Esok hari tiba dengan cepat. Bayang-bayang tentang apa yang ingin diberikan Aluna seketika membuatku sulit untuk dapat terlelap. Sungguh, aku masih saja memandangi blazer yang harusnya sudah dikembalikan sepekan lalu, tetapi belum juga kunjung dilakukan.
Aku masih saja menyimpan pakaian itu.
Alih-alih menjemput Arunika, gadis itu ternyata sudah berada di ruang tamu tepat setelah aku keluar dari kamar. Setelah berpamitan, kami bergegas menuju ke Stasiun MRT Lebak Bulus. Meskipun kami bepergian di akhir pekan, kepadatan di stasiun ini tidak berkurang secara drastis. Kami tetap harus bergegas agar mendapatkan angkutan lebih awal menuju ke Blok M.
Aku lalu membuka ponsel dan berbalas pesan dengan Senja melalui aplikasi besutan Meta. Ia telah menunggu di pintu keluar Stasiun Blok M. Tiba-tiba aku teringat dengan Aluna, sungguh aku tidak pernah melihatnya mengoperasikan ponsel selama di sekolah.
Gadis sekaliber dirinya pasti memiliki ponsel seharga skuter 150 cc. Meskipun, aku tidak pernah tahu apakah memang benar ia memilikinya. Aku tidak peduli, karena aku pun jarang sekali mengoperasikan ponsel walaupun berada di rumah.
“Runi, Genta!” panggil Senja yang saat ini sudah menanti kami.
“Ke mana nih kita abis ini?” tanya Arunika sambil menghampiri Senja.
“Katanya sih Lexa udah nunggu di sana,” ujarnya sambil menunjuk ke arah restoran cepat saji yang berada di ujung Jalan Mahakam.
Kami berjalan menyusuri trotoar sepanjang Plaza Blok M untuk menuju tempat yang dimaksud. Lagi-lagi gadis itu memberikan kejutan yang sebenarnya sudah diduga. Sebuah Sport Activity Vehicle besutan Bavaria yang sudah diubah suai oleh pabrikan di Buchloe berwarna hijau tua terparkir di sana.
Aku tidak salah lihat, kendaraan itu adalah Alpina XB7, sebuah jip mewah yang mungkin harganya lebih dari tujuh miliar. Itu berarti Aluna saat ini sedang bersama dengan Papanya. Apakah ada suatu hal hingga ia meminta kami datang sepagi ini saat akhir pekan?
Saat kami masuk ke restoran itu, Aluna langsung melambaikan tangan.
Ada dua perempuan yang saat ini tengah duduk. Mungkin salah satunya adalah adiknya karena jelas lebih kecil dari dirinya; dan mungkin yang lainnya adalah kakaknya. Jadilah rasa canggung itu menguasai hati saat menyadari aku adalah satu-satunya makhluk tertampan di kawanan ini.
“Maaf kalo gue maksa kalian ketemu pagi ini,” ujarnya lalu menyunggingkan senyum yang terlihat manis.
“Gak apa-apa kok,” ujar Senja.
“Oh iya, kenalin itu adik gue, namanya Alena. Kalo ini Mama gue.”
Seketika tubuhku merinding melihat wanita yang mungkin sudah berusia hampir lima puluh tahun itu adalah ibunda dari Aluna. Entah perawatan apa yang dilakukannya, tetapi wanita itu tidak terlihat dalam usia seperti itu.
Mungkin lebih terlihat seperti wanita berumur dua puluh tahun.
“Ini yang namanya Genta?” tanya Mamanya Aluna sambil menatapku.
“Iya Tante,” jawabku.