Pada saat itu aku berjanji akan terus menjadi yang terbaik untuk awan, aku berjanji untuk terus bersama awan, aku tidak mau berpisah dengan awan. Dengan sangat yakin aku bicara pada diriku kalau bersama awan akan selamanya dan satu-satunya. Tapi itu hanya menjadi inginku dengan ingin awan saja, berbeda dari ingin semesta yang hanya merestui kami sebagai rekan pendewasa satu sama lain. Semsesta hanya merestui kami untuk memiliki kenangan bersama, tidak untuk terus bersama-sama.
Apa yang pertama kali aku rasakan saat kenyataan tidak bisa aku tentang untuk melepaskan awan, tentu saja hancur. Aku tidak mau melepaskan awan, tidak sama sekali. Tapi karena takdir dan kenyataan bukan milik kami, akhirnya kami harus tetap menjalani perpisahan berat itu.
Saat ini aku sedang mempersiapkan pernikahanku, jadi jangan salah paham bahwa aku menulis tentang awan dan masa laluku karena aku belum merelakannya. Aku memang tidak bisa melupakannya dan tidak berniat untuk melupakannya, tapi tidak lagi kukenang dengan perasaan yang sama seperti saat aku dan dia masih saling membutuhkan. Sama seperti ketika awan mengatakan bahwa kisah kami sudah selesai, bagiku juga sudah selesai. Aneh bukan?, padahal awan yang memperlakukan aku dengan sangat baik, awan juga bilang takut kehilanganku seperti aku takut kehilangannya, awan berkali menegaskan bahwa perasaannya lebih besar daripada perasaan yang aku miliki untuknya, tapi awan yang ingin kisah kami selesai. Pada akhirnya awan yang membuat akhir atas cerita kami yang kami pikir akan selamanya.
Awalnya aku juga tidak bisa menerima akhir cerita kami, terlalu mengejutkan, mendadak, tanpa aba-aba. Kali pertama awan membuat aku menangis, berhari-hari menunggu dengan harapan marahnya bisa reda, menunggu dia datang, tapi tidak pernah kembali. Semuanya baik-baik saja selama tujuh bulan kami bersama-sama. Seperti yang aku ceritakan, hari-hari kami hanya penuh dengan tawa. Tidak pernah ada masalah serius, pertengkaran hebat, sampai keadaan ternyata bisa berbalik 180° hanya karena satu kalimat.
Hari itu tiba-tiba awan mengabaikan aku, tidak membalas pesan ataupun mengangkat teleponku. Walaupun sudah merasa gelisah aku terus menahan diri karena sudah berjanji tidak akan berlebihan bila dia tidak bisa dihubungi. Mungkin ada lebih dari lima pesan yang kukirim tapi hanya dengan dua missed calls. Setelah sepanjang hari menunggu, akhirnya datang sms dari awan yang membuat aku semakin tidak mengerti yang sedang terjadi. Awan mengirim kembali beberapa pesan lamaku yang menulis kata-kata sayang, begini kalimat terakhir dari sms yang dia kirim,
"Aku balikin semua sayang kamu, aku balikin semua perasaan happy yang aku punya selama sama kamu, aku balikin semuanya!."
Aku menjawabnya dengan pertanyaan 'kenapa?', 'ada apa?' dan kata lain semacam itu, juga tiga kali panggilan telepon tapi dia sama sekali tidak meresponku lagi. Untuk tidak menambah suram keadaan, aku menahan diri.
Selama dia mengabaikanku, aku tetap mengiriminya kabar setiap hari. Dua atau tiga pesan sudah pasti aku kirim mengharap penjelasan, ditambah satu panggilan saja yang tidak pernah awan jawab. Satu hari, dua hari, dan hari ketiga akhirnya dia mau bersuara, itupun tidak menjelaskan apa yang membuatnya bersikap begitu, dia hanya memintaku mencari tahu kesalahanku sendiri. Aku mengajaknya bertemu untuk bicara, tapi begini jawabannya,
"Kesini aja, aku sibuk gak bisa kemana-mana."
Aneh, tentu saja sangat aneh, awan tidak pernah membolehkan aku mendatanginya, apalagi ke kosannya. Selain saat kami pulang dari Sukabumi tempo hari, aku tidak pernah lagi mengunjungi tempat itu, bahkan bila awan sakitpun dia melarang aku mengunjunginya. Aku bingung, bukan main sangat bingung,
"Udah yaa aku banyak yang harus dikerjain."
