Mencari atau tanpa dicaripun tetap bertemu. Apakah sebuah kebetulan?
"Bening, penikmat jengkol tidak akan pernah bisa bersanding dalam satu meja dengan penikmat kakap." Evi memberikan analoginya saat Bening menceritakan temuan tentang Senja.
Lelaki itu benar-benar membuktikan bahwa ia seorang direktur dan mungkin saja apa yang diungkapkan Rani dahulu juga benar, jika Senja telah mantap mengikat janji dengan Vega, yang dikabarkan mantan Senja dan juga masih sahabat Rani sejak SMA.
"Tapi, jengkol itu lebih mahal dari kakap, loh, Vi." Bening mencoba menyangkal analogi Evi.
"Levelnya tetap beda, Bening."
"Maksudnya walopun dari kuantitas dan entitas yang kita miliki sebanding nilainya atau bahkan lebih, tidak akan setara dengan level mereka, gitu kah?"
"Srikelnya beda, Bening. Bukan soal kuantitas atau entitas."
"Maksudmu kita kaum muhibbin, pecinta para Murabbi levelnya lebih rendah dari mereka yang memiliki posisi dunia, gitu kah?"
"Tidak bisa dibandingkan, Bening. Setara, kok. apple to apple! Kita sama-sama punya kelebihan tetapi kategorinya beda. Paham, ngana!" Evi mengeluarkan logat aslinya sebagai orang bugis.
"Gak ngerti. Kenapa harus ada kategori? terus kenapa Tuhan menciptakan perbedaan kalo makhluk-Nya masih mengkotak-kotakan sesuai kategori?"
"Bening, Istigfar! Yang lu tanyakan bukan lagi tentang kenapa Tuhan menciptakan perbedaan, tapi lebih memaksakan pertanyaan itu atas perasaan, lu. Intinya Senja, kan?" Evi mengguncang bahu Bening.
Bening beristigfar halus dengan bibir bergetar dan dada yang berdegup naik turun. Evi membingkai wajah sahabatnya dengan kedua telapak tangan.
“Ilmu, yang membedakan kita bagaimana memandang dunia.” Suara Evi terdengar sedikit berbisik. “Jangan lupa dengan konsep zuhud yang diajarkan Abah Yai Hamid dalam kitab Ihya ulumuddin. Sirkel kita, level kita adalah yang tau mana cinta yang hakiki dan menyuburkan keikhlasan, Bening.”
Guncangan makin terasa saat Evi mendekap tubuh di depannya.
"Ikhlaskan. Anggap aja dia udah nikah, gak perlu lagi lu nyari dan bertanya-tanya. Apalagi menghubunginya." Bisik Evi di daun telinga Bening.
Setersiksa itukah perasaan Bening? Sesulit itukah untuk move on, Bening?
Suara selawat dari pengeras masjid, menghentikan adegan drama dua sahabat itu. Disusul suara Muadzin mengumandangkan Azan Asar. Keduanya gegas berwudu dan mengambil shaf salat.
Para santri Pondok As Salam saling mengencangkan langkah. Maksi--rok panjang perempuan--saling berkelebat bersahutan menimbulkan bunyi saat mereka beradu langkah. Dari arah kobong putra berkibaran berbagai corak sarung dan koko dengan kopyah khas para santri. Mereka menuju arah yang sama, masjid.
"Nun sewu, Bu Nyai. Hari ini Ustadzah Aina berhalangan hadir, saya dan beberapa santri lainnya belum setor hafalan." Seorang santri putri menghampiri Evi di beranda setelah Salat Asar selesai.
"Nanti bada Magrib, langsung setor ke saya saja, ya, Nduk. Ato ke Mbak Heni." Sambut Evi.
"Sama aku aja sekarang, Vi." Bening menawarkan diri.
"Lu gak buru-buru pulang, Ning?" Bening tersenyum seraya menggeleng, menjawab pertanyaan sang sahabat.
Kelompok santri perempuan yang akan setor hafalan pun langsung membentuk lingkaran di hadapan Bening.
Ingatannya tertuju pada masa silam, saat ia masih berada di Pondok Al Jabbar. Setor hafalan nahwu yang paling membuat berdebar. Bada Asar menjelang Magrib sambil wirid tipis-tipis, Bening dan Evi terbiasa menghabiskan waktu di bale-bale atas bukit samping Pondok. Berdekatan dengan kobong putri. Tak lupa gitar usang kesayangan Bening.
Kuterbiasa
Tersenyum tenang walau….
Aaaaa …
Hatiku menangis
Kaulah cerita tertulis dengan pasti
Selamanya
Dalam pikiranku….