi, ya. Mobil Ayah mogok, jadi Om Alex nggak bisa jemput kita," kataku pada Dania.
Dania mengangguk.