Siang berganti dengan malam begitu cepat. Setelah pembicaraan singkat dengan Senja tadi siang, kami lebih banyak saling diam. Aku tidak bisa memungkiri, makin lama berada bersama Aluna membuatku makin terpaku kepadanya.
Lagi-lagi sukses mengalihkan sejenak hati yang selama ini selalu mengarah ke Arunika.
Mamanya Aluna bahkan mengadakan tele konferensi dengan orang tua kami untuk meminta izin. Aku sedikit terkejut bahwa orang tua kami mengizinkan anak-anaknya berada di sini hingga hari Rabu. Setelah ujian tengah semester kemarin, kami memang mendapatkan libur selama tiga hari.
Makan malam dilewati dengan begitu syahdu bersama dengan masakan Mamanya Aluna.
Ia masih tampak begitu muda dengan fakta bahwa anak pertamanya sudah menginjak bangku kuliah tahun ini. Terkadang ada hal yang terlihat begitu kontradiktif, mengapa wanita secantik Mamanya Aluna bersedia dinikahi oleh Papanya Aluna yang jauh dari kata pria tampan?
Apakah memang seperti itu cara kerja cinta?
“Bengong aja, Gen.”
Aku menoleh ke arah Senja yang saat ini duduk di sebelahku. “Lagi mikir aja, gak nyangka liburan kali ini bisa jalan-jalan ke Bandung. Dapet izin pula buat nginep.”
“Iya, lo juga seneng kan bisa puas ngeliatin Aluna,” ujar Senja ketus.
Seketika aku menoleh ke luar jendela. Lagi-lagi Arunika dan Aluna berada di sana bersama dengan Mamanya yang tampak berbincang begitu nyaman. Kedua gadis itu duduk di pinggir kolam renang yang selalu hangat. Akan tetapi, enggan rasanya tubuh ini untuk bergerak ke sana.
“Nja,” panggilku.
Ia tampak sedikit terhentak dan mengalihkan pandang ke arah lain. “Udah lama banget rasanya gue gak denger lo manggil nama itu.”
“Apa iya?” tanyaku sedikit heran.
Ia mengangguk. “Gue inget terakhir manggil gue begitu, pas sebelum lo deket sama Runi.”
“Udah lama berarti, dari kelas VIII,” ujarku masih menatapnya.
“Makanya, gue agak kaget tadi.”
“Oh iya, Nja. Gue dari tadi kepikiran, kenapa juga lo masih mau sekolah di daerah Blok M pas abis pindah ke Tebet?”
Suara televisi menyala yang menampilkan citra bergerak menemani heningnya respons Senja. Aku bahkan tidak tahu, Senja tiba-tiba saja terdiam saat pertanyaan itu terucap. Apakah ada hal yang fundamental sehingga ia begitu gigih beberapa tahun terakhir ini?
“Ada satu hal yang gue usahain,” ujarnya setelah hening yang cukup lama.
“Apaan tuh?”