Tidak kusangka, Arunika berjalan bersamaku dari rumah hingga ke sekolah. Ada hal yang masih belum aku mengerti tentang ini semua, yaitu bagaimana cara seorang gadis untuk memutuskan sesuatu. Arunika dan Aluna begitu berbeda, hanya saja mereka memiliki satu tipe algoritma yang masih belum kupahami sepenuhnya.
Aluna memang cenderung berpikiran kritis dan logis, tetapi tragedi blazernya kemarin seolah membuka sisi lainnya. Ia juga sama saja dengan Arunika, seorang gadis remaja yang sama rumitnya. Bedanya, Arunika lebih rumit dan membingungkan ketimbang Aluna.
Aluna, lagi-lagi nama itu terngiang bersama dengan segala kenangan yang terjadi bersamanya. Besar harapan di hati untuk tetap berada bersamanya. Namun, aku harus sadar di mana posisiku saat ini. Segalanya tidak mungkin terjadi sesuai dengan apa yang ada di dalam anganku.
Terbius dengan harum tubuh Aluna yang begitu membekas di kepala, entah mengapa ada harapan begitu besar tentang hari ini. Aku tahu mungkin ini aneh, tetapi aku lebih suka melihat Aluna tidak mengenakan almamater itu. Sungguh masih terbayang bagaimana keindahan itu terlukis nyata di balik seragam putih abu-abu.
Namun, nahas bagiku, tampaknya hal itu tidak menjadi kenyataan.
Ia tetap mengenakan lagi blazer berwarna hijau itu di tubuhnya.
Gadis itu menatap kami setelah menurunkan buku tebal lain yang dibacanya. Aku dan Arunika langsung duduk di seberangnya. Sejujurnya aku berniat untuk berada di sebelahnya, tetapi genggaman tangan Arunika seolah melarang melakukan itu.
Seketika jantungku berdetak begitu cepat. Hangat genggamgan jemari Arunika terasa begitu santer menelusup kalbuku. Rasanya tidak sama seperti Aluna, mungkin karena cinta itu telah tumbuh lama di hati sehingga aku lebih menikmatinya.
Ini adalah kali pertama Arunika melakukan itu setelah hampir tiga tahun mengenalnya.
Sekujur tubuhku langsung terasa lemas saat gadis itu memaksaku untuk duduk di sebelahnya.
“Gen, biasa roti keju tiga,” ujarnya sambil mengeluarkan selembar uang seratus ribu.
“Eh, gue juga nitip dong,” ujar Arunika lalu mengeluarkan selembar uang.
“Gak usah, gue yang traktir. Udah lo mau apa?” Aluna lalu menatap Arunika.
“Eh, itu, samain aja deh,” ujar Arunika. “Tapi satu aja deh, gue takut gendut.”
Aku tidak tahu apa yang dimaksud oleh Arunika. Namun, aku bisa melihat senyum tipis terkembang dari bibirnya saat mengatakan kalimat itu. Aku menduga bahwa Arunika tengah meledek nafsu makan Aluna yang bisa dikatakan tidak seperti gadis lainnya. Ia bahkan tampak tidak malu menyantap banyak makan di depanku.
“Gen, gue jadi empat deh,” ujar Aluna lalu menatapku.
“Emang lo belom makan, Kak?” tanya Arunika dengan nada penasaran.
“Udah sih,” ujarnya lalu menghela napas. “Cuma pake pancake enam lapis, dua telor rebus, sama susu doang.”