Lari dari apa yang menyakitimu, akan semakin menyakitimu. Jangan lari, terlukalah sampai kamu sembuh.
_Maulana Jalaluddin Rumi_
Situasi itulah yang tengah Senja rasakan. Sakit dan terluka. Terlalu lama menahan rindu dan memendamnya sendirian. Namun, kekuatan logikanya selalu dapat menyingirkan perasaannya. Tanpa disadari hatinyalah yang ia abaikan.
"Ah, mungkin aku masih terbawa suasana Jogja, makanya perasaan itu datang lagi." Pria itu membatin. Memandangi langit Balikpapan dari balik jendela kamarnya. Mendung tampak menggantung sore ini. Padahal pagi tadi masih cerah saat ia bermain golf.
Kamar ini seakan menyerapnya dalam kesendirian, setelah tawa dan obrolan hangat dengan relasi, rekan bisnis atau orang terdekatnya. Hanya di kamar ini ia bisa menunjukkan sebenar-benar dirinya, tanpa seorang pun tahu yang ia pikirkan bahkan rasakan.
Jalinan air dan bumi, semakin merapat hingga tak ada celah untuk tak membasahi setiap benda yang terusap. Hadirnya selalu mampu memaksa Senja mengingat jejak lapuk yang kusut namun sulit untuk surut. Selalu ia nikmati meski pahit, selalu nagih seperti kopi dalam gelas gelatik yang ia genggam. Bersama tegukan dari bibirnya mengalir rindu, menyesap hingga ke hati.
"Senja, hujan." Bibir itu bergetar menahan dingin. Ia melipat tangan di depan dada seraya mendekap jaket yang terlihat lebih besar dari ukuran badannya.
"Kita tunggu sebentar di sini, ya, sampai reda. Soalnya aku gak sedia jas hujan." Senja pun bersedekap. Berdiri beberapa jarak di samping gadis berkerudung itu. Keduanya larut memandangi air hujan yang kian menderas. Bagai nyanyian alam yang selalu membawa kerinduan. Bersama aroma tanah basah, membisikkan sesuatu yang masih menggenang di ceruk hati masing-masing.
"Coba kalo Raja Hayam Wuruk tidak meminta Patih Gajah Mada untuk mempersunting Galuh Sunda Dyah Pitaloka, mungkin tidak akan pernah terjadi sejarah perang bubad." Suara Senja berkejaran dengan rintik yang masih berdenting.
Pagelaran sore ini yang mereka tonton adalah tentang cerita sejarah perang Bubad--yang Menurut cerita perang itu adalah perang antara Maha Patih Gajah Mada dan pasukan Kerajaan Sunda.
Di mana saat itu, rombongan yang membawa sang Dyah Pitaloka dari Kerajaan Sunda meminta sambutan yang meriah kepada pihak Kerajaan Majapahit.
Namun, Sang Patih meminta kepada pasukan Kerajaan Sunda untuk menyerah dan takluk di bawah kekuasaan Majapahit. Sementara pihak Kerajaan Sunda menolak intimidasi tersebut, Maka dari situlah terjadi keributan yang dikenal sebagai perang bubad.
Beriring waktu, sumber cerita itu terbantahkan. Ada sumber yang menjelaskan, jika saat itu Sang Maha Patih hanya sebagai perantara untuk mengajukan diskusi kepada tetua dari Kerajaan Sunda jika undangan tersebut bukan untuk menjadikan Dyah Pitaloka sebagai permaisuri. Kemudian yang berdiskusi dengan pihak Kerajaan Sunda adalah suami dari Bibi Sang Maha Raja.
Menurut sumber itu pula, keributan yang terjadi selanjutnya adalah karena pasukan sunda yang terbelah menjadi dua kubu. Antara yang setuju melepas Dyah Pitaloka dan yang menolak.
Tragisnya, karena kemungkinan persandingannya dengan Sang Raja ternacam batal, Maka Sang Dyah Pitaloka memutuskan bunuh diri di lapangan bubad. Saat terjadinya keributan tersebut.
Konon, sampai saat ini peristiwa itu yang membuat hubungan dua suku tidak selalu mendapat restu. Tentu saja tidak semua mempercayai mitos tersebut, hanya saja ada sebagian orang tua yang masih kuat memegang prinsip itu. Seperti yang terjadi di keluarga Senja. Sebab itulah ia tetap bungkam tentang perasaannya, meski sebetulnya jejak rasa itu ada.
"Kenapa juga Sang Patih harus menyukai Dyah Pitaloka?" Bening balik bertanya.
"Mungkin saja Sang Patih sudah mencintai Dyah Pitaloka sejak lama, hanya ia tak berani mengatakan perasaannya karena sadar posisinya."
"Salah sendiri, dia gak mencoba. Apa pun resikonya, gak ada salahnya, kan, mencoba?" Bening menoleh ke arah Senja yang tertunduk.
Lelaki itu tampak menghela napas dalam. Mungkin saja dia akan paham maksud Bening melalui analogi cerita Sang Patih. Tapi ini bukan tentang Patih Gadjah Mada. Pahamkan?
"Mungkin ... mungkin--" Senja ragu melanjutkan kata-katanya.
"Mungkin apa?" Bening menatap lama ke arah Senja. Raut lelaki itu tampak gusar.
"Mungkin setelah ia tau Sang Raja menginginkannya, ia merasa rajalah yang lebih pantas untuk gadis itu," ucap Senja lemah.
"Itu hanya mungkin, kan? Lagipula bukan salah Dyah Pitaloka jika ia pun lebih memilih Sang Raja," sergah Bening. "Atau memang Maha Patih terlalu pengecut," lanjut Bening lagi.
Lagi-lagi, yang diucapakn Bening dengan sadar itu bukan tentang Patih Gadjah Mada. Sadarlah Senja!
"Tak mungkin seorang Patih Gajah Mada memiliki sifat pengecut." kenyataannya Senja memang tak cukup peka.
Ya, memang gak mungkin!
"Orang yang tampak gagah, berwibawa, bahkan memiliki aura jantan sekalipun, jika berurusan dengan hati dan perasaan bisa mendadak jadi orang paling pengecut untuk menutupi perasaannya. Entah apa pun alasannya. Dan itu bukanlah lelaki, menurutku." Wajah Bening sedikit mengeras.
“Lalu, kalau ada dua hati yang mungkin saling menyukai tapi takut akan kisah-kisah mitos itu, salah siapa?” Pertanyaan Senja membuat Bening mengatupkan bibirnya rapat diikuti tautan alis.
Heran!
“Maksudmu mau nyalahin perang bubad?” Alih-alih menjawab pertanyaan Senja, Bening malah balik bertanya.
Senja sedikit terkekeh.
“Lagian mitos dipercaya. Dan anehnya kenapa sejarah itu masih saja disertakan dalam mata pelajaran di sekolah, bahkan pagelaran seni masih menceritakan bagian itu. Padahal sudah ada beberapa ahli sejarah yang membantah hal tersebut.”
Tapi Ini bukan tentang Maha Patih dan Sang Raja, ini tentang kita! semoga kau peka dan paham siapa yang kumaksud pengecut itu!