Bella Swan dan Edward Cullen di twilight-breaking dawn yang sedang sangat populer akan kami tonton hari ini. Kami sudah janjian untuk bertemu di BIP. Aku menyesuaikan waktu untuk pulang kerja lebih awal karena awan hanya mengisi dua mata kuliah. Di hari yang sama, aku mendapat kabar dari bibi tentang pengurusan KTP baru yang sedang aku ajukan, dan mendesak aku harus memberikan beberapa persyaratan yang aku pegang. Ketika awan memberi kabar bahwa dia akan selesai dari kampus jam setengah dua siang, kupikir aku bisa ke Cimahi dulu sebelum kemudian ke BIP sesuai janji, karena aku punya satu jam lebih awal dari awan.
Perjalananku menuju Cimahi baik-baik saja, aku juga tidak lama di rumah, betul-betul hanya menyelesaikan keperluan. Aku mengejar waktu janjiku dengan awan, aku takut terlambat lagi dan membuat awan menunggu. Empat dari lima kali pertemuan kami, aku selalu begitu, selalu saja awan yang menungguku. Kali ini aku bertekad untuk tidak terlambat, siapa yang tahu keadaan akan sangat kacau ketika aku kembali dari Cimahi menuju Bandung. Macet total!. Aku terjebak dalam kemacetan yang mau tidak mau hanya bisa menunggu. Awan sudah menungguku selama tiga puluh menit ketika aku terjebak dalam kemacetan yang sampai setengah perjalanan pun bahkan belum. Belum ada ojek online saat itu, hanya angkutan umum, bis dan taksi. Jadi tidak ada pilihan selain tetap di dalam angkot untuk kembali ke Bandung. Aku memberi kabar pada awan bahwa aku terjebak macet parah, awalnya aku tidak tahu kalau macetnya total sampai ke Bandung, jadi aku hanya bilang bahwa aku akan terlambat. Dia lalu menyarankan agar membatalkan janji temu kami hari itu meski dia sudah sampai disana, tapi aku tidak mau, karena akan sulit mencari waktu lain lagi bila kami batal bertemu hari itu. Aku lalu meyakinkan awan akan tiba lebih cepat, karena masih tidak tahu kalau macetnya total dari Cimahi sampai ke Bandung. Aku terus berkata 'sebentar lagi - udah deket' setiap kali awan bertanya 'dimana?', hingga akhirnya membuat awan naik pitam. Tidak mungkin tidak, dia menungguku sejak jam dua siang dan aku baru muncul jam setengah lima sore. Meski sudah bilang aku terjebak macet, terlambatnya memang tidak bisa ditoleransi, dia menunggu aku berjam-jam. Saat aku sampai wastu kencana awan sudah sangat kesal, dia mengirim pesan begini 'kalo emang gak bisa ketemu bilang dari awal' dia bahkan tidak mau mengangkat telepon dariku, sudah tidak peduli lagi dengan alasan macet yang aku berikan padahal itu sebenar-benarnya keadaan. Hebatnya awan masih tetap menunggu aku datang.
Kemarahannya terus meningkat,
'Sepuluh menit lagi belum nyampe, aku balik.'
Kalimat yang kubaca dari pesan teks itu membuat aku turun di pasar bunga wastu kencana dan berlari ke BEC, tempat awan menungguku. Selain itu dia juga bilang sudah tidak mood untuk nonton apalagi jalan denganku, dia hanya memberikan aku waktu lima belas menit untuk bertemu.
Daripada mendebat yang mungkin akan membuatnya lebih marah atau berubah pikiran, aku hanya mengiyakan semua kata-katanya. Itu kali pertama awan menunjukan kekesalannya padaku, aku tidak tahu bagaimana cara untuk menanganinya. Sampai di depan BEC aku mencoba menelponnya tapi masih terus dia reject, dia baru mau menerima teleponku saat aku mengirimnya pesan 'aku udah di BEC' ,
"Kamu di mananya yaang?."
"Di pinggir jalan!."
"Iyaa sebelah mana, ini aku juga di pinggir jalan."
"Jalan aja sampe aku ketemu. gede kok aku, gak mungkin gak keliatan."
Setelah berjalan beberapa langkah lagi akhirnya aku menemukan dia. Duduk di depan salah satu warung kopi dengan wajah yang benar-benar terlihat sangat kesal. Aku menghampirinya dengan nafas yang terengah-engah dan sedikit banyak berkeringat serta merayunya dengan senyum termanis yang aku miliki.
