Prof. Azyumardi Azra, CBE
Harus diakui, Islam dan Barat adalah dua peradaban besar yang sangat memengaruhi perkembangan sejarah dunia. Pada zaman pra-Islam, Barat telah mengenal kemajuan pemikiran seperti yang ditunjukkan oleh filsuf Yunani pada kurun sekitar abad ke-5 sebelum Masehi. Setelah Yunani mengalami kemerosotan, maka Islam mengambil alih tongkat kemajuan intelektual, seperti yang dibuktikan oleh sarjana-sarjana Islam mulai abad ke-10 sampai dengan abad ke-13. Di samping ekspansi kekuatan politik, juga ditandai dengan lahirnya generasi emas intelektual Islam. Dalam bidang falsafah, dikenal sosok Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina. Dalam bidang ilmu kalam, hadir Wasil ibn Atha’, Al-Asy‘ari, Al-Baqillani, dan lain-lain. Demikian juga dalam bidang fiqih, hadis, tafsir, sejarah, sastra, dan ilmu pengetahuan alam terdapat banyak sekali karya yang muncul dari ilmuwan-ilmuwan Muslim. Namun, ketika Islam masuk ke Abad Pertengahan, terjadi kemerosotan aktivitas intelektual sehingga dinilai kalangan sejarawan sebagai abad kegelapan Islam.
Di pihak lain, awal abad kemerosotan peradaban Islam itu, Barat mulai bangkit dengan gerakan Renaisans, Reformasi, dan Kajian Keilmuan (seni, bahasa, penemuan). Singkatnya, sadar atau tidak, pada abad ke-18 dan 19 kemajuan Barat memberikan inspirasi kebangkitan Islam hingga dewasa ini. Meskipun kemajuan Barat berada dalam kemajuan, bukan berarti sepenuhnya untuk diadopsi tanpa dikritisi. Benar adanya, Barat modern telah membongkar seluk-beluk misterimisteri alam dengan nalar rasionalnya, tetapi ia kurang berhasil dalam menemukan berbagai solusi bagi penyakit-penyakit sosial dan konflik di antara bangsa-bangsa. Ilmu, prestasi besar intelektual Barat, walaupun mampu memperbaiki kehidupan, juga telah menghasilkan senjata perusak massal. Meskipun Barat adalah pelopor dalam melindungi hak asasi manusia, ia juga menghasilkan rezim totaliter yang telah menginjak-injak kebebasan individu dan martabat manusia. Dan meskipun Barat memperlihatkan tekad untuk kesetaraan manusia, ia juga telah mempraktikkan rasisme yang brutal.
Menyikapi realitas di atas, buku yang ditulis Oki Setiana Dewi tentang “Sebentang Kearifan dari Barat” mengundang pembaca untuk menyelami khazanah Islam dan Barat melalui karyanya. Warisan peradaban Islam bukan menjadikan Muslim bersikap apologetik dan romantis terhadap masa lalu. Dan terhadap warisan peradaban Barat, bukan berarti terus dikritisi, juga bukan semata diadopsi, melainkan untuk difilterisasi dalam upaya menjadikannya sebagai titik awal dalam mengembangkan tradisi intelektual Islam yang relevan di masa kini dan mendatang.
Buku ini lebih dari sekadar travel account; Oki mengambil refleksi dari perjalanannya. Itulah yang dia sebut sebagai “Sebentang Kearifan dari Barat”. Dengan kandungan yang kaya dan reflektif, karya ini merupakan sumbangan signifikan untuk memperkuat hubungan yang lebih harmonis dan damai di antara masyarakat Muslim dengan dunia Barat.
Jakarta, 9 Maret 2018