Lima belas menit berlalu, aku akhirnya memilih jam tangan dengan dial hijau dan tali kulit berwarna cokelat muda. Breitling Navitimer namanya, harganya hampir seratus-tujuh-puluh-juta-Rupiah. Aku sampai menahan napas sendiri saat gadis itu menggunakan kartu debit berwarna hitam besutan bank swasta yang berpusat di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat.
“Makasih ya, Genta,” ujarnya sambil meninggalkan galeri ini lalu berjalan menuju ke lobi.
“Cuma itu aja, Kak?” tanyaku keheranan.
“Iya, kan gue udah bilang bantuin gue milihin sesuatu aja. Oh iya, sorry nih gue gak bisa traktir makan, soalnya lo denger sendiri kan Papa mau pergi lagi.”
Kuhela napas saat mengikutinya untuk berjalan menuju pintu keluar. Lagi-lagi, harum tubuhnya terendus begitu nyaman, menciptakan sebuah bayang-bayang yang aku sendiri sulit menolaknya. Makin lama aku berdiam di dekatnya, makin jelas segala imajinasi itu tergambar di kepala.
“Orang tua lo jarang di rumah ya Kak?” tanyaku, mencoba membuyarkan lamunan barusan.
Ia menggeleng. “Papa itu justru jarang ke luar rumah. Makanya kalo Papa keluar gue sebel aja, soalnya gak ada yang masakin.”
“Hah? Keluarga lo sekaya ini Papa lo masih masak sendiri?” tanyaku makin heran.
Ia mengangguk. “Papa selalu masakin gue, kakak, sama adik sejak kita kecil. Lidah gue gak bisa makan selain masakan Papa.”
“Lah, emang Papa lo kerjanya apa kalo cuma di rumah?” tanyaku lagi saat kami sudah tiba di lobi.
“Pedagang keliling, itu kata Papa kalo ada yang tanya.”
Ah, ia tidak salah. Konteks pedagang keliling adalah orang yang berdagang dan berkeliling, tidak peduli apakah itu di dalam kompleks atau bedagang keliling dunia. Sudahlah, ia makin tidak terjangkau dengan apa yang kumiliki sekarang.
Setelah Papanya tiba, kami langsung naik kendaraan mewah ini lagi. Aluna memaksa untuk mengantarkanku pulang meskipun aku terus menolak. Lagi-lagi ia selalu bisa memaksaku melakukan apa yang ia inginkan. Terlebih, Papanya juga terlihat begitu ramah, tidak terkesan seperti orang yang berbangga dengan kesuksesannya.
Kendaraan ini akhirnya menyerah untuk berbelok setibanya di persimpangan jalan tempatku biasanya berpisah dengan Arunika. Tanpa mengurangi rasa hormat, aku memutuskan untuk keluar dari kendaraan meskipun banyak orang yang saat ini bercengkerama di pos ronda memperhatikannya.
Aluna ikut keluar, sontak membuat para bujangan yang berada di sekitar sini terbelalak akan pesona gadis ini. Namun, bukan itu yang saat ini menjadi perhatianku. Gadis yang kucintai ternyata juga berada di sekitar sini. Ia menatap dengan tidak percaya ke arah Aluna yang baru saja menutup pintu kendaraan sedan bongsor ini.
“Genta?” tanyanya lalu mendekatiku. “Lo ngapain sama Kak Aluna?”
“Gue tadi abis diminta milih sesuatu,” ujarku, sama sekali tidak berbohong.