Awan menutup teleponnya begitu saja, tidak ada jawaban yang aku dapat dari panggilan yang kurang dari lima menit itu. Tanda tanya besar tinggal di pikiranku yang membuat aku tidak fokus. Tanpa berpikir panjang aku menghubungi adi dan menanyakan keberadaannya.
"Tumben banget, kenapa?."
"Aku harus ketemu awan, tapi dia lagi resek banget, takut aku kesana dianya gak ada."
"Aku jemput aja, kamu dimana?."
"Aku pergi sendiri aja, nanti jemput di gang yaa biar aku gak malu sendirian ke kosannya."
"Oke, kabarin aja."
Adi menjemputku di depan gang menuju kosan mereka sekitar jam lima sore. Sedikit canggung, tapi kurasa hanya itu yang bisa aku lakukan untuk meminta penjelasan awan.
"Emang beres kelas jam berapa tadi dii?."
"Kosong. Kita gak ada kelas hari ini. seharian pada ngebangke di kosan."
"Serius?!!."
"Iyaa, belum ada yang keluar dari pagi. emang si awan bilang nya ada kelas?."
"Iyaa, sibuk ceunah banyak yang harus dikerjain."
"Dikadalin lu."
"Gak apa-apa kan dii aku ke kosan?."
"Kosan siapa? ke kosan adi mah yaa gak apa-apa."
"Yaa ngapain ke kosan kamu."
"Kenapa gak nelpon dia langsung?, ribut?."
"Teuing, salah obat kayanya dia."
Kami sudah sampai di kosan mereka, berbeda dengan kali pertamaku datang, sore itu koridor tampak sepi, adi melepaskan aku disitu dengan kata 'jug' [7]. Aku yang masih ragu akan diterima awan meminta adi untuk tetap menemaniku sampai ke depan kamar awan. Dia terlihat sedang serius di hadapan laptopnya saat itu, dan adi membuyarkan fokusnya saat menyapa,
"Waaan, ada yang ngasih surprise nih."
Sambil menunjuk kearahku. Jelas awan tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya, namun dia menutupinya dengan tawa,
"Waaaaw terkejut aku."
"Udah yaa guys, saya tunduh. moal aya setan kan wan?."
"Siaaaap, amaaan. nuhun bro."
Seakan tahu harus meninggalkan kami berdua, adi beralasan mengantuk dan pergi begitu saja. Awan tidak bersuara setelah adi meninggalkan kami, dia bahkan tidak melihat ke arahku, aku hanya menatapnya tanpa berani bicara apapun. Setelah beberapa waktu, awan menutup laptopnya dan beranjak keluar, masih tidak bicara padaku. Aku rasa aku benar-benar kewalahan menghadapi awan dengan kemarahannya. Sekitar lima belas menit kemudian dia kembali dengan jus mangga favoritku dan jus sirsak yang dia suka seperti biasa kami jajan. Dia memberikan jus mangga padaku masih tidak bicara, duduk jauh dariku dan asyik dengan ponselnya. Aku sudah tidak tahan lagi untuk bersabar menunggunya bicara, akhirnya aku yang pertama bersuara,
"Ada orang loooh disini."
"Ya emang ada."
"Please dong, aku kesini beneran ngumpulin nyali banget."
"Gak ada yang maksa nyuruh dateng."
Walau mulutnya sudah bicara, pandangannya tidak teralih dari ponsel yang dia genggam,
"Lagi apa sih sama hp nya?."
"Kenapa emang?!! suka-suka laah. tingkah kamu juga suka-suka sama aku."
"Aku gak ngerti sumpah. tiba-tiba banget tau kamu begini."
"Instrospeksi neng.!"
"Yaa apaa, aku salahnya apa, aku gak nemu, udah berhari-hari nyari, mikirin juga aku gak nemu yang salahnya dimana?."
"Nyaa teuing atuh! kalo kamu sendiri aja gak tau apalagi aku."
Aku terdiam cukup lama, tidak tahu harus bicara apa lagi. Lalu awan kembali bicara dengan nada ketusnya,
"Tuh tanya ke si adi. kesini juga yang dikabarin dia kan, bukan aku?!."
"Akunya bingung ngadepin kamu, makanya minta tolong dia."