Ia adalah Aluna Alexandra, sang bidadari sekolah.
Saat aku mulai mendekatinya, harum vanili tercium begitu jelas di hidungku. Aku tidak tahu, apakah harum ini berasal dari tubuhnya, atau memang harum di perpustakaan ini. Akan tetapi, aku yakin apa yang masih tercium jelas ini berasal dari gadis berambut panjang itu.
Ia selalu menggunakan blazer berwarna hijau kebiruan yang menjadi almamater sekolah kami. Alih-alih menutupi bentuk tubuh aslinya, pakaian itu justru menambah keindahan lukisan yang tersemat gadis itu.
Ini adalah kali pertama bagiku benar-benar berada dalam jarak sedekat ini dengannya.
Ia adalah pujaan semua orang; sebenarnya aku pun sama.
Terkadang ada desakan imajinasi yang mengisi kepala bersama dengan angan tentang berada dekat dengannya. Segalanya terasa makin jelas saat aku hanya berdua dengan sang idola yang tampak tidak acuh dengan kedatangan raga ini.
Ingatlah, aku harus realistis. Arunika yang berada di bawah levelnya saja tidak menerimaku, bagaimana dengan Aluna? Aku tidak pernah melihatnya bersama dengan laki-laki mana pun sejak bersekolah di sini.
Lagi-lagi, ia adalah gadis yang tidak mungkin terjangkau. Kecantikan dan kecerdasannya sudah berada di level tertinggi. Gadis itu adalah masalah bagi Arunika, karena Agra begitu memujanya sejak pertama kali ia bersekolah di sini.
Setidaknya itu yang kudengar.
“Lo anak kelas X ya?” tanya suara itu saat kakiku sudah berada di dalam perpustakaan.
“Eh, iya Kak.”
Ia lalu menurunkan buku yang menutupi wajahnya dan menatapku. “Lo ngapain ke sini?”
“Lah, ini kan perpustakaan sekolah Kak. Semua siswa di sini kan bebas buat masuk.”
“Oh,” jawabnya singkat lalu menutup lagi wajahnya dengan buku tebal itu.
Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi kini. Saat tubuh ini masuk lebih dalam ke perpustakaan, saat itu pula rasa canggung terus hinggap di hati. Lebih-lebih, harum tubuh gadis itu benar-benar pekat terdendus hidungku.
Aku terus berjalan sambil terus menatapnya.
“Aduh!” sentakku saat menyadari kepala ini membentur rak kayu yang berada tidak jauh dari Aluna.
Gadis itu masih bergeming, bahkan ia tidak mengindahkan kehadiranku. Ia masih saja berkutat dengan buku tebal yang dibacanya. Aku terus memegang kepala yang terasa nyeri akibat tumbukan dengan rak kayu jati barusan.