Selama satu pekan, tiap pagi dan sore kami menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah. Aluna bahkan meminta Papanya untuk menjemput setengah jam lebih lambat hanya untuk mengajarkan kami banyak hal. Aku bisa mengatakan, semua materi yang diajarkan Aluna begitu efektif dan efisien. Apa yang telah didapatkan tidak hanya berguna untuk ujian tengah semester, tetapi juga untuk kebutuhan kami ke depannya.
Hari yang kini tidak lagi kutakutkan pun tiba. Empat hari ujian tengah semester yang biasanya menjadi momok, saat ini rasanya begitu ringan. Aku bisa dengan percaya diri mengerjakan semua soal yang ditanyakan.
Termasuk matematika dan juga fisika, mata pelajar yang selalu membuatku tak berdaya.
Berbeda dengan ujian akhir semester yang harus menunggu hingga akhir masa pendidikan untuk mendapatkan hasilnya, ujian tengah semester mengeluarkan kertas berisi nilai pada hari Jumat. Kami diberikan sebuah amplop yang makin membuat segalanya terasa mencekam.
Hasilnya, rata-rata nilaiku adalah 87, sebuah hal yang membuat senyumku terkembang sendiri. Hal positif tersebut terjadi juga kepada Senja dan Arunika. Keduanya mendapatkan nilai rata-rata 85, lebih rendah dua poin ketimbang diriku.
Akan tetapi, ini adalah sebuah kemenangan besar bagi kami.
Sepulang sekolah, kami langsung melangkah ke perpustakaan. Di sana Aluna telah menunggu dengan ekspresi yang masih sama. Menatap dingin dari balik kacamata yang dikenakannya. Saat kami tiba di depannya, Senja dan Arunika langsung menyerahkan amplop yang berisi nilai tengah semester mereka.
Ada senyum tipis yang terkembang di bibir Aluna. Sungguh melihatnya saja benar-benar membuat hatiku tenang. Sejujurnya miliaran harap itu masih saja tersemat di hati, ingin untuk lebih memiliki gadis itu lagi dan lagi.
“Well,” ujar Aluna, “mulai sekarang lo berdua boleh panggil gue Lexa.”
“Lexa?” tanya Arunika.
Ia mengangguk. “Lexa itu panggilan yang cuma boleh disebut sama orang yang gue izinin.”
Aku menghela napas dan menatapnya. “Kak Aluna, gue boleh minta sesuatu yang lain gak?”
Ia menatap dingin. “Apa tuh?”
“Kalo nilai gue di atas nilai Kakak, gue mau minta sesuatu yang laen.”
Ia mengangguk dan tersenyum meledek sembari menjulurkan tangan kanannya. “Gue liat dulu nilai lo, Genta.”
Aku langsung menyerahkan lembaran kertas yang berisi nilai kepada gadis itu. Ia mengambilnya dan tersenyum sambil memandangku. Aku tidak bisa menerjemahkan apa yang ada di kepalanya saat ini. Hanya saja ia tampak puas dengan apa yang kudapatkan.
“Kalo nilai gue lebih rendah dari lo, apa yang lo mau? Tapi gue mau ngomong sama loe, gue gak pernah mengabulkan permintaan apa pun dari orang laen.”
Kuhela napas, bersama dengan isi kepala yang terus berputar. Ini bukan tentang diriku saja, tetapi juga tentang Senja dan Arunika. Mereka tampak begitu nyaman bersama dengan Aluna, seolah ia adalah kakak yang begitu perhatian kepada kami.
Aku bisa saja egois dengan ini semua. Namun, melihat betapa indahnya dua pekan terakhir kami, sulit rasanya untuk sekadar enyah begitu saja. Gadis itu memang tidak semenyenangkan bagaimana lukisan fisiknya, tetapi ia tetaplah seseorang yang begitu berharga bagiku.
“Gue cuma mau kita kayak gini terus, ada Kakak, Arunika, Senja. Kita berempat saling bantu kayak kemaren, jujur gue nemuin satu hal yang beda dari ini semua. Gue pengen ini jadi hadiah terbaik buat kita, lebih dari apa pun.”
Ia mengangguk. “Seperti yang gue bilang tadi, gue gak akan pernah memenuhi dan mengabulkan permintaan apa pun dari orang laen. Well said, gue juga nyaman ada sama kalian.”
Kami bertiga saling pandang. Senyum di wajah cantik Aluna langsung terkembang. Matanya bahkan terlihat berekspresi bersama dengan anggukannya yang berakhir. Sungguh aku begitu bahagia melihat Arunika dan Senja juga senang akan keputusan Aluna.
“Oh iya, Genta. Apa yang gue lakuin bukan karena permintaan lo. Tapi, ini adalah hadiah terbaik yang bisa gue kasih. Ini alasannya.” Aluna lalu menyerahkan nilai tengah semester yang tercetak angka 100 di sana.
Luar biasa, ia mendapatkan nilai sempurna di ujian tengah semester. Lagi-lagi aku harus mengakui bahwa kasta Aluna berada di atas apa pun yang kuketahui saat ini. Sampai kapan pun, mustahil rasanya bisa memenangkan sesuatu di depannya.
“Lo makan apa sih, Kak?” tanyaku keheranan.
“Gue makana pun yang Papa masakin,” ujarnya santai.