Setelah peristiwa itu, aku benar-benar menjaga jarak dengan Arunika. Hari demi hari kulalui tanpa dirinya. Bahkan sudah hampir sebulan aku tidak banyak bicara dengannya. Awalnya semua terasa aneh, tetapi lama-lama aku merasa nyaman dengan ini semua.
Arunika yang awalnya hanya bergaul denganku atau Senja, kini bisa lebih leluasa bergaul. Ternyata apa yang menjadi pikiranku selama ini benar. Aku adalah penyebab gadis itu agak dijauhi teman sekelasku. Karena aku yang berada di sekitarnya membuat pencitraan yang buruk tentang gadis itu.
Terlebih, makin hari hubunganku dengan Aluna makin dekat.
Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam pikirannya, tetapi ia selalu saja bersikap dingin. Meskipun terkadang ia menyunggingkan senyum yang terlihat menyenangkan, tetapi ia lebih banyak menatap dengan datar.
Entahlah, mengapa aku bisa begitu nyaman di sebelah gadis itu?
Apa memang ada yang terjadi di dalam hatiku karena kehadirannya?
“Genta,” panggil Senja lalu duduk di sebelahku. “Denger-denger lo lagi deket sama Kak Aluna ya?”
Aku mengangguk. “Kebetulan gue sering ke perpus pagi-pagi. Banyak ngobrol sama dia bikin gue makin pinter soalnya.”
“Lo bener juga sih. Akhir-akhir ini nilai lo udah gak di bawah standar lagi,” ujarnya, tertawa sambil menepuk-nepuk punggungku.
Aku tidak memungkiri, alih-alih memanfaatkan waktu hanya untuk diam saja di perpustakaan, lebih baik menimba ilmu dari sosok senirmala Aluna. Ia sangat cerdas, bahkan aku sengaja membuat pertanyaan sendiri dari rumah agar ia bisa membantuku untuk menjawabnya.
“Tapi, apa lo gak ngerasa kehilangan Runi?”
Kupejamkan mata sambil menghela napas panjang. “Gimana gue ngomongnya ya. Kalo dibilang kehilangan pasti kehilangan, tapi gue bahagia dia bisa lebih lepas dan bebas sama temen-temen sekarang.”
“Oh iya, minggu depan kan UTS nih, gue boleh kali dateng pagi-pagi buat belajar sama Kak Aluna?” tanyanya serius.
“Okay, nanti gue sampein ke dia.”
“Lah, gue pikir lo punya nomor WhatsApp-nya?” tanya Senja keheranan.
“Enggak lah, ngapain juga nanya nomer WhatsApp-nya. Gue aja gak pernah liat dia pegang handphone,” jawabku sambil tertawa kecil.
Makin lama, aku makin terbiasa dengan ini semua. Aku harus benar-benar menyingkirkan rasa yang ada di dalam hati kepada Arunika. Meskipun, aku masih saja sesekali mencuri pandang dari tempat duduk. Tetap saja, nama gadis itu terlalu indah di dalam hati. Sulit rasanya bisa menyingkirkan itu semua meskipun aku saat ini dekat dengan Aluna.
“Eh, gue boleh ikutan gak?” tanya suara itu dari belakang tubuhku.
Arunika, ia tiba-tiba saja berada di sana. Sejatinya aku sedikit terperanjat dengan kehadiran gadis ini. Padahal, aku mafhum dengan harum tubuhnya. Apa mungkin karena hidungku sudah terbiasa dengan aroma vanili milik Aluna sehingga lupa akan gadis ini?
“Gue sih okay aja, nanti gue sampein ke Kak Aluna,” ujarku lalu menatap wajahnya.
Ia lalu menyunggingkan senyum yang terlihat alami dan menenangkan. Rasanya sudah lama tidak melihat keindahan itu dari Arunika. Semenjak aku menyatakan cinta hampir sebulan lalu, ini kali pertama ia menghampiriku dengan sengaja.
Masa berlalu begitu cepat hingga akhirnya kami menyelesaikan hari ini. Teringat akan janji kepada Arunika dan Senja tentang belajar bersama Aluna, aku bergegas menuju kelas XI IPA I untuk menemui gadis itu. Beruntung ia selalu pulang lebih terakhir ketimbang siswa lainnya.
“Kak,” panggilku dari depan pintu kelas.
Ia tidak langsung bangun dari kursinya. Lagi-lagi aku hanya bisa menunggu di depan pintu kelas tatkala gadis itu hanya menatap ke arah jendela tanpa tahu apa yang tengah dipandangnya. Hal yang lebih mengherankan adalah, aku tetap berada di sini selama ia masih belum berdiri dari sana.
“Kak,” panggilku sekali lagi.
Alih-alih mengalihkan pandangan ke pintu kelas, ia masih saja menatap ke luar jendela. Sungguh, ia tidak memberikan semboyan apa pun dari kursinya. Beberapa teman sekelasnya terlihat menatapnya dari sudut lain.
Ia benar-benar seperti magnet yang begitu kuat.
Mungkin, mereka sama sepertiku. Tidak memiliki kapasitas untuk mendekati gadis sesempurna Aluna. Kini aku hanya bisa menunggunya untuk keluar dari kelas sembari menghela napas beberapa kali. Jantungku berdetak begitu kencang saat membayangkan apa yang akan gadis itu lakukan nanti.
Namun, mengapa aku begitu penurut kepadanya?
Apakah karena ada rasa nyaman yang kurasakan saat berada dekatnya?
Setelah ia melihat ke jam mewah yang dikenakan di pergelangan tangan kirinya, gadis itu lalu berdiri dan menghampiriku. Aku begitu mengagumi keindahan yang terlukis di raga Aluna. Ia benar-benar sempurna, entah berapa kali aku menyebutkan itu saat menatapnya.
“Kak,” panggilku setelah ia berhenti tepat di depan raga ini. “Aku minta izin boleh?”