Waktu masih menujukkan pukul setengah enam saat mata ini terjaga setelah apa yang barusan terjadi. Didorong oleh semangat dari kata-kata Aluna, aku pun mempersiapkan diri untuk berlomba dengan gadis itu.
Seperti yang kuduga, ia sudah berada di ruang tamu dengan jersey berwarna merah dan celana pendek yang lagi-lagi melukiskan kesempurnaan raganya. Ia tidak merasa kedinginan di rendahnya suhu Maribaya yang mungkin sekitar 18 centigrade.
“Okay,” ujarnya saat kami sudah berada di luar rumah. “Sekarang gue tunjukkin rutenya.”
Ia lalu menunjuk ke beberapa tempat hingga kembali lagi ke titik semula. Katanya, jarak yang ditempuh sekitar tiga Kilometer. Sebuah angka yang begitu jauh bagi diriku yang tidak pernah melakukan olah raga semacam ini.
Seketika aku tersenyum sendiri, dengan bentuk tubuhnya, tidak mungkin rasanya Aluna bisa menyaingi diriku. Tipikal orang yang memiliki kelebihan di kecerdasan adalah kekurangannya di bidang fisik. Aku rasa segalanya bisa dimanfaatkan, terlebih aku begitu berharap bisa meminta sesuatu kepadanya.
“Sebelum lari, gue mau ngomong sama lo,” ujarnya lalu berdiri di sebelahku. “Siapa pun yang menang, bisa minta tiga permintaan ke yang kalah.”
“Tiga? Lo serius, Lexa?” tanyaku dengan perasaan tidak karuan.
Ia mengangguk cepat. “Iya tiga permintaan.”
“Apa pun gitu? Maskud gue, apa aja?”
Ia mengangguk lagi. “Apa pun, termasuk apa yang gue denger dari lo pas gue keluar dari kamar.”
Mati aku!
Berarti semalam saat keluar kamar, ia masih mendengar apa yang kukatakan.
Wajahku terasa sangat panas saat gadis itu tersenyum dengan wajah meledek dan akhirnya berlari meninggalkanku. Sungguh, malu rasanya mengetahui apa yang kulakukan dini hari tadi. Akan tetapi, mengapa gadis itu tidak marah? Justru ia memberikanku kesempatan untuk benar-benar melakukannya ketika aku memenangkan ini.
Tanpa pikir panjang, aku melesat meninggalkan tempat ini dan mengejarnya.
Sudah kuduga, dengan fitur tubuhnya yang seperti itu, ia tidak akan sanggup berlari dengan cepat. Tidak butuh waktu lama, aku mulai memimpin di sepertiga rute awal. Namun, tampaknya rute selanjutnya agak berbeda dengan sebelumnya.
Awalnya jalan yang dilewati menurun, tetapi selanjutnya jalan mulai naik dengan cukup terjal. Terlebih kami harus melewati jalanan tanah yang tidak rata. Makin lama keunggulan yang kumiliki raib bersama dengan harum tubuh vanili yang terasa begitu nyaman.
Napasku terengah saat jalan terus menanjak, sementara gadis itu tampak begitu ringan melaju. Hingga pada akhir rute, ia tiba terlebih dahulu dengan jarak yang cukup jauh denganku. Sungguh, aku tidak menyangka dengan fitur di tubuhnya, Aluna bisa mempertahankan performa hingga akhir lomba.
Tidak hanya itu, ia tampak lebih cepat ketika akan tiba di garis akhir.
“Ada hal yang lo gak lakuin,” ujarnya dengan napas yang tampak masih teratur.
“Apaan?” tanyaku dengan napas terengah.