Perjalanan ke Australia berawal ketika aku mengikuti seleksi Muslim Exchange Program (MEP). MEP merupakan program pertukaran untuk para tokoh Muslim Indonesia (dan juga tokoh Australia) yang akan mempelajari kehidupan Muslim dan Islam di Australia. Lebih tepatnya lagi, selama dua minggu para peserta terpilih akan mengelilingi Melbourne, Canberra, dan Sydney untuk saling bertukar pikiran mengenai kehidupan sosial, budaya, serta peran agama di negara masing-masing.
Program ini diadakan oleh Australia-Indonesia Institute (AII) yang bekerja sama dengan Universitas Paramadina. Program yang telah dimulai sejak tahun 2002 ini baru kuketahui memang sangat bergengsi. Ratusan pelamar dengan latar belakang berbeda, seperti akademisi, pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), penulis, organisasi keagamaan, ataupun siapa saja yang bergerak dalam bidang keislaman di seluruh Indonesia, berlomba untuk bisa mendapatkan beasiswa ini. Para alumnusnya pun biasanya akan melanjutkan studi tingkat lanjut ke Australia atau negara-negara maju lainnya.
Peluncuran buku Hidup Damai di Negeri Multikultur karya Forum Alumni MEP Australia-Indonesia di Kedubes Austraslia (2017).
Boleh dikatakan, MEP ini seperti batu loncatan bagi mereka yang ingin mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik. Mengikuti MEP berarti semakin memperluas jaringan karena akan bertemu dengan tokoh-tokoh penting di Australia.
Sebagai penggiat dakwah, tentu aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ketika informasi ini muncul di grup WhatsApp teman-teman Pascasarjana Kajian Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, aku putuskan ikut.
Terus terang, aku terlambat mengetahui kalau ternyata banyak sekali program beasiswa selama ini. Usia 16 tahun aku sudah hidup seorang diri di Jakarta. Boro-boro mikirin beasiswa ke luar negeri. Saat itu yang kupikirkan adalah cara bertahan hidup di Jakarta tanpa merepotkan orangtua, dan bagaimana cara masuk ke universitas negeri agar biaya kuliah terjangkau. Selain itu, aku juga berkonsentrasi penuh dalam menjaga ibuku yang menderita penyakit kulit langka, pemvigus vulgaris (Kisah hidupku tersebut telah tertuang dalam buku pertamaku, Melukis Pelangi yang terbit tahun 2011).
Ketika akhirnya roda kehidupan berputar dan kehidupanku mulai stabil, aku bisa konsentrasi melakukan hal lain. Maka pada 2017, aku mulai berburu peluang beasiswa untuk belajar ke luar negeri. Aku sengaja mencari beasiswa yang waktunya singkat karena banyak tanggung jawab yang aku lakoni. Seperti tanggung jawab sebagai seorang istri, seorang ibu, dan pekerjaan di lokasi syuting yang harus ditinggalkan.
Semua itu takkan tercapai tanpa dukungan penuh suamiku. Dia menepati janjinya dari sebelum menikah, kalau akan mendukung dan meridhai istrinya melakukan kegiatan positif di luar rumah tangga, asal tugas utamaku untuk melayani suami dan mendidik anak-anak tetap berjalan baik. Maka, kusiapkan dokumen dan ikut serta dalam seleksi MEP.
Tak terlalu sulit bagiku melengkapi persyaratan, karena selama ini aku telah menyusun curriculum vitae dengan rapi. Beberapa berkas yang harus dilengkapi dalam seleksi dokumen adalah aktif dalam kegiatan keislaman, TOEFL, riwayat akademik, prestasi, pernyataan motivasi, dan surat rekomendasi. Khusus untuk pernyataan motivasi, kutulis sendiri siapa diriku dan kegiatanku selama ini di Indonesia.