Belum sempat Gus Toif mendarat, Bening kembali tersadar akan tugasnya hari ini. Ia bergegas mohon diri pada Bu Nyai Rukayah dan Ning Zil. Setengah panik ia berjalan tergesa ke ruangan VIP dan mencoba lagi menghubungi nomor kantor atau Dito. Namun, ah, sial! baterai ponselnya mati total. Ruang VIP telah benar-benar sepi siang itu, takada lagi daftar tamu yang akan tiba. Akhirnya dengan segala kepasrahan, ia kembali ke kantor.
"Bening, haduh! Saya gak ngerti, kok, bisa datanya ketuker, sih?" Pak Bowo langsung menyambut Bening dengan nada kecewa. Gadis itu melirik Dito yang sedari tadi hanya menunduk.
"Kamu juga Dito, kok, bisa kasih data yang salah? Kan, sudah saya update?" lanjut Pak Bowo memburu Dito.
"Maaf, Pak. Saya yang tidak teliti, tadi pagi buru-buru tidak cek ulang." Akhirnya Bening berucap. Pak Bowo menghembuskan napas pendek dan keras.
"Ketahuilah, perusahaan Pratama Corporation ini sudah lama kerjasama dengan kantor kita. Bisa dibayangkan jika mereka kecewa lalu memutuskan untuk tidak lagi memperpanjang kerjasamanya. Kita bisa kehilangan pelanggan yang pemasukannya bisa mencapai 30% hanya dari mereka setiap bulannya." Pak Bowo terdengar ngos-ngosan. Menyayangkan kejadian siang ini.
"Beruntungnya yang mewakili perusahaan saat ini adalah putranya. Coba, kalau masih dipegang ayahnya, bisa habis kita." Lelaki berkaca mata itu mengurut dahi.
"Please guys, usahakan jangan sampai terulang lagi kejadian ini. Dan ini verbal warning untuk kalian berdua." Kemudian Pak Bowo mempersilahkan Bening dan Dito kembali ke meja kerja masing-masing.
Bening dan Dito masih saling berdiam diri di kubikel masing-masing. Gugup masih jelas terlihat dari gerak-gerik Bening.
"Sori, ya, Dit. Gara-gara aku, kamu jadi kena." Bening benar-benar menyesali kecerobohannya.
"Udahlah, Ning. Udah terjadi, mau diapakan lagi. Lagian, kan, dari kemarin informasinya ganti-ganti terus. Jadi bikin bingung." Dito mencoba menenangkan Bening.
"Itu map yang di atas meja Danang, tadinya mau aku buang. Eh, lupa." Dito menepok jidatnya.
"Mang, ada apaan, Dit, Ning?" Danang yang baru masuk ruang kerja mencuri dengar dan berbaur.
"Pratama Corporation, Nang." Dito pun menjelaskan apa yang terjadi dari awal. Mereka bertiga segera membenahi posisi duduk ke tempat masing-masing saat Pak Bowo keluar ruangannya dan melintasi meja karyawan.
"Saya pulang dulu. Bening, minta tolong data entry harus segera selesai hari ini, ya. Karena harus di input per tanggal kedatangan dan keberangkatan." Sang manajer mengingatkan Bening.
"Baik, Pak." Hati Bening dag dig dug, apakah ia akan bisa menyelesaikan tugasnya sebelum magrib tiba? Atau akan lembur, sementara ia sudah berjanji pada Ning Zil untuk datang di acara Syukuran Gus Toif malam ini.
***
Percayalah bahwa tidak ada yang baik-baik saja saat kehilangan, terlebih hilangnya tanpa jejak. Tak satupun kata. Menghilang begitu saja. Hanya jejak kerinduan yang makin lama bertumbuh subur. Tak terkikis sedikitpun meski tak pernah ada kabar. Selekat itu. Bening hanya berusaha menyembunyikan semua di balik jeruji hatinya.
Meski terkadang lelah menyerang. Bukan karena rasa yang berkurang, tetapi tak pernah ada jawaban dari doa-doa panjangnya tentang Senja. Mungkin saat ini lelaki itu masih menikmati masa bahagia atas apa yang ia putuskan. Tanpa ia sadari ada hati yang selalu menunggunya dalam kosong.
"Cinta gak boleh mengalahkan logika, Bening." Suara Evi kembali bergema di telinga Bening.
"Tapi sulit banget ngelupain dia, Vi."
"Gue ngerti, tapi apa iya, lu mau bertahan dengan sikap egoisnya?" Evi membetulkan posisi duduknya. Hanya pada Evi, Bening mencurahkan segala isi hatinya tentang Senja.
Gaya bicara Evi tetap tidak berubah ketika berhadapan dengan Bening, meski saat ini ia telah berstatus sebagai seorang istri Gus Qirom. Mereka mencuri waktu bicara berdua di akhir acara syukuran Gus Toif. Kebetulan Gus Qirom tengah asik menyambung kerinduan pada kakak sepupunya itu. Sedangkan Ning Zil masih hilir mudik beramah-tamah pada tamu pondok yang hadir.
Berpisah dan melupakan adalah kata kerja klise tetapi mempengaruhi suasana kebatinan. Batin Bening berbisik nyeri.
"Kangen Abah, ya!" Tiba-tiba Ning Zil muncul dan bergabung dengan dua wanita yang tengah bercengkrama itu. Ketiganya saling bertatap satu sama lain. Suasana haru sangat kuat menyeruak ketika Ning Zil mengingatkan tentang Abah Yai Hamid yang telah berpulang tiga tahun lalu.
"Makasih, ya, udah pada dateng. Bening dan Bu Nyai Qirom." Gurau Ning Zil menyebut julukan baru Evi. Bening yang mendengar itupun sangat bahagia dan ikut menggoda sahabatnya. Tawa mereka pecah, seolah area pondok ini taman milik bertiga, sampai tak sadar seseorang memperhatikan dari jauh.
"Bening, nanti pulangnya diantar Toif saja." Bu Nyai Rukayah menghentikan tawa mereka. Spontan Bening melirik ke arah lelaki yang tengah berdiri di samping Bu Nyai. Lelaki itu kontan mengerjapkan tatapannya, mengalihkan ke arah lain.
"Loh, emang boleh, Mi?" tanya Ning Zil polos.