“Gue suka sama lo. Mau gak lo jadi pacar gue?” tanyaku sambil menahan malu saat menatap mata gadis itu.
Pandangannya seketika berubah bersama dengan hela napas yang terdengar anti klimaks. Aku tidak tahu, bagaimana semuanya bisa seperti ini. Namun, aku memang telah memiliki rasa itu kepadanya sejak saat itu.
“Sorry,” ujarnya sambil membuang pandangan. “Gue cuma anggap lo sebagai sahabat doang.”
Aku tidak tahu harus berkata apa mendengar jawaban dari gadis itu. Seluruh duniaku terasa runtuh saat kalimat itu terucap dari bibirnya. Sudah tiga tahun aku memiliki perasaan untuk gadis yang telah mengubah segalanya di hidupku sejak saat itu.
Butiran hujan yang turun di sekitarku seolah menjadi saksi tertolaknya cinta yang telah lama dipendam untuknya. Ini adalah manifestasi keberanian yang telah kukumpulkan sejak beberapa bulan belakangan. Namun, lagi-lagi harapanku harus kandas setelah mendengar apa yang diucapkannya barusan.
Aku menghela napas sambil menatapnya. “Sorry, gue selalu maksain lo tentang ini semua.”
Tidak ada jawaban dari lisannya kecuali gelengan pelan dan senyum yang terlihat pahit.
Saat ia mengatakan itu, aku seharusnya sadar bahwa ini semua tidak akan berjalan baik. Meskipun segala hal telah kulakukan untuk tetap membuatnya bahagia. Setidaknya itu yang kupikirkan setelah segenap pedih didapatkan dari jawabannya.
“Ta-tapi, gue gak ada maksud bikin lo down,” sanggahnya sambil menatap dengan cara berbeda.
Aku mengangguk. “Gak apa, udah gue bilang kalo gue yang terlalu maksain ini semua.”
Akhirnya aku hanya bisa menikmati sisa pasta yang masih tersaji di sebuah restoran waralaba a la Italia ini. Aku tahu, ia merasa canggung setelah apa yang terucap barusan. Namun, aku harus tetap bersikap biasa agar tidak mengitimidasinya.
Baiklah, segalanya memang tidak sesuai rencanaku.
Setelah penolakannya, aku harus tetap bisa bersikap biasa. Meskipun hal itu terasa tidak mungkin karena apa yang kulakukan dua tahun terakhir ini adalah bagian dari strategi untuk meraih hatinya. Celakanya pintu itu telah tertutup sekarang.
Lagi pula, tidak mungkin aku menyatakan itu untuk kedua kalinya.
Kami berjalan dalam diam dari pusat perbelanjaan di bilangan Blok M menuju ke Stasiun MRT Blok M untuk pulang. Bahkan ketika kami tiba di peron, ia tidak banyak mengatakan apa pun selain menyunggingkan senyum yang terlihat pahit.
Segalanya tidak akan terasa sama setelah ini. Apa lagi aku dan dirinya tinggal di kompleks yang sama di dekat Stasiun MRT Lebak Bulus. Aku harus mencari cara agar bisa pergi terlebih dahulu ketimbang dirinya pada esok pagi.