Sebentar

eSHa
Chapter #7

Pembalasan

Hari ini aku pulang ke Cimahi untuk mencari pelarian, aku tidak tahu aku bisa apa, tidak ada juga yang bisa aku ajak bicara di rumah tapi setidaknya dimanjakan nenek menjadi obat tersendiri untuk kesedihanku. Aku tiba pagi-pagi sekali, tidak seperti biasanya yang banyak bicara dan bertingkah, kali ini aku hanya telungkup di atas tempat tidur nenek, menyembunyikan wajah, tangis dan semua kesedihanku tentang awan. Entah bagaimana nenek tahu kalau aku memang menangis karena hubunganku yang kacau dengan awan. Tanpa ada obrolan apapun sebelumnya denganku, tiba-tiba nenek nyeletuk, "Rugi banget nagisin cowok, kaya yang gak ada lagi aja", aku hanya menjawab dalam hati"yang kaya awan gak ada lagi nek".

Setelah lama menangis aku tertidur begitu saja, kemudian bangun karena merasa kepalaku sakit sekali dan ternyata ini sudah sore. Tubuhku mulai terasa semakin tidak nyaman, aku menahan sakit kepala yang sangat kuat lalu juga muntah. Omelan nenek semakin menjadi-jadi karena itu, setelahnya aku memilih pulang ke kosan karena ketenangan bersama nenek sudah habis. Tapi di kosan rasa kesepian semakin membakar, aku terus melirik ponsel menunggu awan, entah itu telepon atau sekedar sms seperti biasanya, tapi tidak ada yang datang. Rasa sedihku kembali memuncak setelah aku membaca kembali pesan-pesan lama dari awan. Tanpa berpikir panjang, aku melakukan hal yang sama dengan yang awan lakukan kemarin, aku mengirim balik semua sms awan yang mengandung ungkapan sayang, lebih banyak dari yang sebelumnya awan kembalikan padaku. Setelah lima sms terkirim awan membalas 'kamu ngapain?', tidak aku pedulikan pertanyaannya aku hanya terus mengirim balik pesan-pesan lamanya, entah sudah berapa banyak yang kukirim awan membalas lagi, 

'STOP !!!, udaaah, berhenti, aku capek.'

'Aku juga balikin semua sayang kamu.'

Awan lalu menelponku berulang-ulang karena aku mengabaikan panggilannya, aku baru menerima panggilannya yang kesekian setelah awan mengirim pesan,

'Angkat cher!.'

"Kamu gak capek?, udah dong. kemaren aja aku udah kewalahan banget, udah istirahat dulu."

"Kan kamu yang bilang udah selesai. aku juga mau selesai hari ini, aku juga capek, biar sekalian sedihnya sekalian capeknya sekalian sakitnya."

"Udaaah yaa. gak usah sedih, gak usah sakit, capek aja kita udah kewalahan, udah."

Aku yang keras kepala semakin menantang awan mendengar suaranya sudah merendah dari yang terakhir kami bicara. Awan pasti sangat kesal dengan tingkahku malam itu, kata-kataku yang semakin tidak terkendali aku yakin membuat awan semakin menambah kebencian padaku, namun awan tidak membalasku seketika. Awan seperti sangat menahan diri untuk kembali bersikap egois padaku, untuk tidak bersikap kasar atau mengeluarkan kata-kata tidak menyenangkan seperti yang aku ucapkan. Akhirnya kami menyelesaikan pembicaraan kami di telepon malam itu dengan tidak baik. Awan sudah memberiku peringatan namun aku acuhkan,

"Kalo kamu mau terus kayak gini, udah ya aku tutup telponnya"

"Apaan sih aneh banget, kayak gini gimana maksud kamu?"

"Omongan kamu tuh makin ngaco cher, makin kemana-mana tau gak."

"Yaa kan gak apa-apa kalaupun emang kamu udah ada yang lain, ini kan judulnya aku lagi buang sampah, sampah-sampah masa lalu aku sama kamu."

"Anjir, kamu ngatain aku sampah."

"Kata-kata sayang kamu buat aku kan udah gak ada artinya sekarang, segala sesuatu yang gak ada gunanya kan namanya sampah."

"Bener-bener yaah lu cher. denger yaa cher, kalo kita punya cara pandang yang baik, sampah juga ada gunanya!. percuma emang ngomong sama lo!."

kalimat itu mengakhiri pembicaraan kami, awan menutup teleponnya begitu saja, aku tidak berusaha menghubunginya kembali karena sedang menahan ego yanag begitu tinggi. Percayalah, aku menangis tersedu dibalik telepon yang ditutup awan tanpa pamit itu.

Kami menahan diri untuk tidak saling menghubungi setelah hari itu, meski rasanya masih tidak menyenangkan, aku terus menguatkan diri bahwa aku akan baik-baik saja tanpa awan. Ternyata tidak, aku tidak baik-baik saja saat itu. Berpisah dengan awan memberi luka sendiri untukku yang kadung tergantung pada awan.

***

Setelah sempat drop, aku kembali pada hari-hariku walau masih dengan keadaan hati yang berantakan. Aku rasa dua minggu setelah pertengkaran hebat pertama dan terakhir kami, awan datang ke kafe menemuiku, tanpa janji temu dia datang sebagai tamu. Dan lagi, bukan aku yang menyambutnya ketika dia tiba, aku sedang break saat itu. Karena duduk di area teras, dia melihat aku dengan teman-temanku usai makan siang sementara aku belum menyadari kedatangannya sampai kembali bertugas dan diberi tahu temanku,

"Teh ada yang nyari, table tiga."

"Saha?.[9]"

"Yang waktu itu pernah kesini."

"Yang pernah kesini kan banyak neng."

"Itu temen teteh yang mojito lychee."

"Kok kamu inget sih? (haha)."

"Dia order itu, terus pas tadi nyari teteh ngomongnya gitu, 'bilangin dicari mojito lychee gitu'."

"Oooh, okeee."

Aku sempat terkejut tapi tidak ingin terlihat seperti pengecut. Dengan pecaya diri aku menghampiri dan menyapanya. Mungkin berjarak lima langkah dia sudah menyadari aku menuju ke mejanya, dia tersenyum, aku membalas senyuman itu sekedarnya dan,

"Dari tadi?."

"Setengah jam mungkin."

"Kok sendirian?."

"Nanti kan jadi berdua sama kamu."

"Ooh ada perlu?."

"Emang kamu kira?."

"Kirain sengaja nongkrong."

"Iya mau nongkrong sama kamu. gak apa-apa kan aku tunggu?."

"Gak apa-apa siih, tapi masih tiga jam lagi baru balik."

"Gak apa-apa, aku udah ngitung kok. santai aja."

"Aku cuekin yaah, masih kerja."

"Okee."

"Okee, lanjut."

Berjalan mundur aku meninggalkan awan. Bersikap seolah tidak peduli, seolah baik-baik saja dan yaaah begitulah, semuanya hanya seolah-olah. Tiga jam kemudian setelah menyelesaikan pekerjaan dan berganti pakaian aku kembali ke mejanya dan duduk bersamanya,

"Disini aja yaah, gak usah keluar. padet banget di luar, pusing."

"Emang gak apa kamu nongkrong disini?."

"Enggaklah, yang penting jajan. gimana gimana?."

"Kamu seneng banget nanya gimana."

"Yeeeh, katanya ada perlu."

Lihat selengkapnya