Makin hari hubunganku dengan Aluna makin akrab.
Aku selalu menyempatkan untuk singgah di perpustakaan, membaca beberapa buku bersama Aluna. Tentunya ia masih saja sering memerintahku untuk menuruti keinginannya. Anehnya, aku selalu saja bergerak untuk menyanggupi permintaan tersebut.
Terkadang aku bertanya-tanya, mengapa tangan ini begitu ringan melakukan segala sesuatu kepada gadis itu?
Apakah ia memang memiliki sihir yang bisa membius jiwa dan ragaku?
Ataukah, memang benar kata orang-orang bahwa gadis ini memiliki kemampuan tersendiri untuk menghipnotis orang lain?
Aku tidak mengerti, tetapi segala yang telah kulakukan menciptakan kebahagiaan tersendiri di dalam hati. Masa yang terlampaui bersama dengan Aluna seolah menjadi penyembuh luka atas apa yang telah kudapatkan dari Arunika.
Tanpa terasa, sudah dari satu pekan kulewati tanpa Arunika. Jujur, sebenarnya ada rasa yang begitu mengganjal saat mendapati bahwa aku sudah tidak lagi sedekat dahulu dengannya. Bahkan, aku sengaja menukar tempat dudukku dengan teman sekelas lainnya agar bisa menjauhi Arunika.
Aku ingin ia lebih bebas bergaul, tanpa ada diriku di sekitarnya.
*****
Jumat sore, langit Jakarta kembali diguyur oleh hujan lebat. Arunika masih berada di kursinya, sesekali matanya menatap ke arahku bersama dengan seutas senyum yang terlihat begitu cantik. Namun, aku harus realistis, ia sudah menolakku dua pekan lalu. Tidak mungkin rasanya ia melemparkan itu dengan maksud lain di hatinya.
“Woy, Genta!” panggil Senja, gadis yang juga telah kukenal sejak SD. “Tumben lo udah gak bareng lagi sama Runi?”
Aku menggeleng. “Gue lagi gak pengen bareng sama dia.”
“Gak kasian apa lo, tuh liat Runi murung sendirian gitu?” tanyanya sambil mendorong-dorong tubuhku.
“Enggak lah, justru kalo gue gak ada di sekitarnya, dia harusnya bisa lebih nyaman. Lo kan tahu dia selalu risih kalo gue ada di deket dia. Makanya, mendingan gue sadar diri terus ngejauh.”
“Eh!” bentaknya sambil mendorong tubuhku agak kencang. “Lo itu gak peka banget sih jadi cowok!”
Aku tersenyum. “Dia sendiri yang bilang cuma anggap gue sahabat. Jadi sekarang yang bisa gue lakuin ya bantuin dia buat deket sama orang yang di cinta, Kak Agra.”
Senja hanya menatap dengan pandangan heran sambil mengalihkan mata ke arah Arunika yang saat ini hanya tertunduk. Suasana hening terasa begitu syahdu bersama dengan aroma petrikor dan suara gemeretak air hujan yang sesekali menerpa jendela kelas.
“Sorry,” ujar suara itu tiba-tiba mengagetkanku dan juga penghuni kelas yang tinggal separuh. “Genta Adiwiryawan ada di kelas ini kan?”
Semua mata lalu menatap ke arah datangnya suara lalu mengalihkannya ke arahku. Senja bahkan menatap dengan lebih heran saat mengetahui sosok yang menanyakanku adalah Aluna. Gadis yang tidak pernah sekali pun terlihat bersama dengan laki-laki di sekolah ini.
“Eh, lo ada masalah sama Kak Aluna?” bisik Senja.
“Enggak ada,” jawabku singkat lalu berdiri. “Bentar ya, gue mau nemuin Kak Aluna.”