Penangguhan dari sebuah pengabulan doa adalah cara Tuhan memperlihatkan kuasa-Nya. Tetap percaya apa pun yang Tuhan tunjukan, baik pemberian atau penolakan adalah karunia-Nya.
_Al Hikam_
Hari Belum begitu gelap saat Senja kembali dari kantor hari ini. Lembayung di ufuk barat menyemburkan jingga keemasan, indah. Menyipratkan sorot berlawanan, seolah mengusap ujung penglihatan yang membuat kelopak lelaki bermata oriental itu memicing.
Seperti ada perjanjian dengan semesta, setiap menjelang petang perasaan kosong dalam hatinya selalu menghentak. Menguras segala energi yang telah seharian penuh terkeruk penat.
"Besok ada jadwal apa, Dil?" Senja bertanya pada sang asisten sekaligus sopir pribadi, barangkali ada jadwal mingguan yang harus ia hadiri.
"Minggu ini kosong, Pak." Fadil menoleh sebentar, lalu kembali sejurus pada kemudi.
"Baguslah, semoga tidak ada acara dadakan." Senja makin menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Merogoh ponsel yang ia selipkan di saku jasnya. Memeriksa satu per satu pesan dan iseng scroll beberapa berita bisnis mingguan.
Di tengah kesibukan dan usaha kerasnya melenyapkan bayang gadis yang dicintainya, Senja menemukan pesan tak terduga. Setelah dua hari berjibaku dengan pekerjaan sehingga lupa membuka pesan-pesan. Satu pesan yang membuat ia kembali menemukan pecahan hatinya. Ketika membaca pesan dari nomor tak dikenal, tetapi hatinya begitu kuat menyetujui bahwa itu pesan dari Bening. Tidak ada yang memanggilnya dengan nama Senja selain gadis itu. Pitaloka hati yang selama ini dicari dan hampir menenggelamkannya pada keputusasaan. Ia pun segera membalas dengan antusias.
Menarik punggungnya yang tadi bersandar malas. Mood-nya seketika berganti ceria. Kekosongan yang baru saja melintas, kini terasa penuh dengan kehangatan.
[Ini nomor kamu, kah, Bening?]
Tanpa basa-basi Senja langsung menodong nama Bening. Wajah lelah itu mengulaskan senyum samar. Namun, masih bisa terlihat jelas oleh Fadil yang sedari tadi memerhatikan perubahan Senja.
Audi hitam berhenti tepat di depan pintu utama rumah megah pemilik Pratama Corporation. Lugas langkah Senja memasuki rumah, tak sabar ingin segera memburu kamar dan menghabiskan akhir pekan dengan serpihan hati yang telah kembali dalam lelahnya pencarian.
"Putra, besok, kan, hari minggu. Temani Mama, yuk?" Bu Silvy memburu Senja yang baru saja duduk di sofa seraya membuka sepatu kerjanya.
"Ke mana, Ma?" Perhatiannya tak lepas dari sepatu dan kaos kaki, kemudian beranjak menuju rak sepatu.
"Mama dan Cyntha mau facial di salon langganan. Sekalian kam mingguan, nah, sama Cyntha." Bola mata Bu Silvy mengerling.
Ada rasa malas menemani kegiatan para wanita di akhir minggu, apalagi liburan ini Senja berencana istirahat total karena tidak ada jadwal apa pun di luar pekerjaan. Terutama setelah mendapat kabar yang dibawa angin menemuinya barusan. Semakin malas ia menghabiskan waktu dengan dua wanitanya itu.
"Liat besok, ya, Ma. Nanti aku kabari. Sekarang mau mandi, nah, capek badanku." Senja secara halus mengusir sang mama dari kamarnya. Bu Silvy terpaksa keluar dengan memasang wajah cemberut karena tak mendapat respon antusias dari si bungsu.
***
Senja baru saja keluar dari kamari mandi saat melihat Mama tengah duduk di sofa kamarnya.