"Maap, aku bener-bener gak tau bakal macet setotal itu."
"Ya udah sekarang mau apa udah ketemu."
dia bahkan bicara tanpa melihat ke arahku,
"Kok gitu sih?, kan mau nonton."
Aku masih berharap marahnya mereda dengan sisa-sisa nafasku setelah berlari tadi,
"Kan aku bilang aku udah gak pengen, waktu kamu sepuluh menit lagi."
"Beneran niih cuma lima belas menit ketemunya?."
"Iyaa beneran, waktunya udah berkurang terus, cepetan mau apa?."
"Gak mau maapin?."
"Sebenernya kamu dari mana sih!?."
"Aku tadi ke Cimahi dulu ada perlu, pas berangkat lancar-lancar aja, pas balik Bandung bener-bener macet total dari Cimahi sampe kesini, aku turun di pasar bunga, lari sampe kesini."
"Aku dua setengah jam nungguin kamu kaya orang bego!."
Kalimatnya menunjukan dia tidak ingin kalah, dia ingin diakui bahwa dia juga berkorban,
"Iya maap, kalo pas berangkat udah macet gitu juga aku gak bakal ke Cimahi dulu yaaang."
Awan masih mempertahankan wajah judes dan galaknya meski sudah mendengar penjelasanku. Sampai hari ini aku bahkan tidak pernah tahu kemacetan yang membuat kencan kami berantakan itu apa penyebabnya.
"Makanya harus punya perhitungan sebelum bertindak."
"Aku pikir aman-aman aja, karena pas pergi juga lancar."
"Jangan banyak mikir doang."
"Ya udah maap. ayo nyebrang"
"Nyebrang kemana? aku mau balik. udah lima belas menit niih."
"Yaaang iiih, please."
"Please apa lagi?, udah kan, aku udah nungguin sampe kamu dateng, udah ketemu kan?!."
"Kaaan mau nonton."
"Kalo kamu jadi aku, kamu pikir masih ada niat baut nonton bareng?."
"Kalo gak sekarang, gak tau kapan bisa jalan lagi. pasti gak bisa nonton twilight nya, keburu turun layar."
"Bodo amat!."
"Yaaaaang."
Setelah mendengar aku terus merengek dan terus menyentuh tangannya, lagi-lagi awan mengalah untukku. Dia bangkit dari duduknya dan pamit pada mamang jualan yang dia tongkrongi warungnya, mamangnya menjawab dengan sopan,
"Ooh iieu nu ditungguan teh?"
Awan tersenyum dan mengangguk. Aku mengira itu temannya, kemudian aku tersenyum kecil ke arah si mamang itu, si mamangnya lalu bicara padaku
"Tadi ngobrol, lagi nungguin teteh katanya udah kesel, udah pindah tiga warung (hehe)"
Ucapan si mamang sedikit membantuku, aku mulai menggoda awan dengan itu. Sebenarnya aku tidak suka dengan mulut besar awan, untuk apa dia bercerita pada orang asing kalau dia sedang menungguku, sifat kami benar-benar berbanding terbalik. Tapi karena keadaan sedang menyudutkanku, aku mencoba menahan dan tidak menunjukan rasa tidak sukaku akan itu. Ternyata sikap manjaku untuk menggoda awan tidak membuatnya luluh begitu saja meski dia mengalah dengan mau melanjutkan kencan. Dia tidak mau berjalan sejajar denganku, padahal biasanya dia tidak lepas menggenggam tanganku ketika berjalan bersama. Saat aku coba menyusul langkahnya, dia berjalan lebih lambat, dan bila aku yang melambat dia melangkah lebih cepat. Terus saja dia begitu sampai pandanganku teralih pada kemeja-kemeja yang berjejer di beberapa stand mall itu. Dia tahu pandanganku sudah teralih, aku ingin mengajaknya berhenti untuk melihat-lihat tapi tidak berani karena kekesalannya belum reda. Aku hampir menabrak seseorang kalau tidak awan tahan dengan tangannya. Kupikir dia benar-benar mengabaikanku, ternyata matanya tetap fokus pada keberadaanku. Setelah itu dia meraih tanganku dan mulai kembali menggenggamnya, namun bukan genggaman seperti biasanya, jemarinya mengepal di pergelangan tanganku seperti ayah yang sedang menuntun anaknya, dengan nada kesal kemudian dia mulai kembali bicara padaku,
"Bisa gak sih kalo liat kemeja tuh matanya biasa aja?."